Senin, 03 Oktober 2016

PERBANKAN KELEBIHAN LIKUDITAS, NAMUN KREDIT TUMBUH MELAMBAT.

Bank Indonesia melaporkan terjadinya tren perlambatan pertumbuhan kredit selama beberapa bulan terakhir, hingga Juli 2016. Penyebabnya adalah permintaan kredit yang rendah dan risiko kredit yang meningkat. BI menyebut faktor permintaan (demand) yang masih rendah tersebut sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang memang masih belum kuat. Pada sisi lain, ada sikap perbankan yang semakin berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru, dengan meningkatkan persyaratan kredit atau lending standard, seiring meningkatnya risiko kredit.


Sebenarnya, perbankan sedang memiliki banyak dana, diindikasikan antara lain oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tetap stabil, rasio kecukupan modal yang amat tinggi, dan Loan to Depist ratio (LDR) yang masih belum optimal. BI menjelaskan fenomena ini dalam perspektif positif, dengan menilai bahwa ketahanan industri perbankan tetap kuat, didukung oleh risiko kredit yang terjaga, rasio kecukupan modal yang kuat dan likuiditas yang memadai.

Pada Juli 2016, rasio kecukupan modal (CAR) adalah sebesar 22,9%, jauh di atas ketentuan minimum yang hanya 8%. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) diakui mengalami sedikit peningkatan, namun tetap rendah dan berada di kisaran 3,2% (gross) atau 1,5% (net). Likuiditas perbankan pun cukup memadai, seperti tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga yang berada pada level 20,8%.

Loan to Deposit Ratio (LDR) yang sempat meningkat dalam beberapa tahun, mulai menurun kembali sepanjang tahun 2016. LDR yang mencapai 90,08% pada Juli 2016 memang masih terbilang tinggi dan bisa dikatakan bahwa bank sudah berupaya keras menyalurkan dananya untuk kredit. Otoritas moneter dan perbankan mungkin masih khwatir dan traumatik akan keadaan sebelum krisis 1998, dimana LDR rata-rata Bank Umum adalah di atas 110%. Akan tetapi perhitungan di masa lalu menggunakan dana yang diterima (funds received) sebagai bilangan penyebut, yang per definisi pasti lebih besar daripada DPK.  Dengan definisi LDR yang ketat ditambah dengan data bahwa modal bank umum tampak semakin membesar, sebenarnya fungsi intermediasi belum berjalan optimal.

Sementara itu, tingkat keuntungan bank masih bisa dipertahankannya meski kredit tumbuh melambat. Penyebabnya antara lain karena penurunan suku bunga kredit masih lebih lambat dari penurunan suku bunga deposito. Spread suku bunga perbankan pun cenderung semakin melebar. Jika memperhitungkan tabungan, maka spread itu menjadi jauh lebih lebar.


Salah satu tantangan serius dalam waktu dekat adalah jika dana repatriasi program amnesti pajak menjadi lebih sukses beberapa bulan mendatang, bahkan tahun depan karena diperpanjang. Hingga akhir September 2016, sudah sekitar Rp 150 triliun dana repatriasi yang masuk. Dana repatriasi yang setidaknya harus bertahan selama tiga tahun memang memiliki beberapa opsi investasi yang diperbolehkan. Perbankan adalah salah satu yang diduga akan banyak dipilih sebagai opsi menempatkan dana. Dana perbankan yang semakin besar itu mau disalurkan ke sektor riil dengan cara apa? Ke sektor mana, dengan skema apa? 

Dinamika perbankan di Indonesia, dan memang lazim begitu dalam industri perbankan, memperlihatkan bahwa bank bersifat pro siklikal. Bank tidak punya kecenderungan ekspansif atau mendorong ekonomi jika lesu, yang memang bukan tanggung jawabnya. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, apalagi jika terindikasi resesi, bank akan lebih berhati-hati dalam penyaluran kredit. Dalam konteks ini relevan mengharapkan peran Bank BUMN, yang mustinya bisa “dipaksa” oleh pemerintah memiliki perilaku berbeda.

Perekonomian nasional saat ini dan beberapa waktu kedepan jelas butuh dana segar. Perbankan memiliki cukup dana tetapi bertindak hati-hati, sesuai sifatnya yang pro silikal. Otoritas moneter (BI) dan otoritas Keuangan dan perbankan (OJK) cenderung mengedepankan faktor keamanan sistem moneter dan keuangan, antara lain karena traumatik krisis di masa lalu. Sementara itu, program amnesti pajak makin berpotensi membawa dana repatriasi, yang salah satu opsinya adalah ditempatkan di bank. Maka tantangan mendesaknya adalah bagaimana industri perbankan distimulus untuk lebih ekspansif. BI, OJK dan Pemerintah musti bersinergi untuk arah kebijakan yang relevan. Bank BUMN musti dioptimalkan sebagai bagian dari hal itu. Peran negara dalam perekonomian antara lain adalah untuk antisiklikal jika kondisi lesu bahkan terindikasi krisis.