Minggu, 23 Oktober 2016

BELANJA MODAL DKI JAKARTA BELUM OPTIMAL

Belanja Daerah dan Transfer  dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan menurut Klasifikasi Ekonomi didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan aktivitas. Terdiri dari: 1) Belanja Operasi, 2) Belanja Modal, 3) Belanja Tak Terduga, dan 4) Transfer.

Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Analisis atas rincian belanja menurut jenis ini dapat dilakukan pada satu tahun anggaran, biasanya melihat tingkat realisasi. Jenis belanja apa yang rendah realisasinya dan dibicarakan faktor penyebab utama. Gubernur (Pemda) kadang memberi penjelasan dalam LKPD, dan sering dalam forum bersama legislatif ataupun penjelasan ke media masa. Jika ada masalah (rendahnya realisasi), mingkin bisa pada aspek perencanaan (penganggaran) maupun aspek pelaksanaan, atau keduanya.
Dalam hal belanja operasi, dalam kondisi apa pun biasanya penyerapan tetap tinggi. Dalam hal belanja pegawai kadang sedikit menyesuaikan dengan belanja modal. Sebagian aspek belanja modal perlu dana yang terkategori belanja pegawai, seperti dampak pemeliharaan ketika telah terbeli. Ketika sebagian mesin dan peralatan tidak terealisasi, maka sebagian alokasi belanja pegawai pun tak terjadi. Salah satu cara melihat hal ini adalah merujuk kepada rincian klasifikasi belanja menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja pegawai menjadi terbagi dalam kedua rincian, yang jika dijumlahkan sama dengan belanja pegawai menurut klasifikasi ekonomi.

Tingkat realisasi (biasa disebut penyerapan dalam pemberitaan) Belanja dalam APBD DKI Jakarta tahun 2015 menurut jenis adalah sebagai berikut: Belanja Operasi realisasinya 79,48%. Terdiri atas: a. Belanja Pegawai 88,76%, b.Belanja Barang dan Jasa 64,76%. c. Belanja Bunga 11,89%, d. Belanja Subsidi 70,12%, e. Belanja Hibah 96,20%, f. Belanja Bantuan Sosial 99,96%. Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Realisasi Belanja barang dan jasa justeru tampak amat rendah, yang dapat diberi tafsiran tentang tidak optimalnya operasional Pemda. Jika masalahnya adalah pada besarnya nilai rencana belanja jenis itu, berarti ada yang kurang dalam manajemen pemerintahan, karena prosesnya melibatkan hampir semua pihak dalam kepemimpinan Gubernur. Rencana pun diajukan atas nama gubernur, dan untuk kasus anggaran 2015 ditetapkan oleh Peraturan Gubernur (bisanya oleh Peraturan Daerah).


Sementara itu belanja pegawai sebesar 88,76% adalah belum optimal, meski terbilang masih cukup besar, terutama karena realisasi belanja modal yang hanya 55,60%. Terdiri dari: a. realisasi Belanja Tanah 46,91%, b. realisasi Belanja Peralatan dan Mesin 62,22%, c. realisasi Belanja Gedung dan Bangunan 60,45%, d. realisasi Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 61,95%, e. realisasi Belanja Aset Tetap Lainnya 40,54%. Bagaimanapun belanja modal per definisi makroekonomi adalah termasuk investasi yang memiliki efek pengganda bagi pertumbuhan ekonomi. Rendahnya penyerapan musti ditelusuri lebih jauh karena menyia-nyiakan potensi. Sebagai tambahan argumentasi, APBD masih surplus, dengan utang yang amat kecil, bahkan masih ada piutang dana Transfer Pemerintah Pusat yang sangat besar.

Beberapa versi penjelasan beredar dalam dokumen, pemberitaan media ataupun pernyataan Gubernur dan atau pejabat. Ada soal kesulitan pembebasan tanah, baik karena soal harga ataupun teknis lain. Kembali musti diperiksa pada tiap kasus, bagaimana perencanaannya, apa kesulitan pastinya. Bukankah ini “hanya” perencanaan berdurasi satu tahu, mengapa faktor-faktor tersebut sampai tidak terukur. Ada soal isyu “anggaran siluman” dari pihak legislatif yang bersekongkol dengan oknum birokrasi Pemda. Artinya perlu dicermati lagi, dan sekali lagi Gubernur memiliki “power” yang amat besar sejak rencana, sehingga bagaimana solusinya. Untuk anggaran tahun 2015, bukankah Pergub atau APBD versi Gubernur yang dijalankan, bukan peraturan daerah. Isyu tersebut pastinya antara lain akan tersaji dalam belanja modal lainnya, selain tanah. Dan kemungkinan sudah pula “tergunting” dalam rendahnya serapan belanja barang di atas. Tampaknya, gubernur (Pemda) memiliki “utang penjelasan” atas serapan yang amat rendah pada belanja modal (serta belanja barang dan jasa) tahun 2015.  

Analisis dapat pula dilakukan dengan perbandingan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Melanjutkan contoh dari data di atas,  realisasi Belanja Modal yang amat rendah yakni sebesar 55,60% dari target pada tahun 2015 bagaimana jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ternyata realisasi tahun 2014 justeru lebih rendah (mungkin ada cutinya Gubernur pada saat Pilpres, dilanjutkan masa posisi terpilih Presiden) sebesar 40,78%. Sedangkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) adalah 71,31%. Dengan kata lain, serapan belanja modal tahun 2015 masih jauh dari rata-rata itu.

Rincian serapan belanja modal selain tanah juga bisa lebih menggambarkan seberapa optimal Pemda memberi kontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi (termasuk penyerapan tenaga kerja). Pada tahun 2015, serapan belanja Belanja Peralatan dan Mesin mencapai 62,22% dari target. Memang lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 53,20%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 79,14%.

Serapan Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan pada tahun 2015 adalah sebesar 61,95%. Jauh lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 33,63%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan  rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 74,25%.


Ada baiknya dalam wacana Pilkada, calon gubernur pertahana memberi penjelasan tentang tidak optimalnya belanja modal, terutama belanja Belanja Peralatan dan Mesin serta  Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan. Apa kendalanya dan bagaimana rencana dia ke depannya. Sedangkan para penantang dapat mencermati angka-angka yang lebih rinci (misal data yang lebih detil dari yang tidak direalisasi), lalu memberi ide untuk mengatasinya.