Berdasar
LKPD tahun 2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada
Belanja hibah sebesar 96,20%, dan belanja bantuan sosial sebesar 99,96%. Ada lagi Transfer/Bantuan Keuangan sebesar 92,52%.
Total ketiganya secara nominal pun cukup besar, mencapai Rp 4.175,70 miliar
atau 9.71% dari total realisasi Belanja dan Transfer. Lebih besar dibandingkan
belanja tanah atau belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan
jaringan.
Belanja Hibah adalah Pemberian
bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah
lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam
bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara
terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan
penggunaannya. Transfer / Bantuan Keuangan adalah pemberian bantuan dalam
bentuk uang yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lainnya
dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan, termasuk kepada partai politik.
Sepintas tampak bahwa serapan
belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan
sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk
kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur.
Sekali lagi perlu dicermati bahwa tingkat serapan seluruh Belanja dan Transfer
tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal hanya hanya 55,60%. Sedangkan
Belanja hibah mencapai 96,20%, dan belanja bantuan sosial bahkan mencapai
99,96%.
Analisis dapat pula dilakukan
dengan perbandingan antar tahun. Realisasi Belanja Hibah 2015 (96,20%) lebih
tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 53,85%. Lebih tinggi pula
dibandingkan rata-rata serapan belanja hibah selama lima tahun (2009-2013) sebesar
92,68%.
Realisasi Belanja Bantuan Sosial
2015 (99,96%) jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 55,71%. Dan
jauh lebih tinggi dari rata-rata serapan belanja Bantuan Sosial selama lima
tahun (2009-2013) yang sebesar 68,66%
Kadang yang bisa membingungkan publik,
bahkan para pengamat keuangan yang lebih ahli, adalah pemberitaan (dari media masa yang
kredibel dan berita terverifikasi) tentang angka-angka penyaluran hibah dan atau
bantuan sosial. Jika ditelusuri dalam LKPD, beberapa pihak yang terberitakan
tersebut tidak tampak dalam laporan. Seperti yang disebut di atas, para
penerima Hibah musti tercantum dalam Keputusan Gubernur, yang juga tetap
merujuk pada APBD tahun bersangkutan.
Tentu saja tidak berarti pasti
ada penyimpangan secara hukum, namun tetap ada masalah dalam transparansi dan
pertanggungjawaban publik. Sebagai contoh, kebanyakan Surat Keputusan Gubernur
terkait tidak ada di web resmi, begitu pula dalam LKPD hanya SKPD/UPKD yang
tercantum, ratusan para penerima tidak ada. Salah satu masalahnya adalah dalam
pemberitaan media atau pengumuman hibah biasa tercampur antara tiga pos
belanja: Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, dan Transfer/Bantuan Keuangan.
Bahkan kadang ada berita mengenai dana non budgeter, diterima sebagai hibah dan
belanja sebagai hibah, namun tidak masuk dalam LKPD.
Dengan demikian, salah satu topik
yang perlu diperbincangkan dalam Pilkada DKI adalah pengelolaan dana (APBD)
terkait tiga jenis Belanja/Transfer tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam
khasanah Keuangan Negara Pusat, soal jenis bantuan sosial makin dipelototi dan perlahan
diminimalkan porsinya. Sedang dalam kasus DKI tampak membesar dianggarkan,
serta paling tinggi realisasinya.
Jika pengelolaan keuangan daerah semakin efisien
dan efektif, maka kemungkinan besar jenis-jenis belanja semacam ini porsinya
menurun. Apalagi jika dikaitkan dengan isyu transparansi, antara lain soal e-budgeting dan lelang terbuka, maka pos-pos tersebut
kontradiktif. Terbuka peluang perbaikan yang signifikan di masa mendatang.