Jumat, 13 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 3)


Perbincangan terkini tentang utang pemerintah sering mengemukakan soal rasio posisinya dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu argumen tentang masih amannya utang adalah rasio tersebut masoh terbilang rendah, yang pada akhir tahun 2017 adalah 28,98%. Maih jauh di bawah lebih rendah dari yang diperkenankan oleh regulasi, yaitu sebesar 60%. Kerap dikemukakan pula banyak negara lain yang bahkan memiliki rasio di atas 100%.

Apakah PDB itu? PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah suatu negara, atau yang biasa dipergunakan adalah wilayah domestik, karena dapat menunjukkan bagian dari suatu negara ataupun gabungan beberapa negara. Kurun waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut penanggalan, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Urgensi asesmennya membuat PDB dihitung dan dipublikasikan pula secara triwulanan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Semua barang dan jasa sebagai hasil kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik (Indonesia) diperhitungkan tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya dimiliki atau dikuasai oleh penduduk atau pihak asing. Istilah lain yang biasa dipakai dalam analisis adalah Output, yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut. Output merupakan hasil perkalian antara kuantitas produksi dengan unit harganya.

Output terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian atau pertambangan. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Ragam jasa-jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis, perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Dengan demikian, definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu.

Perhitungan PDB dan penyajian hasilnya oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyederhanakan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. BPS menggolongkannya menjadi tujuh belas (dahulu Cuma Sembilan) macam barang dan jasa. Penamaannya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Dalam tabel yang lebih lengkap disajikan pula subsektor dari masing-masing sektor tadi. Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Sebagai contoh, jutaan barang dan jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2017 dinilai berdasar harga pada waktu itu yang nilai keseluruhannya adalah Rp13.589 triliun. Antara lain terdiri dari:  pertanian,kehutanan, dan perikanan (Rp1.786 triliun), pertambangan dan pemggalian (Rp1.028 triliun), Industri pengolahan (Rp2.739 triliun), Konstruksi (Rp1.410 triliun), Perdagangan besar dan eceran (Rp1.768 triliun).

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh output yang diproduksi pada tahun 2017 sebesar Rp13.589 triliun tadi. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total atas output perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Dalam perhitungan konseptual menurut buku teks, pengeluaran itu dikelompokkan atas dasar maksud penggunaannya, maka dinamakan juga sebagai PDB menurut penggunaannya.

Untuk apa atau oleh siapa saja PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pengeluaran Konsumsi LNPRT, Pembentukan modal tetap domestik Bruto, perubahan stok atau inventory, serta ekspor dan impor.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup semua pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, yang pada tahun 2017 sebesar Rp 3.290,8 triliun. Perkiraan nilai tersebut menggunakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai data pokok. BPS menambahkan pula data tentang perkiraan pengeluaran konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, yang disebut lembaga non pemerintah dan rumah tangga (LNPRT) yang pada tahun 2017 sebesar Rp161 triliun.

Dengan demikian, PDB sejatinya adalah salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan pendapatan pemerintah dan swasta (termasuk rakyat perorangan). Hubungannya dengan posisi utang antara lain adalah “memperkirakan” kemampuan membayar utang kini dan di masa datang. Kebiasaan lama dalam menganalisis dan masih dipakai memang demikian. Salah satu yang mendasarinya peningkatan PDB akan meningkatkan pendapatan atau kemampuan membayar utang dari pemerintah.


Sebagaimana disebut di atas, posisi utang pada tanggal 31 Desember 2017 adalah Rp3.938,45 triliun, sedangkan PDB tahun 2017 adalah sebesar Rp13.588,8 triliun, maka rasionya adalah 28,98%.

Yang perlu diwaspadai, seandainya rasio utang atas PDB dinilai masih aman pun, adalah rasio yang kembali meningkat selama tiga tahun terakhir. Sebelumnya rasio tersebut cenderung turun, meski makin perlahan.



Untuk keperluan analisis dan lebih menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang.

Ada dua istilah yang perlu diperhatikan dalam analisis semacam ini, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. Sebagai contoh, pendapatan negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan dalam pembiayaan.


Realisasi sementara dari APBN 2017 menyebutkan Pendapatan Negara yang diperoleh adalah sebesar Rp1.655,8 triliun. Pendapatan diperoleh dari sumber: Penerimaan Perpajakan, Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan antara lain berasal dari: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, cukai, bea masuk, dan lainnya. Sedangkan PNBP diperoleh dari: penerimaan Sumber Daya Alam , bagian laba BUMN, pendapatan Badan Layanan Umum, dan PNBP lainnya.

JIka pendapatan negara tahun 2017 dibandingkan dengan posisi utangnya, maka diperoleh rasio sebesar 237,9%. Artinya jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan. Oleh karena laju kenaikan utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas pendapatan negara juga tampak naik dengan cukup cepat selama beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun sebelumnya, rasio ini sempat menurun. 


Untuk keperluan analisis dan lebih menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang. Oleh karena laju kenaikan utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas pendapatan negara juga tampak naik dengan cepat. Posisi tahun 2017 adalah 237,9%, artinya jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan.


Dalam hal konsep serta perhitungan Pendapatan Nasional, selain Produk Domestik Bruto (PDB), sebenarnya ada yang disebut dengan Produk Nasional Bruto (PNB). PNB telah memperhitungkan aspek pendapatan neto terhadap luar negeri atas faktor produksi. PDB adalah konsep pendapatan nasional berbasis produksi di wilayah Indonesia, termasuk oleh pihak asing. PNB adalah konsep berbasis badan hukum (perorangan maupun korporasi). Produksi asing di wilayah Indonesia dikeluarkan, produksi Indonesia di luar dimasukkan dalam perhitungan, sehingga diperoleh pendapatan netonya. Perhitungan BPS untuk Indonesia menunjukkan bahwa nilai PNB selalu lebih kecil dibanding PDB. Sebagai contoh, pada tahun 2017, PDB sebesar Rp13.588,8 T, sedangkan PNB hanya sebesar Rp13.159,2 T. Secara historis nilai PNB di kisaran 97-98% dari PDB tahun bersangkutan. Jika dikaitkan dengan rasio utang, utang/PDB tahun 2017 sebesar 28,98%, sedangkan utang/PNB sebesar 29,93%. Secara historis, rasio utang/PNB lebih tinggi di kisaran 0,6 hingga 1,0% dari utang/PDB. 


  
Jika total PDB sebesar Rp13.589 triliun tahun 2017 dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan, sesuai perhitungan BPS untuk hal ini, maka diperolej nilai pendapatan per kapita sebesar Rp51,9 juta. Baik nilai PDB maupun PNB per kapita terus meningkat selama ini. Pada saat bersamaan, utang per kapita juga meningkat, yang pada tahun 2017 mencapai Rp15,04 juta. Sebagian pengkritik pemerintah biasa mengatakan bahwa tiap orang, baru lahir sekalipun, menanggung utang Rp15 juta.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4