IHSG sebenarnya dianggap mencerminkan apa oleh Nota Keuangan dan APBN?
Sampai dengan awal tahun ini, pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang spektakuler berulangkali diklaim sebagai pertanda perbaikan ekonomi oleh pemerintah maupun oleh sebagian ekonom. Alasan utamanya, hal itu dianggap mencerminkan tingginya kepercayaan dunia bisnis (terutama internasional) terhadap perekonomian Indonesia. Namun, ketika pada beberapa bulan terakhir, fluktuasi harga saham terjadi secara cukup signifikan, dengan kecenderungan menurun, maka penjelasannya memakai variabel yang berbeda. Tidak serta merta diartikan secara logis sebagai menurunnya kepercayaan.
IHSG adalah indikator harga dari seluruh saham yang tercatat di bursa Efek Indonesia. Jika IHSG cenderung terus meningkat artinya harga saham pada umumnya naik, meskipun tetap ada yang mengalami penurunan. Bagi kebanyakan ekonom mainstreams, IHSG sering diperlakukan sebagai cermin perekonomian. Logikanya, ada ekspektasi mengenai keadaan emiten (perusahaan yang menerbitkan saham) yang terus membaik sehingga sahamnya “dihargai” lebih mahal.
Dalam kenyataannya, para pelaku pasar modal tidak sepenuhnya (malah ada yang tidak sama sekali) mendasari perilakunya dengan analisa fundamental tentang keadaan emiten atau keadaan industri yang bersangkutan. Banyak dari mereka murni bertujuan berdagang dan berspekulasi, mengoptimalkan perolehan harga melalui fluktuasi harga saham. Ada macam-macam jenis transaksi dan jenis produk yang diperdagangkan seperti: perdagangan waran, kontrak berjangka indeks saham, right issue, reksa dana, dan sebagainya. Semuanya bisa dilakukan dengan pasar regular, negosiasi maupun tunai, sehingga memungkinkan segala macam “game” dapat dimainkan.
Anggapan bahwa IHSG mencerminkan tingkat kepercayaan dunia bisnis internasional sebenarnya memang memiliki alasan kuat berdasar data kepemilikan saham. Kepemilikan saham di bursa Indonesia mayoritas adalah oleh asing, mencapai hampir 70%. Bahkan, saham yang dimiliki oleh lokal (sekitar 30%) mengandung pula unsur kepemilikan asing. Yang dimaksud lokal oleh data tersebut adalah: asuransi, reksa dana, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan, perusahaan efek, yayasan, perorangan dan lainnya. Padahal kita telah tahu bahwa reksa dana, lembaga keuangan, perusahaan, dan perusahaan efek, sebagian kepemilikannya (ada yang sebagai saham pengendali) adalah asing, sekalipun berbadan hukum Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu bersikap kritis atas berbagai pernyataan (terutama dari pihak pemerintah atau ekonom pendukungnya). Pada saat IHSG terus naik (bahkan secara dramatis) yang dikemukakan adalah opini mengenai membaiknya perekonomian nasional. Ketika yang terjadi adalah penurunan IHSG secara signifikan, maka yang disebut-sebut adalah dinamika umum pasar keuangan internasional yang juga mengalami koreksi secara besar-besaran.
Sebagai contoh, kita kutip halaman I-3 dari Nota Keuangan dan RAPBN 2009, sebagai berikut: ”Dalam hal pasar modal, kinerja pasar modal domestik masih cukup baik dan mampu terus tumbuh serta menciptakan beberapa rekor baru, antara lain indeks harga saham yang mencapai 2.830,3 pada tanggal 9 Januari 2008. Namun kondisi ekonomi AS yang semakin memburuk telah membawa sentimen negatif pada bursa saham. Indeks bursa saham utama, termasuk bursa saham Indonesia kembali berjatuhan. IHSG turun mencapai level terendah pada level 2.180,1 pada tanggal 9 April 2008. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2008 yang masih cukup kuat, membawa sentimen positif ke bursa saham Indonesia, sehingga IHSG mampu kembali meningkat. Pada akhir semester I tahun 2008, IHSG ditutup pada level 2.349,1, atau meningkat 9,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.”
Setahun sebelumnya, pada halaman I-1 dari Nota keuangan dan APBN 2008 disebutkan bahwa: “…..Perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48 persen; tingkat inflasi mencapai 6,6 persen (y-o-y); BI Rate mencapai 9,75 persen; rata-rata nilai tukar rupiah sekitar Rp9.164 per US$; dan indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 1.800 poin. Memasuki tahun 2007, perbaikan ekonomi makro terus terjadi sejalan dengan membaiknya perekonomian negara-negara ASEAN. IHSG terus meningkat secara tajam dan mencapai 2.359,2 poin pada akhir September 2007…..
Sampai dengan awal tahun ini, pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang spektakuler berulangkali diklaim sebagai pertanda perbaikan ekonomi oleh pemerintah maupun oleh sebagian ekonom. Alasan utamanya, hal itu dianggap mencerminkan tingginya kepercayaan dunia bisnis (terutama internasional) terhadap perekonomian Indonesia. Namun, ketika pada beberapa bulan terakhir, fluktuasi harga saham terjadi secara cukup signifikan, dengan kecenderungan menurun, maka penjelasannya memakai variabel yang berbeda. Tidak serta merta diartikan secara logis sebagai menurunnya kepercayaan.
IHSG adalah indikator harga dari seluruh saham yang tercatat di bursa Efek Indonesia. Jika IHSG cenderung terus meningkat artinya harga saham pada umumnya naik, meskipun tetap ada yang mengalami penurunan. Bagi kebanyakan ekonom mainstreams, IHSG sering diperlakukan sebagai cermin perekonomian. Logikanya, ada ekspektasi mengenai keadaan emiten (perusahaan yang menerbitkan saham) yang terus membaik sehingga sahamnya “dihargai” lebih mahal.
Dalam kenyataannya, para pelaku pasar modal tidak sepenuhnya (malah ada yang tidak sama sekali) mendasari perilakunya dengan analisa fundamental tentang keadaan emiten atau keadaan industri yang bersangkutan. Banyak dari mereka murni bertujuan berdagang dan berspekulasi, mengoptimalkan perolehan harga melalui fluktuasi harga saham. Ada macam-macam jenis transaksi dan jenis produk yang diperdagangkan seperti: perdagangan waran, kontrak berjangka indeks saham, right issue, reksa dana, dan sebagainya. Semuanya bisa dilakukan dengan pasar regular, negosiasi maupun tunai, sehingga memungkinkan segala macam “game” dapat dimainkan.
Anggapan bahwa IHSG mencerminkan tingkat kepercayaan dunia bisnis internasional sebenarnya memang memiliki alasan kuat berdasar data kepemilikan saham. Kepemilikan saham di bursa Indonesia mayoritas adalah oleh asing, mencapai hampir 70%. Bahkan, saham yang dimiliki oleh lokal (sekitar 30%) mengandung pula unsur kepemilikan asing. Yang dimaksud lokal oleh data tersebut adalah: asuransi, reksa dana, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan, perusahaan efek, yayasan, perorangan dan lainnya. Padahal kita telah tahu bahwa reksa dana, lembaga keuangan, perusahaan, dan perusahaan efek, sebagian kepemilikannya (ada yang sebagai saham pengendali) adalah asing, sekalipun berbadan hukum Indonesia.
Bagaimanapun, kita perlu bersikap kritis atas berbagai pernyataan (terutama dari pihak pemerintah atau ekonom pendukungnya). Pada saat IHSG terus naik (bahkan secara dramatis) yang dikemukakan adalah opini mengenai membaiknya perekonomian nasional. Ketika yang terjadi adalah penurunan IHSG secara signifikan, maka yang disebut-sebut adalah dinamika umum pasar keuangan internasional yang juga mengalami koreksi secara besar-besaran.
Sebagai contoh, kita kutip halaman I-3 dari Nota Keuangan dan RAPBN 2009, sebagai berikut: ”Dalam hal pasar modal, kinerja pasar modal domestik masih cukup baik dan mampu terus tumbuh serta menciptakan beberapa rekor baru, antara lain indeks harga saham yang mencapai 2.830,3 pada tanggal 9 Januari 2008. Namun kondisi ekonomi AS yang semakin memburuk telah membawa sentimen negatif pada bursa saham. Indeks bursa saham utama, termasuk bursa saham Indonesia kembali berjatuhan. IHSG turun mencapai level terendah pada level 2.180,1 pada tanggal 9 April 2008. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2008 yang masih cukup kuat, membawa sentimen positif ke bursa saham Indonesia, sehingga IHSG mampu kembali meningkat. Pada akhir semester I tahun 2008, IHSG ditutup pada level 2.349,1, atau meningkat 9,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.”
Setahun sebelumnya, pada halaman I-1 dari Nota keuangan dan APBN 2008 disebutkan bahwa: “…..Perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48 persen; tingkat inflasi mencapai 6,6 persen (y-o-y); BI Rate mencapai 9,75 persen; rata-rata nilai tukar rupiah sekitar Rp9.164 per US$; dan indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 1.800 poin. Memasuki tahun 2007, perbaikan ekonomi makro terus terjadi sejalan dengan membaiknya perekonomian negara-negara ASEAN. IHSG terus meningkat secara tajam dan mencapai 2.359,2 poin pada akhir September 2007…..