Minggu, 23 Juni 2019

PEMBAYARAN BUNGA UTANG MAKIN MEMBEBANI APBN


Perhatian publik lebih sering kepada tambahan dan posisi utang pemerintah. Perdebatan umum mengedepankan nilai nominal posisi utang ataupun rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal yang secara langsung lebih berpengaruh kepada pengelolaan APBN adalah nilai pembayaran bunga utang. Tambahan utang memang cenderung akan menambah pembayaran bunga, namun laju kenaikannya tidak selalu sama atau seiring. Hal itu bergantung pada perkembangan tingkat bunga utang. Dapat saja posisi utang bertambah cukup besar selama setahun, namun tidak diikuti oleh kenaikan pembayaran bunga secara proporsional.

Selama era pemerintahan Jokowi, nilai pembayaran bunga utang cenderung naik lebih cepat dari tambahan utang, kecuali pada tahun pertama pemerintahan (2015). Terlihat bahwa persentase kenaikan pembayaran bunga melampaui persentase pertumbuhan posisi utang. Demikian pula jika dilihat dari kenaikan persentase pembayaran bunga selama setahun dibanding dengan posisi utang akhir tahun yang bersangkutan. Sedangkan selama era pemerintahan SBY pertama dan SBY kedua, terjadi fluktuasi dalam besaran ini.


Cara penjelasan lain adalah dengan melihat data posisi utang akhir tahun 2014 yang sebesar Rp2.607 triliun, yang diprakirakan meningkat menjadi Rp4.778 triliun pada akhir tahun 2019 (posisi per akhir Mei telah mencapai Rp4.572 triliun). Naik sekitar 1,83 kali lipat (183%). Sementara itu, pembayaran bunga utang pada tahun 2014 sebesar Rp133,44 triliun, dan diprakirakan sekitar Rp298 triliun pada tahun 2019 (meski target APBN hanya sebesar Rp275,89 triliun). Naik sekitar 2,23 kali lipat (223%).

APBN KiTA yang dirilis Kementerian Keuangan tanggal 21 Juni lalu memperlihatkan bahwa realisasi pembayaran bunga Januari hingga Mei 2019 (5 bulan) telah mencapai Rp127,07 triliun. Jumlah itu merupakan 46,06% dari target yang sebesar Rp275,89 triliun. Dengan data itu, diprakirakan hingga akhir tahun pembayaran bunga akan melebihi targetnya. Tampaknya memang tidak seburuk tahun lalu yang realisasi mencapai 108,11% dari rencana. Pada tahun 2019 kemungkinan sekitar 105% dari rencana, atau sebesar Rp290 triliun.

Salah satu cara melihat beban utang adalah mencermati perkembangan porsi pembayaran bunga utang selama setahun dari posisi utang rata-rata selama tahun yang bersangkutan. Posisi utang rata-rata secara sederhana dapat diperoleh dari posisi awal tahun (sama dengan akhir tahun sebelumnya) ditambah dengan posisi akhir tahun, kemudian dibagi dua. Rasio itu dapat dibaca sebagai “tingkat bunga riil” yang dibayar Pemerintah melalui APBN.

Rasio pada tahun 2014 sebesar 5,35%, kemudian terus naik menjadi 5,40% (2016), 5,47% (2017), dan 6,18% (2018). APBN 2019 sebenarnya mencerminkan upaya menurunkan rasio. Jika sesuai rencana, rasio pembayaran bunga utang dari posisi utang rata-rata dapat ditekan menjadi 6,0%. Akan tetapi dari prakiraan berdasar realisasi 5 bulan berjalan, justeru dapat meningkat menjadi 6,31%.


Analisis yang lebih cermat adalah memilah biaya dari beberapa jenis utang antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya” yang jauh lebih rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Sebagai contoh, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini nyaris tak berbiaya, dan beberapa pinjaman luar negeri (loan) berbunga kecil.
Salah satu yang paling sering dianalisis karena berguna pula sebagai perbandingan antar negara adalah Surat Utang Negara bertenor 10 tahun. Selama beberapa tahun terakhir SBN bertenor 10 tahun memiliki bunga riil (yield) di kisaran 7-8%. Yield SBN Indonesia itu terbilang paling tinggi di kawasan saat ini. Sebagai contoh per 7 Juni 2019, Indonesia sebesar 7,96% yang lebih tinggi dari Philipina (5,22%), Malaysia (3,70%), Thailand (2,23%) dan Singapura (2,03%).      

Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga utang pemerintah dalam pengelolaan APBN dapat dilihat dari perbandingan atau rasionya dengan belanja negara dan pendapatan negara. Rasio dalam belanja memperlihatkan porsinya sebagai salah satu pos belanja dalam APBN. Sebagai contoh, pembayaran bunga utang pada tahun 2018 sebesar Rp258,09 triliun merupakan 11,72% dari realisasi Belanja Negara tahun itu. Jika dicermati perubahan porsinya dari tahun ke tahun, maka makin kecil porsinya akan memberi ruang bagi jenis belanja lain. Faktanya, ada kecenderungan porsi yang perlahan meningkat. Sedangkan rasio bunga utang dengan pendapatan menujukkan porsi yang terpakai, seandainya dibayar penuh dari pendapatan. Pembayaran bunga utang tahun 2018 adalah sebesar 13,38% dari realisasi Pendapatan Negara. Kecenderungannya juga mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.


Secara umum dari berbagai data di atas dapat dikatakan bahwa pembayaran bunga utang makin membebani pengelolaan APBN. Akan tetapi jika dilihat data kurun waktu yang lebih lama, serta tingkat bunga utang negara-negara lain, maka terdapat peluang bagi perbaikan yang signifikan.