Perbincangan terkini tentang
utang pemerintah sering mengemukakan soal rasio posisinya dengan Produk
Domestik Bruto (PDB). Salah satu argumen tentang masih amannya utang adalah
rasio tersebut masoh terbilang rendah, yang pada akhir tahun 2017 adalah 28,98%.
Maih jauh di bawah lebih rendah dari yang diperkenankan oleh regulasi, yaitu
sebesar 60%. Kerap dikemukakan pula banyak negara lain yang bahkan memiliki
rasio di atas 100%.
Apakah PDB itu? PDB adalah nilai
pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama
kurun waktu tertentu. Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah suatu
negara, atau yang biasa dipergunakan adalah wilayah domestik, karena dapat
menunjukkan bagian dari suatu negara ataupun gabungan beberapa negara. Kurun
waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut penanggalan, 1 Januari
sampai dengan 31 Desember. Urgensi asesmennya membuat PDB dihitung dan
dipublikasikan pula secara triwulanan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Semua barang dan jasa sebagai
hasil kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik (Indonesia) diperhitungkan tanpa memperhatikan
apakah faktor produksinya dimiliki atau dikuasai oleh penduduk atau pihak
asing. Istilah lain yang biasa dipakai dalam analisis adalah Output, yang
timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut. Output merupakan hasil
perkalian antara kuantitas produksi dengan unit harganya.
Output terdiri dari ribuan atau
jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri
pengolahan, dan ada yang dari penggalian atau pertambangan. Bisa berasal dari
lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan
besar dan industri yang bersifat korporasi. Ragam jasa-jasa juga demikian. Ada
jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan
manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa
tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis,
perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari
seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Dengan demikian, definisi PDB
menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang)
selama periode tertentu.
Perhitungan PDB dan penyajian
hasilnya oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyederhanakan jutaan macam barang
dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. BPS menggolongkannya menjadi
tujuh belas (dahulu Cuma Sembilan) macam barang dan jasa. Penamaannya
disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut
pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Dalam
tabel yang lebih lengkap disajikan pula subsektor dari masing-masing sektor tadi.
Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada
masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi
penghitungan ganda.
Sebagai contoh, jutaan barang dan
jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2017 dinilai berdasar
harga pada waktu itu yang nilai keseluruhannya adalah Rp13.589 triliun. Antara
lain terdiri dari: pertanian,kehutanan,
dan perikanan (Rp1.786 triliun), pertambangan dan pemggalian (Rp1.028 triliun),
Industri pengolahan (Rp2.739 triliun), Konstruksi (Rp1.410 triliun),
Perdagangan besar dan eceran (Rp1.768 triliun).
Secara teoritis, bisa ditelusuri
kemana perginya seluruh output yang diproduksi pada tahun 2017 sebesar Rp13.589
triliun tadi. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian
sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa
yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli
atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah
pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total
atas output perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Dalam perhitungan
konseptual menurut buku teks, pengeluaran itu dikelompokkan atas dasar maksud
penggunaannya, maka dinamakan juga sebagai PDB menurut penggunaannya.
Untuk apa atau oleh siapa saja
PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan
pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara
internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi
Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pengeluaran Konsumsi LNPRT,
Pembentukan modal tetap domestik Bruto, perubahan stok atau inventory, serta
ekspor dan impor.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga
mencakup semua pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, yang pada tahun 2017
sebesar Rp 3.290,8 triliun. Perkiraan nilai tersebut menggunakan hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai data pokok. BPS menambahkan pula data
tentang perkiraan pengeluaran konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari
untung, yang disebut lembaga non pemerintah dan rumah tangga (LNPRT) yang pada
tahun 2017 sebesar Rp161 triliun.
Dengan demikian, PDB sejatinya adalah
salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan
pendapatan pemerintah dan swasta (termasuk rakyat perorangan). Hubungannya
dengan posisi utang antara lain adalah “memperkirakan” kemampuan membayar utang
kini dan di masa datang. Kebiasaan lama dalam menganalisis dan masih dipakai
memang demikian. Salah satu yang mendasarinya peningkatan PDB akan meningkatkan
pendapatan atau kemampuan membayar utang dari pemerintah.
Sebagaimana disebut di atas,
posisi utang pada tanggal 31 Desember 2017 adalah Rp3.938,45 triliun, sedangkan
PDB tahun 2017 adalah sebesar Rp13.588,8 triliun, maka rasionya adalah 28,98%.
Yang perlu diwaspadai, seandainya rasio utang atas PDB dinilai masih aman pun, adalah rasio yang kembali meningkat selama tiga tahun terakhir. Sebelumnya rasio tersebut cenderung turun, meski makin perlahan.
Untuk keperluan analisis dan lebih
menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula
membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena
pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang.
Ada dua istilah yang perlu
diperhatikan dalam analisis semacam ini, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran
negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengeluaran
negara adalah uang yang keluar dari kas negara. Sebagai contoh, pendapatan
negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada
penerimaan negara yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan
dalam pembiayaan.
Realisasi sementara dari APBN
2017 menyebutkan Pendapatan Negara yang diperoleh adalah sebesar Rp1.655,8
triliun. Pendapatan diperoleh dari sumber: Penerimaan Perpajakan, Penerimaaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan antara
lain berasal dari: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, cukai,
bea masuk, dan lainnya. Sedangkan PNBP diperoleh dari: penerimaan Sumber Daya
Alam , bagian laba BUMN, pendapatan Badan Layanan Umum, dan PNBP lainnya.
JIka pendapatan negara tahun 2017
dibandingkan dengan posisi utangnya, maka diperoleh rasio sebesar 237,9%. Artinya
jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan. Oleh karena laju kenaikan
utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas pendapatan negara juga
tampak naik dengan cukup cepat selama beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun
sebelumnya, rasio ini sempat menurun.
Untuk keperluan analisis dan lebih
menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula
membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena
pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang. Oleh karena
laju kenaikan utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas
pendapatan negara juga tampak naik dengan cepat. Posisi tahun 2017 adalah
237,9%, artinya jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan.
Dalam hal konsep serta
perhitungan Pendapatan Nasional, selain Produk Domestik Bruto (PDB), sebenarnya
ada yang disebut dengan Produk Nasional Bruto (PNB). PNB telah memperhitungkan aspek
pendapatan neto terhadap luar negeri atas faktor produksi. PDB adalah konsep
pendapatan nasional berbasis produksi di wilayah Indonesia, termasuk oleh pihak
asing. PNB adalah konsep berbasis badan hukum (perorangan maupun korporasi).
Produksi asing di wilayah Indonesia dikeluarkan, produksi Indonesia di luar
dimasukkan dalam perhitungan, sehingga diperoleh pendapatan netonya. Perhitungan
BPS untuk Indonesia menunjukkan bahwa nilai PNB selalu lebih kecil dibanding
PDB. Sebagai contoh, pada tahun 2017, PDB sebesar Rp13.588,8 T, sedangkan PNB
hanya sebesar Rp13.159,2 T. Secara historis nilai PNB di kisaran 97-98% dari
PDB tahun bersangkutan. Jika dikaitkan dengan rasio utang, utang/PDB tahun 2017
sebesar 28,98%, sedangkan utang/PNB sebesar 29,93%. Secara historis, rasio
utang/PNB lebih tinggi di kisaran 0,6 hingga 1,0% dari utang/PDB.
Jika total PDB sebesar Rp13.589
triliun tahun 2017 dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan,
sesuai perhitungan BPS untuk hal ini, maka diperolej nilai pendapatan per
kapita sebesar Rp51,9 juta. Baik nilai PDB maupun PNB per kapita terus
meningkat selama ini. Pada saat bersamaan, utang per kapita juga meningkat,
yang pada tahun 2017 mencapai Rp15,04 juta. Sebagian pengkritik pemerintah
biasa mengatakan bahwa tiap orang, baru lahir sekalipun, menanggung utang Rp15
juta.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4