Rabu, 24 September 2008

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Panitia Kerja Asumsi Dasar Ekonomi RAPBN 2009, pada tanggal 19 September lalu, menetapkan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 5.309 triliun. Naik sekitar 18,4 persen dari asumsi dalam APBN-P 2008 yang sebesar Rp 4.484 triliun, dan naik lebih dari 23,3 persen jika dibandingkan asumsi dalam APBN 2008 sebesar Rp 4.307 triliun. Namun porsi kenaikannya terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan PDB 2008 yang diperkirakan akan terelaisasi.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan informasi demikian?

Dalam buku teks ilmu ekonomi, definisi singkat dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu.

Istilah perekonomian biasanya merujuk kepada wilayah suatu negara, meskipun kadang digunakan untuk wilayah (regional) tertentu. Kurun waktu dimaksud umumnya adalah satu tahun, menurut penanggalan yang umum secara internasional, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Hal itu memudahkan perbandingan antar perekonomian (negara) dilakukan, misalnya oleh World Bank atau UNDP yang sering mempublikasikannya. Namun, di banyak negara (termasuk Indonesia), PDB dihitung pula secara triwulanan.

Sebagaimana kita lihat secara kasat mata, barang yang diproduksi di Indonesia terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis, perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Secara teknis ilmiah biasa disebut bahwa definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu.

Ada satu konsep penting yang terkandung dalam definisi PDB yang harus selalu diingat. Penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu, biasanya selama satu tahun atau satu triwulan. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu, misalnya pada tanggal tertentu. Kekayaan suatu negara, yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu, maka angka perhitungannya akan bersifat persediaan (stock). Sedangkan penghasilan seluruh penduduk suatu negara selama satu tahun adalah arus (flow). Dengan demikian, suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar (misalnya karena sumber daya alam yang berlimpah), akan tetapi memiliki penghasilan (seluruh penduduknya) per tahun yang tergolong masih rendah. Tentu saja, hubungan yang lazim adalah searah, arus penghasilan yang tinggi akan memungkinkan akumulasi kekayaan yang terus membesar.

Untuk memudahkan pemahaman atau keperluan analisa, penyajian hasil perhitungan PDB ini dilakukan dengan menggolongkan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. Indonesia (BPS) menggolongkannya menjadi sembilan macam barang dan jasa. Jutaan macam barang dan jasa yang dihasilkan dianggap hanya sembilan jenis, artinya setiap barang harus dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tersebut. Penamaan kelompoknya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Metode penghitungan ini secara teknis disebut pendekatan produksi. Menurut pendekatan ini, PDB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi atau lapangan usaha di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan PDB di Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam 9 sektor atau lapangan usaha. Sebagai contoh, jutaan barang dan jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2007 dinilai berdasar harga pada waktu itu. Nilai keseluruhannya adalah Rp 3.957,4 triliun, dengan rincian produksi masing-masing lapangan usaha seperti : 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (547,2); 2. Pertambangan dan Penggalian (440,8); 3. Industri Pengolahan (1.068,8); 4. Listrik, Gas dan Air Bersih (34,8); 5. Konstruksi (305,2); 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (590,8); 7. Pengangkutan dan Komunikasi (265,3); 8. Keuangan, Real estat dan Jasa Perusahaan (305,2); 9. Jasa-jasa (399,3). Sebenarnya ada rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor.

Angka yang lebih sering dianalisa oleh para ekonom adalah PDB riil, PDB menurut harga konstan tahun dasar tertentu. PDB riil dihitung dengan menghilangkan faktor fluktuasi harga, sehingga yang diperbandingkan antar tahun adalah benar-benar kuantitas produksi, dimana nilai uang hanya bersifat satuan ukuran yang memungkinkan dilakukannya penjumlahan. Alat yang dipakai adalah indeks harga tertentu, yaitu PDB deflator. Angka PDB deflator ini sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) yang biasa dipakai sebagai ukuran inflasi. IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi.

Kita bisa menelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi pada tahun 2007 di atas. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total atas hasil produksi (output) barang dan jasa suatu perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Untuk keperluan analisis, PDB yang dilihat secara ini disebut juga dengan PDB menurut penggunaannya. Untuk apa atau oleh siapa saja PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pembentukan modal tetap domestik Bruto dan perubahan stok, serta Ekspor Netto, yaitu ekspor dikurangi impor.

Oleh karena PDB terdiri dari berbagai barang dan jasa akhir, pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai jumlah seluruh komponen permintaan akhir. Dengan penjelasan teknis ekonomi tertentu, angka-angka komponen di atas bisa dianalisa sebagai indikator permintaan agregat suatu perekonomian. Secara menyederhanakan, media masa atau laporan perekonomian suka menyebutnya sebagai sisi permintaan dari PDB atau bahkan dari perekonomian.

Yang perlu selalu diingat adalah bahwa PDB adalah angka agregat, yang bersifat keseluruhan. Angka agregat sama sekali tidak mencerminkan distribusinya. PDB misalnya, hanya akan menghasilkan angka rata-rata jika dibagi dengan jumlah penduduk. PDB atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 3.957 trilyun, dengan penduduk sekitar 225 juta, maka PDB per kapita hampir mencapai Rp 17,58 juta. Seandainya satu keluarga terdiri dari 4 jiwa, maka penghasilan rata-rata per keluarga adalah lebih dari Rp 70 juta per tahun, atau hampir 6 juta rupiah per bulan. Bayangkan pula jika memakai angka asumsi PDB 2009 menurut APBN nanti, yang sebesar Rp 5.309 triliun. Setelah memperhitungkan kenaikan jumlah penduduk, maka penghasilan rata-rata per keluarga tahun depan (2009) diperkirakan sebesar Rp 92 juta per tahun atay Rp 7,6 juta per bulan. Berapa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar itu?

Statistiknya barangkali tidak keliru dan tak dimanipulasi, namun memang bersifat pukul rata. Jika ada yang berpenghasilan milyaran rupiah, maka akan “menambahi” rata-rata bagi yang berpenghasilan ratusan ribu rupiah, bahkan bagi yang tak memiliki penghasilan sama sekali.

Perhatikan pula pengaruh variabel harga dalam PDB nominal, yang secara teknis biasa disebut sebagai inflasi. Kenaikan harga-harga (inflasi) yang tinggi adalah rahasia dari melesatnya PDB nominal dari asumsi APBN 2008, bahkan dari angka yang sudah direvisi dalam APBN-P 2008. Secara logis, PDB nominal 2009 pun akan jauh lebih besar dari yang ditetapkan jika ternyata asumsi inflasi yang hanya 6,2 persen terlampau rendah dibandingkan realisasinya nanti.

Sebenarnya pula berbagai buku teks ilmu ekonomi telah membahas banyak kelemahan dari angka-angka dan cara perhitungan pendapatan nasional (PDB adalah salah satu diantaranya). Ekonom yang kritis sangat merekomendasikan agar PDB tidak terlampau banyak dipakai sebagai alat ukur perekonomian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Pada kenyataannya, PDB (nominal maupun harga konstan) selalu menjadi tema sentral dalam laporan resmi perekonomian Indonesia.

Selain itu, analisa makroekonomi dalam laporan resmi pemerintah dan Bank Indonesia pada umumnya memiliki horison waktu jangka pendek. Sebagiannya disebabkan periodisasi laporan yang bersifat relatif jangka pendek (triwulanan, semester, atau tahunan), sehingga fokusnya adalah perubahan selama kurun waktu tersebut. Variabel yang diamati atau dilaporkan sering dideskripsikan dengan menganalisa faktor-faktor yang tampak berpengaruh signifikan dalam perspektif waktu bersangkutan. Akibatnya, faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh signifikan, namun dalam kurun waktu yang lebih panjang, kerap kurang diperhatikan. Bahkan, beberapa variabel penting dalam makroekonomi jarang sekali dibahas karena fakta jangka pendeknya tidak mengalami perubahan berarti.