Jumat, 13 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 2)


Utang Pemerintah sebesar Rp3.938,45 triliun rupiah dapat pula dibedakan menjadi utang luar negeri (ULN) pemerintah dan utang dalam negeri (UDN) pemerintah. ULN Pemerintah sering mendapat perhatian khusus dalam banyak analisis. Akan tetapi perlu diketahui bahwa ULN tidak hanya Pemerintah, melainkan juga swasta dan Bank Indonesia.

ULN Pemerintah adalah semua utang kepada pihak asing atau bukan penduduk. Baik dalam bentuk utang secara langsung, yang disebut pinjaman luar negeri (loans). Ataupun dalam bentuk SBN yang dipegang atau dimiliki oleh asing. Tidak dipersoalkan tentang mata uang SBN tersebut. Sekalipun SBN berdenominasi valas, jika dimiliki oleh penduduk, maka tidak dicatat sebagai ULN. Di sisi lain, SBN berdenominasi rupiah yang dimiliki oleh asing, dicatat sebagai ULN. Pengertian penduduk merujuk kepada berbadan hukum Indonesia dan perorangan WNI. Posisi ULN Pemerintah pada 31 Desember 2017 adalah Rp2.402 triliun atau setara dengan USD177,32 miliar. Porsi ULN Pemerintah, berarti berutang kepada asing atau bukan penduduk, telah mencapai 61% dari total utangnya.

Selama dua puluh tahun terakhir atau sejak era reformasi, posisi utang pemerintah mengalami beberapa pola perkembangan. Pada kurun tahun 1997 – 2000 utang meningkat drastis sebagai dampak krisis dan kebijakan pemerintah (negara) melakukan BLBI dan rekapitulasi perbankan. Pada kurun tahun 2000 – 2007 posisinya tampak stagnan, terutama karena masih besarnya penerimaan pembiayaan non utang (seperti penjualan aset jaminan yang disita). Pada kurun 2009 – 2017, posisi utang kembali meningkat signifikan. Dan pada tiga tahun terakhir, laju penambahan utang cenderung lebih besar lagi. Laju penambahan utang secara teknis adalah karena harus membiayai defisit anggaran, yakni belanja yang lebih besar dibanding pendapatan.


Dapat dilihat dari grafik yang diolah dari data publikasi bulanan Ditjen Pembiyaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan RI, berbagai edisi. Sebagai contoh dapat dilihat perkembangan posisi : Rp653T (1998), Rp1636 (2008), Rp2.375 T (2013), dan Rp3938 T (2017). Tahun 1997 pinjaman Rp263T dan belum ada SBN, pinjaman cenderung stagnan selama periode 2008-2017, artinya penarikan pinjaman baru hampir setara dengan pembayaran cicilan pokok. Sedangkan SBN memang terus meningkat. Sebagian tambahan utang bukan karena defisit ataupun pembiayaan utang, melainkan karena pelemahan kurs rupiah.


Dari grafik dapat dilihat bahwa laju penambahan utang yang kembali cukup cepat dimulai lagi sejak tahun 2008, meski sempat tertahan pada tahun 2009. Harus difahami bahwa utang pemerintah bersifat akumulatif, sebagian beban adalah dari era pemerintahan sebelumnya. Jika mau membandingkan era pemerintahan Presiden SBY dengan era pemerintahan Jokowi, musti cukup “adil”. Misalnya harus menimbang lama waktu yang dibandingkan, kurs rupiah, defisit anggaran, dan tentu saja penggunaannya untuk apa saja. Tentang hal ini akan dibahas lebih banyak pada bagian lain.




Contoh berikut ini hanya untuk mengingatkan bahwa tiga tahun terakhir periode SBY sebetulnya hanya sedikit lebih baik dalam hal penambahan utang dibanding tiga tahun pertama periode Jokowi. Ini semata dari perubahan posisi utang yang dinyatakan dalam nilai rupiah pada 31 Desember 2011 sebesar Rp1.808,95 triliun menjadi Rp2.608.78 triliun pada 31 Desember 2014. Utang bertambah sebesar Rp799.83 triliun atau 44,20%. Pelantikan Presiden Jokowi tanggal 20 Oktober 2014, diasumsikan tambahan utang hingga akhir tahun telah ditetapkan pemerintahan SBY (APBN dan rencana tahunan pengelolaan utang). Sedangkan posisi utang per 31 Desember 2017 adalah sebesar Rp3.938,45 triliun, memang bertambah sebesar Rp1.329,67 triliun, atau 50,97%. Penambahan utang kedua periode (tiga tahun) yang dibandingkan adalah sebesar 44,20% berbanding 50,97%. Sekali lagi, kita belum membicarakan aspek perubahan kurs dan aspek penggunaannya. Dengan demikian, utang pemerintah ini memang soalan yang telah dan masih akan menjadi tantangan bagi pemerintahan mendatang.

Salah satu faktor penting dalam perkembangan posisi utang adalah fluktuasi kurs rupiah, karena utang dalam denominasi valuta asing telah mencapai 41%. Khusus dollar Amerika telah mencapai 29% dari total utang pemerintah pada 31 Desember 2017. Kondisi itu terbilang lebih baik dibanding denominasi rupiah secara rata-rata tahun 2000 – 2017 yang berada di kisaran 55%, sedangkan valuta asing di kisaran 45%. Khusus utang dalam mata uang USD belakangan ini rata-rata sekitar 30% dari total utang. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang akan mempengaruhi posisi utang dalam rupiah pada tanggal bersangkutan. Pelemahan rupiah akan menambah jumlah utang jika dilihat dalam nilai rupiahnya.


Aspek perkembangan utang yang perlu difahami juga adalah dalam soalan kepemilikan SBN oleh asing atau yang bukan penduduk. Sebagai contoh laporan Bank Indonesia mengingatkan fakta tentang pembiayaan swasta yang masih banyak ditopang oleh aliran modal asing yang sebagian berjangka pendek sehingga berpotensi menjadi sumber kerentanan bagi perekonomian. BI menilai hal tersebut antara lain terlihat pada cukup besarnya porsi dana asing dalam SBN. Sampai dengan triwulan IV 2017, pangsa investor asing di SBN Indonesia masih dalam tren yang terus meningkat dan bahkan paling besar dibandingkan dengan kondisi di sejumlah negara kawasan. (gambar disalin dari laporan BI, 2018).



Posisi kepemilikan SBN oleh asing berada di kisaran 38-40% selama empat tahun terakhir, sejak tahun 2014. Sebelumnya, di kisaran 25 – 35% pada tahun 2010 – 2013. Sebagai perbandingan pula, kepemilikan asing memang mulai meningkat pesat sejak bertahun-tahun lampau: 0,3% (2002), 1,6% (2003), 2,7% (2004), 7,8% (2005), 13,1% (2006), dan 16,36% (2007).

Akibat porsi kepemilikan asing yang cenderung meningkat sejak lama, dan bertahan dalam porsi sekitar 40-an persen dalam empat tahun terakhir, maka utang luar negeri pemerintah pun meningkat. Porsi ULN telah melampaui UDN sejak sepuluh tahun lalu.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 3