Utang Pemerintah sebesar
Rp3.938,45 triliun rupiah dapat pula dibedakan menjadi utang luar negeri (ULN)
pemerintah dan utang dalam negeri (UDN) pemerintah. ULN Pemerintah sering
mendapat perhatian khusus dalam banyak analisis. Akan tetapi perlu diketahui
bahwa ULN tidak hanya Pemerintah, melainkan juga swasta dan Bank Indonesia.
ULN Pemerintah adalah semua utang
kepada pihak asing atau bukan penduduk. Baik dalam bentuk utang secara
langsung, yang disebut pinjaman luar negeri (loans). Ataupun dalam bentuk SBN
yang dipegang atau dimiliki oleh asing. Tidak dipersoalkan tentang mata uang
SBN tersebut. Sekalipun SBN berdenominasi valas, jika dimiliki oleh penduduk, maka
tidak dicatat sebagai ULN. Di sisi lain, SBN berdenominasi rupiah yang dimiliki
oleh asing, dicatat sebagai ULN. Pengertian penduduk merujuk kepada berbadan hukum
Indonesia dan perorangan WNI. Posisi ULN Pemerintah pada 31 Desember 2017
adalah Rp2.402 triliun atau setara dengan USD177,32 miliar. Porsi ULN
Pemerintah, berarti berutang kepada asing atau bukan penduduk, telah mencapai
61% dari total utangnya.
Selama dua puluh tahun terakhir
atau sejak era reformasi, posisi utang pemerintah mengalami beberapa pola
perkembangan. Pada kurun tahun 1997 – 2000 utang meningkat drastis sebagai
dampak krisis dan kebijakan pemerintah (negara) melakukan BLBI dan rekapitulasi
perbankan. Pada kurun tahun 2000 – 2007 posisinya tampak stagnan, terutama
karena masih besarnya penerimaan pembiayaan non utang (seperti penjualan aset jaminan
yang disita). Pada kurun 2009 – 2017, posisi utang kembali meningkat signifikan.
Dan pada tiga tahun terakhir, laju penambahan utang cenderung lebih besar lagi.
Laju penambahan utang secara teknis adalah karena harus membiayai defisit
anggaran, yakni belanja yang lebih besar dibanding pendapatan.
Dapat dilihat dari grafik yang
diolah dari data publikasi bulanan Ditjen Pembiyaan dan Pengelolaan Risiko
(DJPPR) Kementerian Keuangan RI, berbagai edisi. Sebagai contoh dapat dilihat
perkembangan posisi : Rp653T (1998), Rp1636 (2008), Rp2.375 T (2013), dan
Rp3938 T (2017). Tahun 1997 pinjaman Rp263T dan belum ada SBN, pinjaman
cenderung stagnan selama periode 2008-2017, artinya penarikan pinjaman baru
hampir setara dengan pembayaran cicilan pokok. Sedangkan SBN memang terus
meningkat. Sebagian tambahan utang bukan karena defisit ataupun pembiayaan
utang, melainkan karena pelemahan kurs rupiah.
Dari grafik dapat dilihat bahwa
laju penambahan utang yang kembali cukup cepat dimulai lagi sejak tahun 2008, meski
sempat tertahan pada tahun 2009. Harus difahami bahwa utang pemerintah bersifat
akumulatif, sebagian beban adalah dari era pemerintahan sebelumnya. Jika mau membandingkan
era pemerintahan Presiden SBY dengan era pemerintahan Jokowi, musti cukup
“adil”. Misalnya harus menimbang lama waktu yang dibandingkan, kurs rupiah,
defisit anggaran, dan tentu saja penggunaannya untuk apa saja. Tentang hal ini akan
dibahas lebih banyak pada bagian lain.
Contoh berikut ini hanya untuk
mengingatkan bahwa tiga tahun terakhir periode SBY sebetulnya hanya sedikit
lebih baik dalam hal penambahan utang dibanding tiga tahun pertama periode
Jokowi. Ini semata dari perubahan posisi utang yang dinyatakan dalam nilai
rupiah pada 31 Desember 2011 sebesar Rp1.808,95 triliun menjadi Rp2.608.78
triliun pada 31 Desember 2014. Utang bertambah sebesar Rp799.83 triliun atau
44,20%. Pelantikan Presiden Jokowi tanggal 20 Oktober 2014, diasumsikan
tambahan utang hingga akhir tahun telah ditetapkan pemerintahan SBY (APBN dan
rencana tahunan pengelolaan utang). Sedangkan posisi utang per 31 Desember 2017
adalah sebesar Rp3.938,45 triliun, memang bertambah sebesar Rp1.329,67 triliun,
atau 50,97%. Penambahan utang kedua periode (tiga tahun) yang dibandingkan
adalah sebesar 44,20% berbanding 50,97%. Sekali lagi, kita belum membicarakan
aspek perubahan kurs dan aspek penggunaannya. Dengan demikian, utang pemerintah
ini memang soalan yang telah dan masih akan menjadi tantangan bagi pemerintahan
mendatang.
Salah satu faktor penting dalam
perkembangan posisi utang adalah fluktuasi kurs rupiah, karena utang dalam
denominasi valuta asing telah mencapai 41%. Khusus dollar Amerika telah
mencapai 29% dari total utang pemerintah pada 31 Desember 2017. Kondisi itu
terbilang lebih baik dibanding denominasi rupiah secara rata-rata tahun 2000 –
2017 yang berada di kisaran 55%, sedangkan valuta asing di kisaran 45%. Khusus
utang dalam mata uang USD belakangan ini rata-rata sekitar 30% dari total
utang. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang akan mempengaruhi posisi
utang dalam rupiah pada tanggal bersangkutan. Pelemahan rupiah akan menambah
jumlah utang jika dilihat dalam nilai rupiahnya.
Aspek perkembangan utang yang
perlu difahami juga adalah dalam soalan kepemilikan SBN oleh asing atau yang
bukan penduduk. Sebagai contoh laporan Bank Indonesia mengingatkan fakta
tentang pembiayaan swasta yang masih banyak ditopang oleh aliran modal asing
yang sebagian berjangka pendek sehingga berpotensi menjadi sumber kerentanan
bagi perekonomian. BI menilai hal tersebut antara lain terlihat pada cukup
besarnya porsi dana asing dalam SBN. Sampai dengan triwulan IV 2017, pangsa
investor asing di SBN Indonesia masih dalam tren yang terus meningkat dan
bahkan paling besar dibandingkan dengan kondisi di sejumlah negara kawasan. (gambar
disalin dari laporan BI, 2018).
Posisi kepemilikan SBN oleh asing berada di kisaran 38-40% selama empat tahun terakhir, sejak tahun 2014. Sebelumnya, di kisaran 25 – 35% pada tahun 2010 – 2013. Sebagai perbandingan pula, kepemilikan asing memang mulai meningkat pesat sejak bertahun-tahun lampau: 0,3% (2002), 1,6% (2003), 2,7% (2004), 7,8% (2005), 13,1% (2006), dan 16,36% (2007).
Akibat porsi kepemilikan asing
yang cenderung meningkat sejak lama, dan bertahan dalam porsi sekitar 40-an
persen dalam empat tahun terakhir, maka utang luar negeri pemerintah pun
meningkat. Porsi ULN telah melampaui UDN sejak sepuluh tahun lalu.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3