Perhatian publik lebih sering kepada tambahan dan posisi
utang pemerintah. Perdebatan umum mengedepankan nilai nominal posisi utang
ataupun rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal yang secara langsung
lebih berpengaruh kepada pengelolaan APBN adalah nilai pembayaran bunga utang.
Tambahan utang memang cenderung akan menambah pembayaran bunga, namun laju
kenaikannya tidak selalu sama atau seiring. Hal itu bergantung pada
perkembangan tingkat bunga utang. Dapat saja posisi utang bertambah cukup besar
selama setahun, namun tidak diikuti oleh kenaikan pembayaran bunga secara
proporsional.
Selama era pemerintahan Jokowi, nilai pembayaran bunga utang
cenderung naik lebih cepat dari tambahan utang, kecuali pada tahun pertama
pemerintahan (2015). Terlihat bahwa persentase kenaikan pembayaran bunga
melampaui persentase pertumbuhan posisi utang. Demikian pula jika dilihat dari kenaikan
persentase pembayaran bunga selama setahun dibanding dengan posisi utang akhir
tahun yang bersangkutan. Sedangkan selama era pemerintahan SBY pertama dan SBY kedua,
terjadi fluktuasi dalam besaran ini.
Cara penjelasan lain adalah dengan melihat data posisi utang
akhir tahun 2014 yang sebesar Rp2.607 triliun, yang diprakirakan meningkat
menjadi Rp4.778 triliun pada akhir tahun 2019 (posisi per akhir Mei telah mencapai
Rp4.572 triliun). Naik sekitar 1,83 kali lipat (183%). Sementara itu, pembayaran
bunga utang pada tahun 2014 sebesar Rp133,44 triliun, dan diprakirakan sekitar
Rp298 triliun pada tahun 2019 (meski target APBN hanya sebesar Rp275,89
triliun). Naik sekitar 2,23 kali lipat (223%).
APBN KiTA yang dirilis Kementerian Keuangan tanggal 21 Juni
lalu memperlihatkan bahwa realisasi pembayaran bunga Januari hingga Mei 2019 (5
bulan) telah mencapai Rp127,07 triliun. Jumlah itu merupakan 46,06% dari target
yang sebesar Rp275,89 triliun. Dengan data itu, diprakirakan hingga akhir tahun
pembayaran bunga akan melebihi targetnya. Tampaknya memang tidak seburuk tahun
lalu yang realisasi mencapai 108,11% dari rencana. Pada tahun 2019 kemungkinan
sekitar 105% dari rencana, atau sebesar Rp290 triliun.
Salah satu cara melihat beban utang adalah mencermati
perkembangan porsi pembayaran bunga utang selama setahun dari posisi utang rata-rata
selama tahun yang bersangkutan. Posisi utang rata-rata secara sederhana dapat
diperoleh dari posisi awal tahun (sama dengan akhir tahun sebelumnya) ditambah
dengan posisi akhir tahun, kemudian dibagi dua. Rasio itu dapat dibaca sebagai “tingkat
bunga riil” yang dibayar Pemerintah melalui APBN.
Rasio pada tahun 2014 sebesar 5,35%, kemudian terus naik
menjadi 5,40% (2016), 5,47% (2017), dan 6,18% (2018). APBN 2019 sebenarnya
mencerminkan upaya menurunkan rasio. Jika sesuai rencana, rasio pembayaran
bunga utang dari posisi utang rata-rata dapat ditekan menjadi 6,0%. Akan tetapi
dari prakiraan berdasar realisasi 5 bulan berjalan, justeru dapat meningkat
menjadi 6,31%.
Analisis yang lebih cermat adalah memilah biaya dari beberapa
jenis utang antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya”
yang jauh lebih rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Sebagai contoh,
SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini
nyaris tak berbiaya, dan beberapa pinjaman luar negeri (loan) berbunga kecil.
Salah satu yang paling sering dianalisis karena berguna pula
sebagai perbandingan antar negara adalah Surat Utang Negara bertenor 10 tahun. Selama
beberapa tahun terakhir SBN bertenor 10 tahun memiliki bunga riil (yield)
di kisaran 7-8%. Yield SBN Indonesia itu terbilang paling tinggi di kawasan
saat ini. Sebagai contoh per 7 Juni 2019, Indonesia sebesar 7,96% yang lebih
tinggi dari Philipina (5,22%), Malaysia (3,70%), Thailand (2,23%) dan Singapura
(2,03%).
Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga utang
pemerintah dalam pengelolaan APBN dapat dilihat dari perbandingan atau rasionya
dengan belanja negara dan pendapatan negara. Rasio dalam belanja memperlihatkan
porsinya sebagai salah satu pos belanja dalam APBN. Sebagai contoh, pembayaran
bunga utang pada tahun 2018 sebesar Rp258,09 triliun merupakan 11,72% dari
realisasi Belanja Negara tahun itu. Jika dicermati perubahan porsinya dari
tahun ke tahun, maka makin kecil porsinya akan memberi ruang bagi jenis belanja
lain. Faktanya, ada kecenderungan porsi yang perlahan meningkat. Sedangkan rasio bunga utang dengan pendapatan menujukkan
porsi yang terpakai, seandainya dibayar penuh dari pendapatan. Pembayaran bunga
utang tahun 2018 adalah sebesar 13,38% dari realisasi Pendapatan Negara. Kecenderungannya
juga mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.
Secara umum dari berbagai data di atas dapat dikatakan bahwa
pembayaran bunga utang makin membebani pengelolaan APBN. Akan tetapi jika
dilihat data kurun waktu yang lebih lama, serta tingkat bunga utang negara-negara
lain, maka terdapat peluang bagi perbaikan yang signifikan.