Selasa, 17 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 5)


Utang Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya. Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Sebenarnya ada biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan bunga untuk SBN secara riil adalah terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya berarti yield sama dengan kupon (bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Dimunkinkan pula kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield lebih besar dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya, yang riil dikeluarkan. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Pada tahun 2017, total pembayaran bunga utang adalah Rp216,6 triliun. Terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri Rp200 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp16,6 triliun. Pengertian bunga utang luar negeri di sini adalah utang yang berdenominasi valuta asing. Sedangkan bunga utang dalam negeri adalah untuk yang berdenominasi rupiah. Ada perbedaan definisi untuk keperluan publikasi dan analisis lain tentang arti dalam dan luar negeri, yang akan dibahas kemudian.
 
Pembayaran bunga utang cenderung naik dari tahun ke tahun, seiring dengan bertambahnya utang dan posisi utang yang lebih besar. Tampak pada gambar yang diolah dari data publikasi bulanan utang dari DJPPR Kemenkeu RI. Pembayaran bunga utang dalam negeri memiliki porsi yang lebih besar dengan kecenderungan makin besar. Perlu diketahui bahwa SBN dengan denominasi rupiah dimiliki pula oleh yang bukan penduduk atau pihak asing. Sebagaimana dalam bagian tulisan terdahulu, kepemilikan asing atas SBN telah mencapai kisaran 40% saat ini.


Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga, tidak semata-mata dari jumlahnya. Berbagai rasio bisa dihitung atas data pembayaran bunga dibandingkan dengan beberapa besaran fiskal atau indikator ekonomi lainnya. Seperti posisi utang dibandingkan dengan PDB, yang menghasilkan rasio utang dan PDB. Bisa dihitung rasio pembayaran bunga utang dan PDB juga. Akan tetapi untuk analisis beban bunga utang, yang lazim diperhatikan antara lain adalah perbandingan atau rasionya dengan belanja negara, dengan pendapatan negara, dengan posisi utang.

Rasio bunga utang dengan belanja adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga adalah salah satu pos belanja dalam APBN, pada bagian belanja Pemerintah Pusat. Pembayaran bunga utang sebesar Rp216,6 triliun adalah 10,82% dari realisasi Belanja tahun 2017 yang sebesar Rp2.001,6 triliun. Dicermati pula perubahan porsinya dari tahun ke tahun. Tentu saja, makin kecil porsinya akan menguntungkan bagi anggaran Pemerintah.

Pemerintahan Presiden Jokowi sebaiknya mewaspadai akan kenaikan pembayaran bunga utang dan rasio atas belanja ini. Belanja sudah diakui sengaja ditingkatkan untuk mendukung kebijakan bersifat ekspansif, terutama dalam hal program prioritas. Posisi utang meningkat tentu meningkatkan nominal pembayaran bunga. Akan tetapi dalam hal rasionya atas belanja merupakan indikasi hal lain pula, bahwa porsi membayar bunga dari belanja tersebut makin besar. 

Rasio bunga utang dengan pendapatan adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga sebaiknya dibayar dari Pendapatan Negara. Pembayaran bunga utang tadi adalah 13,08% dari realisasi Pendapatan tahun 2017 yang sebesar Rp1.655,8 triliun. Dicermati pula perubahan porsinya dari tahun ke tahun, dengan penalaran yang serupa dengan belanja. Dalam beberapa analisis, bagian terpenting dari pendapatan negara, yaitu penerimaan perpajakan dilakukan pula. Anggapannya, penerimaan perpajakan lebih bisa dikontrol atau diperkirakan, serta mencerminkan tingkat kelesuan ataupun garirah perekonomian. Rasionya tentu lebih tinggi.



Rasio bunga utang dengan posisi utang adalah untuk melihat tingkat biaya yang riil dikeluarkan. Bisa dikatakan menggambarkan tingkat bunga rata-rata untuk seluruh utang saat itu atau selama setahun berjalan. Ada dua posisi utang yang lazim dipakai, yaitu posisi utang akhir tahun bersangkutan. Pembayaran bunga utang tadi dibandingkan dengan posisi utang per 31 Desember 2017 sebesar Rp3.938,45 triliun, atau sekitar adalah 5,50%. Dicermati pula perubahannya dari tahun ke tahun. Jika makin kecil, maka biaya utang secara riil dianggap turun. Dan sebaliknya.

Dalam hal posisi utang, sebenarnya kurang tepat membandingkan pembayaran bunga selama setahun dengan posisi akhir tahun. Posisi utang mengalami fluktuasi selama setahun berjalan, sehingga “biaya” yang harusnya dicermati bukanlah atas posisi akhir tahun. Cara akuntansi yang sedikit lebih sulit adalah “menyetahunkan”, antara lain dengan menghitung rata-ratanya tiap bulan. Cara yang lebih sederhana, namun sudah cukup mewakili adalah dengan memakai rata-rata posisi akhir tahun berjalan dengan akhir tahun sebelumnya. Posisi utang pada akhir tahun 2016 sebesar Rp3515.46, dan tahun 2017 sebesar Rp3.938,45, maka posisi utang rata-rata tahun 2017 dianggap sebesar Rp3.726.96. Rasionya adalah 5,81%.

Pemerintah sebaiknya mewaspadai kecenderungan kenaikan rasio yang mencerminkan makin tingginya biaya utang. Padahal penilaian dan rating Indonesia dalam hal utang terus membaik. Pemerintah pun selalu mengatakan akan mengelola utang dengan baik, yang salah satunya adalah dengan menurunkan biaya utang. Kenaikan nominal bunga yang dibayarkan adalah satu hal, kenaikan “tingkat bunga” adalah hal lain, dan keduanya musti ditangani dengan baik.


Analisis yang lebih lanjut adalah mencermati beberapa jenis utang berdasar mata uang, berdasar jenis pinjaman atau SBN, dan lain sebagainya. Urgensinya antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya” yang rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Misalkan, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini nyaris tak berbiaya atau kecil sekali. Padahal dalam analisis di atas dia dimasukkan ke dalam satuan pembanding.


Analisis lain yang sering dilakukan adalah membandingkan yield dari berbegai SBN atas waktu jatuh temponya. Ada yang kurang dari satu tahun, satu tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Untuk sementara kita belum mencantumkan data hal semacam ini. Hanya untuk sekadar pembanding, kita ulangi lagi rasio bunga utang dengan posisi utang akhir tahun 2017 adalah 5,50%, rasio dengan posisi utang rata-rata tahun 2017 adalah 5,81%. Data yield Desember 2017 belum dipublikasi resmi. Data yield SUN (salah satu jenis SBN) berdenominasi Rupiah pada Desember 2016, antara lain: sebesar 6,44% untuk tenor satu tahun, 7,46% (3 tahun), 7,50% (5 tahun), 7,91% (10 tahun), 8,54% (30 tahun). Gambar disalin dari publikasi DJPPR Kemenkeu edisi Agustus 2017. Untuk edisi selanjutnya, data ini tidak ditampilkan lagi di webnya.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6