Bank Indonesia melaporkan
terjadinya tren perlambatan pertumbuhan kredit selama beberapa bulan terakhir,
hingga Juli 2016. Penyebabnya adalah permintaan kredit yang rendah dan risiko
kredit yang meningkat. BI menyebut faktor permintaan (demand) yang masih rendah tersebut sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi yang memang masih belum kuat. Pada sisi lain, ada sikap perbankan yang
semakin berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru, dengan meningkatkan persyaratan
kredit atau lending standard, seiring
meningkatnya risiko kredit.
Sebenarnya, perbankan sedang memiliki banyak dana, diindikasikan antara lain oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tetap stabil, rasio kecukupan modal yang amat tinggi, dan Loan to Depist ratio (LDR) yang masih belum optimal. BI menjelaskan fenomena ini dalam perspektif positif, dengan menilai bahwa ketahanan industri perbankan tetap kuat, didukung oleh risiko kredit yang terjaga, rasio kecukupan modal yang kuat dan likuiditas yang memadai.
Pada Juli 2016, rasio kecukupan
modal (CAR) adalah sebesar 22,9%, jauh di atas ketentuan minimum yang hanya 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) diakui
mengalami sedikit peningkatan, namun tetap rendah dan berada di kisaran 3,2%
(gross) atau 1,5% (net). Likuiditas perbankan pun cukup memadai, seperti
tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga yang berada pada
level 20,8%.
Loan to Deposit Ratio (LDR) yang
sempat meningkat dalam beberapa tahun, mulai menurun kembali sepanjang tahun
2016. LDR yang mencapai 90,08% pada Juli 2016 memang masih terbilang tinggi dan
bisa dikatakan bahwa bank sudah berupaya keras menyalurkan dananya untuk
kredit. Otoritas moneter dan perbankan mungkin masih khwatir dan traumatik akan
keadaan sebelum krisis 1998, dimana LDR rata-rata Bank Umum adalah di atas
110%. Akan tetapi perhitungan di masa lalu menggunakan dana yang diterima
(funds received) sebagai bilangan penyebut, yang per definisi pasti lebih besar
daripada DPK. Dengan definisi LDR yang ketat
ditambah dengan data bahwa modal bank umum tampak semakin membesar, sebenarnya
fungsi intermediasi belum berjalan optimal.
Sementara itu, tingkat keuntungan
bank masih bisa dipertahankannya meski kredit tumbuh melambat. Penyebabnya antara lain karena penurunan suku
bunga kredit masih lebih lambat dari penurunan suku bunga deposito. Spread suku
bunga perbankan pun cenderung semakin melebar. Jika memperhitungkan tabungan,
maka spread itu menjadi jauh lebih lebar.
Salah satu tantangan serius dalam
waktu dekat adalah jika dana repatriasi program amnesti pajak menjadi lebih
sukses beberapa bulan mendatang, bahkan tahun depan karena diperpanjang. Hingga
akhir September 2016, sudah sekitar Rp 150 triliun dana repatriasi yang masuk.
Dana repatriasi yang setidaknya harus bertahan selama tiga tahun memang
memiliki beberapa opsi investasi yang diperbolehkan. Perbankan adalah salah
satu yang diduga akan banyak dipilih sebagai opsi menempatkan dana. Dana
perbankan yang semakin besar itu mau disalurkan ke sektor riil dengan cara apa?
Ke sektor mana, dengan skema apa?
Dinamika perbankan di Indonesia,
dan memang lazim begitu dalam industri perbankan, memperlihatkan bahwa bank
bersifat pro siklikal. Bank tidak punya kecenderungan ekspansif atau mendorong ekonomi
jika lesu, yang memang bukan tanggung jawabnya. Dalam kondisi perlambatan
ekonomi, apalagi jika terindikasi resesi, bank akan lebih berhati-hati dalam
penyaluran kredit. Dalam konteks ini relevan mengharapkan peran Bank BUMN, yang
mustinya bisa “dipaksa” oleh pemerintah memiliki perilaku berbeda.
Perekonomian nasional saat ini
dan beberapa waktu kedepan jelas butuh dana segar. Perbankan memiliki cukup
dana tetapi bertindak hati-hati, sesuai sifatnya yang pro silikal. Otoritas
moneter (BI) dan otoritas Keuangan dan perbankan (OJK) cenderung mengedepankan
faktor keamanan sistem moneter dan keuangan, antara lain karena traumatik
krisis di masa lalu. Sementara itu, program amnesti pajak makin berpotensi
membawa dana repatriasi, yang salah satu opsinya adalah ditempatkan di bank.
Maka tantangan mendesaknya adalah bagaimana industri perbankan distimulus untuk
lebih ekspansif. BI, OJK dan Pemerintah musti bersinergi untuk arah kebijakan
yang relevan. Bank BUMN musti dioptimalkan sebagai bagian dari hal itu. Peran
negara dalam perekonomian antara lain adalah untuk antisiklikal jika kondisi
lesu bahkan terindikasi krisis.