KUR SPEKTAKULER BAGI SIAPA?
Kredit Usaha Rakyat (KUR) diklaim sebagai kisah sukses oleh Pemerintahan
SBY. Kisah sukses KUR konon diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi
keuangan inklusif (financial inclusion),
dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik (best
practice) penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Seberapa sukses
KUR di era SBY? Penyaluran KUR sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember
2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun. Pemerintah pun suka menyebut
realisasi KUR telah menggerakkan lebih
dari 12 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kesuksesan KUR ternyata diamini oleh Pemerintahan Jokowi, dengan cara
menggandakan skala dan jangkauannya. Dana dialokasikan lebih banyak sejak awal
dalam APBNP 2015. Suku bunga efektif yang dibolehkan bagi bank penyalur diminta
turun dari 22% menjadi 12%, dengan diberi subsidi bunga. Sebelumnya, pemerintah
hanya membayar imbal jasa penjaminan. APBN 2016 mengalokasikan lebih banyak dana
lagi. Target menjadi berlipat ganda, dan suku bunga efektif menjadi maksimal
9%. Dana yang tersedia sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan
Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun.
Target penyaluran KUR dalam proses penyusunan APBN 2016 adalah di kisaran
Rp 125 triliun, dengan asumsi subsidi suku bunga tertentu. Proses pembicaraan teknis
lanjutan, yang melibatkan Bank penyalur dan supervisi OJK, ditetapkan target Rp
103 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar
10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%.
Apakah realistis? Pada tahun 2015, ketika laju kredit perbankan secara
umum melambat, KUR tersalur sekitar Rp 22,5 triliun, di bawah target Rp 30
triliun. Ada alasan, subsidi tidak diberikan sejak awal tahun dan kondisi
perekonomian masih belum pulih. Dengan subsidi yang lebih besar dan
digelontorkan sejak awal, Pemerintah berharap melipatgandakannya. Konon, para
direksi Bank BUMN sudah “ditekan” agar serius mensukseskannya.
Target bermasalah, jika dilihat dari sudut pandang penyalur. Mereka
menghitung bukan dari subsidi yang 10% untuk KUR mikro (plafon sampai dengan Rp
25 juta), melainkan marginnya. Berarti sama dengan subsidi 7% dengan bunga
efektif 12%. Bahkan untuk KUR ritel, subsidinya hanya naik dari 3% menjadi
4,5%, yang berarti margin lebih kecil. Pemerintah merasa menyediakan dana
subsidi yang besar, namun bank penyalur mungkin tidak melihat “keuntungan”
baru. Harus diakui, jika target terpenuhi adalah terobosan besar bagi
perekonomian. Bayangkan saja, bunga efektif hanya satu digit bagi rakyat (UMKM), dan
tersedia lebih dari Rp 103 triliun.
KUR Perbankan bisa menjadi predator BPR dan
LKM
Penyalur KUR selama ini adalah 7 bank nasional dan 26 BPD (dengan porsi
kecil). BPR dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan. LKM dimaksud
adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam,
koperasi syariah (BMT). Fakta di lapangan, BPR sudah merasakan dampak
“persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak
terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan yang
berbeda. Namun, akan terdampak jika era KUR baru ini berjalan.
Bukankah akan lebih baik, karena biaya modal menjadi rendah dan semakin mudah
mengakses kredit? Tanpa data terinci, akan mudah diiyakan. Perlu diperiksa
lebih cermat. KUR terindikasi berciri perpindahan
nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12
juta nasabah era SBY dan 1 juta era Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya
berasal dari perpindahan saja. Sebagai bukti awal, data umum pertumbuhan kredit
UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%,
bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah. Dan yang
terpenting, hingga September 2015, nasabah kredit UMKM (KUR dan nonKUR) hanya
11,4 juta rekening.
Jika target KUR baru sedemikian spektakuler, maka proses perpindahan akan
lebih masif. BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada
direbut oleh bank lain. Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM
akan menghadapi masalah serius. Apakah ongkos ekonomi (dan sosial) terdampaknya
LKM (terutama yang koperasi) telah dipertimbangkan dengan baik? Akan terus
berlangsung dengan subsidi sepanjang masa? Ada peluang, LKM yang mandiri dari
masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan. Otoritas
KUR memang sudah mau melibatkan selain bank, termasuk koperasi. Namun yang
diajak berunding adalah perusahaan pembiayaan besar. Koperasi baru diberi skema
pembolehan, tanpa tindak lanjut negosiasi.
KUR memang terbukti telah memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya.
Upaya eskalasi terkesan terburu-buru, kurang menimbang ongkos sosial dan
ekonomi diluar subsidi APBN sebesar lebih dari Rp 10 triliun. Target agregat
memang spektakuler, namun soal kemanfaatan butuh diskusi panjang, yang
melibatkan pelaku UMKM dan koperasi.
Awalil Rizky
Chief
economist PBMT Ventura.