Belanja Daerah dan Transfer dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
yang disajikan menurut Klasifikasi Ekonomi didasarkan pada jenis belanja untuk
melaksanakan aktivitas. Terdiri dari: 1) Belanja Operasi, 2) Belanja Modal, 3)
Belanja Tak Terduga, dan 4) Transfer.
Belanja Operasi adalah
pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi
manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga,
Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Belanja Modal digunakan untuk
pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan
seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Analisis atas rincian belanja
menurut jenis ini dapat dilakukan pada satu tahun anggaran, biasanya melihat
tingkat realisasi. Jenis belanja apa yang rendah realisasinya dan dibicarakan
faktor penyebab utama. Gubernur (Pemda) kadang memberi penjelasan dalam LKPD,
dan sering dalam forum bersama legislatif ataupun penjelasan ke media masa.
Jika ada masalah (rendahnya realisasi), mingkin bisa pada aspek perencanaan
(penganggaran) maupun aspek pelaksanaan, atau keduanya.
Dalam hal belanja operasi, dalam
kondisi apa pun biasanya penyerapan tetap tinggi. Dalam hal belanja pegawai
kadang sedikit menyesuaikan dengan belanja modal. Sebagian aspek belanja modal
perlu dana yang terkategori belanja pegawai, seperti dampak pemeliharaan ketika
telah terbeli. Ketika sebagian mesin dan peralatan tidak terealisasi, maka
sebagian alokasi belanja pegawai pun tak terjadi. Salah satu cara melihat hal
ini adalah merujuk kepada rincian klasifikasi belanja menurut Kelompok Belanja
terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja pegawai
menjadi terbagi dalam kedua rincian, yang jika dijumlahkan sama dengan belanja
pegawai menurut klasifikasi ekonomi.
Tingkat realisasi (biasa disebut
penyerapan dalam pemberitaan) Belanja dalam APBD DKI Jakarta tahun 2015 menurut
jenis adalah sebagai berikut: Belanja Operasi realisasinya 79,48%. Terdiri atas:
a. Belanja Pegawai 88,76%, b.Belanja Barang dan Jasa 64,76%. c. Belanja Bunga
11,89%, d. Belanja Subsidi 70,12%, e. Belanja Hibah 96,20%, f. Belanja Bantuan
Sosial 99,96%. Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi
target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini
tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada
yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Realisasi Belanja barang dan
jasa justeru tampak amat rendah, yang dapat diberi tafsiran tentang tidak
optimalnya operasional Pemda. Jika masalahnya adalah pada besarnya nilai
rencana belanja jenis itu, berarti ada yang kurang dalam manajemen
pemerintahan, karena prosesnya melibatkan hampir semua pihak dalam kepemimpinan
Gubernur. Rencana pun diajukan atas nama gubernur, dan untuk kasus anggaran
2015 ditetapkan oleh Peraturan Gubernur (bisanya oleh Peraturan Daerah).
Sementara itu belanja pegawai sebesar
88,76% adalah belum optimal, meski terbilang masih cukup besar, terutama karena
realisasi belanja modal yang hanya 55,60%. Terdiri dari: a. realisasi Belanja
Tanah 46,91%, b. realisasi Belanja Peralatan dan Mesin 62,22%, c. realisasi Belanja
Gedung dan Bangunan 60,45%, d. realisasi Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan
61,95%, e. realisasi Belanja Aset Tetap Lainnya 40,54%. Bagaimanapun belanja
modal per definisi makroekonomi adalah termasuk investasi yang memiliki efek
pengganda bagi pertumbuhan ekonomi. Rendahnya penyerapan musti ditelusuri lebih
jauh karena menyia-nyiakan potensi. Sebagai tambahan argumentasi, APBD masih
surplus, dengan utang yang amat kecil, bahkan masih ada piutang dana Transfer
Pemerintah Pusat yang sangat besar.
Beberapa versi penjelasan beredar
dalam dokumen, pemberitaan media ataupun pernyataan Gubernur dan atau pejabat.
Ada soal kesulitan pembebasan tanah, baik karena soal harga ataupun teknis
lain. Kembali musti diperiksa pada tiap kasus, bagaimana perencanaannya, apa
kesulitan pastinya. Bukankah ini “hanya” perencanaan berdurasi satu tahu,
mengapa faktor-faktor tersebut sampai tidak terukur. Ada soal isyu “anggaran
siluman” dari pihak legislatif yang bersekongkol dengan oknum birokrasi Pemda.
Artinya perlu dicermati lagi, dan sekali lagi Gubernur memiliki “power” yang
amat besar sejak rencana, sehingga bagaimana solusinya. Untuk anggaran tahun
2015, bukankah Pergub atau APBD versi Gubernur yang dijalankan, bukan peraturan
daerah. Isyu tersebut pastinya antara lain akan tersaji dalam belanja modal
lainnya, selain tanah. Dan kemungkinan sudah pula “tergunting” dalam rendahnya
serapan belanja barang di atas. Tampaknya, gubernur (Pemda) memiliki “utang
penjelasan” atas serapan yang amat rendah pada belanja modal (serta belanja
barang dan jasa) tahun 2015.
Analisis dapat pula dilakukan
dengan perbandingan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula
keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Melanjutkan contoh dari data di atas, realisasi Belanja Modal yang amat rendah
yakni sebesar 55,60% dari target pada tahun 2015 bagaimana jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Ternyata realisasi tahun 2014 justeru lebih
rendah (mungkin ada cutinya Gubernur pada saat Pilpres, dilanjutkan masa posisi
terpilih Presiden) sebesar 40,78%. Sedangkan rata-rata penyerapan selama lima
tahun (2009 – 2013) adalah 71,31%. Dengan kata lain, serapan belanja modal
tahun 2015 masih jauh dari rata-rata itu.
Rincian serapan belanja modal selain
tanah juga bisa lebih menggambarkan seberapa optimal Pemda memberi kontribusi mendorong
pertumbuhan ekonomi (termasuk penyerapan tenaga kerja). Pada tahun 2015,
serapan belanja Belanja Peralatan dan Mesin mencapai 62,22% dari target. Memang
lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 53,20%. Masih jauh lebih rendah
dibandingkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 79,14%.
Serapan Belanja Jalan, Irigasi
dan Jaringan pada tahun 2015 adalah sebesar 61,95%. Jauh lebih tinggi dibanding
tahun 2014 yang hanya 33,63%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 –
2013) sebesar 74,25%.
Ada baiknya dalam wacana Pilkada,
calon gubernur pertahana memberi penjelasan tentang tidak optimalnya belanja
modal, terutama belanja Belanja Peralatan dan Mesin serta Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan. Apa
kendalanya dan bagaimana rencana dia ke depannya. Sedangkan para penantang
dapat mencermati angka-angka yang lebih rinci (misal data yang lebih detil dari
yang tidak direalisasi), lalu memberi ide untuk mengatasinya.