Jumat, 05 Agustus 2016

ALARM BAHAYA FISKAL
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 telah dilaksanakan lima bulan. Realisasi sementara bisa digunakan membuat proyeksi capaian berikutnya. Kondisi perekonomian domestik dan global mengalami perubahan dibandingkan saat penyusunannya. Sebagian prakiraan tidak sesuai, yang berdampak pada melesetnya realisasi beberapa pos.
APBN 2016 memasang target pendapatan yang luar biasa. Pendapatan dalam APBN selama sepuluh tahun terakhir memang cenderung tumbuh. Namun, terukur di kisaran 10 persen. Realisasi 2015 justeru mengalami sedikit penurunan. Target Pendapatan APBN 2016 cukup mengejutkan, yaitu sebesar Rp 1.820,4 triliun. Naik 21,85 persen dari realisasi APBN 2015 yang hanya Rp 1.494 triliun. Sungguh fantastis jika tercapai, karena normalnya tumbuh 10 persen menjadi sekitar Rp 1.643,4 triliun. Dari mana tambahan sekitar Rp 177 tiliun itu? Ternyata berharap dari kebijakan yang disebut Tax Amnesty.
Secara teoritis dan perhitungan terbilang masuk akal jika kebijakan berjalan lancar. Sayang, kebijakan dimaksud hingga kini masih belum memberi kepastian. Andai bisa dijalankan, tetap sulit untuk memenuhi target tambahan dari itu pada tahun 2016. Padahal, fenomena ekonomi global dan domestik justeru membuat pos-pos pendapatan lain cenderung terkoreksi ke bawah. Diantaranya adalah harga migas dan komoditas yang merosot, ekspor-impor yang stagnan atau tumbuh tidak signifikan, dan lifting minyak yang dibawah target. Seandainya kebijakan tax amnesty sesuai harapan pun, APBNP 2016 harus mengkoreksi beberapa item pendapatan.
Realisasi Penerimaan Pajak APBN 2015 adalah Rp 1.060,8 triliun, sedangkan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 179,6 triliun, sehingga total Penerimaan Perpajakan mencapai Rp 1.240,4 triliun. APBN 2016 memasang target penerimaan perpajakan Rp 1.546,6 triliun. Sementara itu, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2015 sebesar Rp 253,7 triliun, ditargetkan meningkat menjadi Rp 273,8 triliun.
Seiring dengan target Pendapatan yang fantastis, Belanja pun akan digenjot. APBN 2016 yang bersifat ekspansif memang sesuai teori dalam kondisi ekonomi yang masih lesu. Belanja Pemerintah diharap akan lebih menggairahkan perekonomian. Akan tetapi, kecenderungan pendapatan yang jauh dibawah target, memaksa koreksi atas banyak pos Belanja. Jika tidak, defisit anggaran akan membengkak dan melebihi batas 3 persen dari PDB, yang dibolehkan Undang-Undang.
Masalahnya, belanja apa saja yang dapat dihemat atau efisiensi belanja bagaimana di semester tersisa? Bagaimana pula dengan semangat awal untuk ekspansif mendorong ekonomi?
Secara teknis, yang paling dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah memotong belanja Kementerian dan Lembaga (K/L). Pengurangan Belanja Non K/L lebih sulit dilakukan karena menyangkut pembayaran bunga utang, dan subsidi-subsidi. Subsidi energi hanya bisa turun sedikit karena penurunan subsidi migas, sebagiannya terkompensasi subsidi listrik yang meningkat, antara lain karena carry over dan penundaan kenaikan tarif. Subsidi non energi, seperti pangan dan pupuk, justeru meningkat. Subsisi bunga kredit program, seperti KUR yang terlanjur diperintahkan kepada bank untuk digenjot, demi penurunan suku bunga kredit UMKM.
Pos transfer daerah memang akan menurun sesuai ketentuan perundang-undangan terkait dengan pendapatan. Penurunannya tidak bisa sebesar-besarnya, dan nilainya hanya setara dengan kenaikan subsidi. Yang menarik, pembayaran bunga utang bisa dipastikan akan naik. Baik karena stok utang yang meningkat melebihi target maupun karena imbal hasil SBN yang tetap tinggi.
Jika Pemerintah bersungguh-sungguh melakukan efisiensi, maka Belanja K/L dapat ditekan hingga sebesar Rp 50 triliun, dari Rp 784,1 triliun dalam APBN 2015 menjadi realisasi di kisaran Rp 735 triliun. Itupun butuh kerja keras dan kedisiplinan. Perlu adanya efisiensi belanja operasional, seperti: Perjalanan Dinas dan Paket Meeting; Belanja Jasa (listrik, telepon, air, serta daya dan jasa lainnya); dan Pembangunan gedung baru (yang masih diblokir). Efisiensi belanja lainnya, seperti: pemeliharaan/pengadaan peralatan kantor; Belanja jasa seperti: iklan, banner, spanduk; Belanja modal non-infrastruktur seperti gedung kantor dan kendaraan; Belanja barang bantuan Pemerintah kepada Pemda/masyarakat dan belanja Bansos; Honorarium kegiatan; dan lain sebagainya.
Jika diperhitungkan realisasi penyerapan yang biasanya pada tahun ke 2 pemerintahan, maka total Belanja diperkirakan dapat turun dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 1.960 triliun. Sekali lagi, yang mungkin ditekan adalah belanja K/L. Upaya ini harus tampak serius dalam APBN Perubahan 2016, yang sedang disusun.
Bagaimanapun, harus diingat bahwa APBN adalah kebijakan fiskal. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Akhirnya, Pemerintah (bersama Bank Indonesia, OJK, DPR) harus segera sadar bahwa tersedia pilihan kebijakan lain selain fiskal yang sudah memberi “alarm bahaya” itu. Optimalkan kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan kebijakan sektor riil. Bersinergi lah demi ekonomi negeri.
Dimuat Bisnis Indonesia 28 Mei 2016