Rabu, 26 Oktober 2016

KESINAMBUNGAN FISKAL MENJADI TANTANGAN SERIUS PEMERINTAH

Istilah Kesinambungan fiskal muncul  hingga 16 kali dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017. Namun tanpa definisi berupa kalimat yang tegas. Istilah dipakai lebih dalam konteks menjaga, memelihara dan tampak kekhawatiran tentang soalan itu kini dan beberapa tahun ke depan. Terlihat pula istilah kesinambungan sering bertukar tempat atau terkait sangat erat dengan ketahanan fiskal.  
Pengertian yang umum dari kesinambungan fiskal suatu negara sebagai ketiadaan risiko gagal bayar utang dan bunganya. Secara penalaran biasa berarti pengeluaran operasional sebagai negara terjamin oleh penerimaan yang cukup terukur atau terprediksi ke depannya.

Apa indikator mengukur tingkat kesinambungan fiskal? Bisa macam-macam, yang penting bisa memberi “warning” agar dapat diambil langkah perbaikan atau kebijakan berjaga-jaga dari risiko terburuk. Diantaranya adalah:1. rasio keseimbangan primer terhadap PDB;2. rasio utang pemerintah terhadap PDB; 3. rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatan negara.

Keseimbangan primer (primary balance), yang sebenarnya adalah suatu neraca. Pendapatan dikurangi belanja, tanpa memasukkan pembayaran bunga utang dalam belanjanya. Jika angkanya positif (surplus) berarti sebagian bunga utang (jika besar bisa seluruhnya) dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan melainkan dari utang baru. Keseimbangan Primer Indonesia sudah negatif sejak tahun 2012, dan proyeksi Kemenkeu RI masih akan negatif hingga tahun 2020. Yang diupayakan hanya menekan agar tidak terus membesar secara prosentasi dari PDB dan dari Pendapatan. Dari indikator ini kesinambungan fiskal SANGAT RAWAN. 

Rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt to GDP ratio) terbilang aman karena masih di bawah angka 30 %. Namun kecenderungannya memburuk dalam dua tahun terakhir. Naik dari 24,7% menjadi 27,7%. Angka 27,7% juga masih proyeksi APBNP 2016, yang kemungkinan sedikit meleset karena utang baru lebih besar daripada yang ditargetkan, sehingga kisarannya lebih mendekati 28%. Masih aman, namun PATUT MULAI DIWASPADAI.


Rasio pembayaran bunga utang (debt service) pemerintah terhadap pendapatan negara juga terbilang masih aman, namun terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2012, pembayaran bunga utang masih 7,5% dari penerimaan, terus naik tiap tahun, hingga diproyeksikan menjadi 10,7% pada akhir tahun nanti. Kemungkinan bisa mencapai 10,9% karena pembayaran bunga melebihi target, sedang penerimaan di bawah target. Masih aman, namun AMAT PERLU DIWASPADAI.


Harus difahami bahwa beban utang ini tidak semata “tanggung jawab” pemerintahan Jokowi, karena bersifat akumulatif. Pemerintahan Jokowi selama dua tahun ini bisa dibilang terlampau ekspansif dalam kebijakan fiskal, sehingga deficit melebar, utang tumbuh lebih cepat, dan akibatnya indikator kesinambungan fiskan memburuk. Jika belanja prioritas dan turunannya kemudian menghasilkan kemampuan membayar yang lebih baik di masa mendatang, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Misalkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi, pendapatan meningkat (baik karena pertumbuhan itu ataupun kebijakan semacam amnesti pajak), efisiensi belanja membaik, biaya utang menurun signifikan (terutama turunnya yield SBN karena “bargaining” yang lebih kuat), dan lain-lain.


Berutang sebenarnya tidak bisa dihindarkan oleh negara mana pun, namun masalahnya adalah pada KEMAMPUAN MEMBAYAR di kemudian hari. Tantangannya apakah kebijakan fiskal pemerintah akan meningkatkan hal itu, dan kemudian mampu memelihara kesinambungan fiskal. Dan pada akhirnya, apakah kebijakan fiskal itu memenuhi fungsi alokatif, fungsi distributif dan fungsi stabilasasi. Yang kesemuanya berujung kepada peningkatan kesejahteraan umum. Adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.