Istilah Kesinambungan fiskal
muncul hingga 16 kali dalam Nota
Keuangan dan RAPBN 2017. Namun tanpa definisi berupa kalimat yang tegas.
Istilah dipakai lebih dalam konteks menjaga, memelihara dan tampak kekhawatiran
tentang soalan itu kini dan beberapa tahun ke depan. Terlihat pula istilah
kesinambungan sering bertukar tempat atau terkait sangat erat dengan ketahanan
fiskal.
Pengertian yang umum dari
kesinambungan fiskal suatu negara sebagai ketiadaan risiko gagal bayar utang
dan bunganya. Secara penalaran biasa berarti pengeluaran operasional sebagai
negara terjamin oleh penerimaan yang cukup terukur atau terprediksi ke
depannya.
Apa indikator mengukur tingkat
kesinambungan fiskal? Bisa macam-macam, yang penting bisa memberi “warning” agar dapat diambil langkah
perbaikan atau kebijakan berjaga-jaga dari risiko terburuk. Diantaranya adalah:1.
rasio keseimbangan primer terhadap PDB;2. rasio utang pemerintah terhadap PDB;
3. rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatan negara.
Keseimbangan primer (primary balance), yang sebenarnya adalah
suatu neraca. Pendapatan dikurangi belanja, tanpa memasukkan pembayaran bunga
utang dalam belanjanya. Jika angkanya positif (surplus) berarti sebagian bunga
utang (jika besar bisa seluruhnya) dibayar dari pendapatan. Jika negatif
(defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan melainkan
dari utang baru. Keseimbangan Primer Indonesia sudah negatif sejak tahun 2012,
dan proyeksi Kemenkeu RI masih akan negatif hingga tahun 2020. Yang diupayakan
hanya menekan agar tidak terus membesar secara prosentasi dari PDB dan dari
Pendapatan. Dari indikator ini kesinambungan fiskal SANGAT RAWAN.
Rasio utang pemerintah terhadap
PDB (debt to GDP ratio) terbilang
aman karena masih di bawah angka 30 %. Namun kecenderungannya memburuk dalam
dua tahun terakhir. Naik dari 24,7% menjadi 27,7%. Angka 27,7% juga masih
proyeksi APBNP 2016, yang kemungkinan sedikit meleset karena utang baru lebih
besar daripada yang ditargetkan, sehingga kisarannya lebih mendekati 28%. Masih aman, namun PATUT MULAI DIWASPADAI.
Rasio pembayaran bunga utang (debt service) pemerintah terhadap
pendapatan negara juga terbilang masih aman, namun terus memburuk dalam beberapa
tahun terakhir. Pada tahun 2012, pembayaran bunga utang masih 7,5% dari
penerimaan, terus naik tiap tahun, hingga diproyeksikan menjadi 10,7% pada
akhir tahun nanti. Kemungkinan bisa mencapai 10,9% karena pembayaran bunga melebihi
target, sedang penerimaan di bawah target. Masih aman, namun AMAT PERLU
DIWASPADAI.
Harus difahami bahwa beban utang
ini tidak semata “tanggung jawab” pemerintahan Jokowi, karena bersifat
akumulatif. Pemerintahan Jokowi selama dua tahun ini bisa dibilang terlampau
ekspansif dalam kebijakan fiskal, sehingga deficit melebar, utang tumbuh lebih
cepat, dan akibatnya indikator kesinambungan fiskan memburuk. Jika belanja
prioritas dan turunannya kemudian menghasilkan kemampuan membayar yang lebih
baik di masa mendatang, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Misalkan
pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi, pendapatan meningkat (baik karena
pertumbuhan itu ataupun kebijakan semacam amnesti pajak), efisiensi belanja
membaik, biaya utang menurun signifikan (terutama turunnya yield SBN karena “bargaining”
yang lebih kuat), dan lain-lain.
Berutang sebenarnya tidak bisa
dihindarkan oleh negara mana pun, namun masalahnya adalah pada KEMAMPUAN
MEMBAYAR di kemudian hari. Tantangannya apakah kebijakan fiskal pemerintah akan
meningkatkan hal itu, dan kemudian mampu memelihara kesinambungan fiskal. Dan
pada akhirnya, apakah kebijakan fiskal itu memenuhi fungsi alokatif, fungsi distributif
dan fungsi stabilasasi. Yang kesemuanya berujung kepada peningkatan
kesejahteraan umum. Adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.