Soal Kualitas Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah dari sisi Permintaan
Angka-angka PDB biasa dianalisis atas dasar komponen-komponennya, sesuai dengan metode penghitungannya. Dari angka-angka yang didapat melalui pendekatan pengeluaran atau penggunaan, bisa diketahui bagaimana sumbangan masing-masing komponen pengeluaran agregat. Dengan teknik ekonomi tertentu, angka pengeluaran agregat bisa diterjemahkan menjadi permintaan agregat. Teknik mengubahnya terkait dengan istilah permintaan yang merujuk kepada dua variabel, kuantitas dan harga. Dan dari sumber yang sama, dikenal pula istilah permintaan domestik, yakni permintaan agregat dengan menghilangkan variabel permintaan luar negeri (ekspor).
Analisis umum dalam hal ini adalah untuk mengetahui “akibat” dari perubahan masing-masing komponen dalam rentang waktu tertentu terhadap laju pertumbuhan PDB. Hasilnya, ada istilah konsumsi yang mendorong pertumbuhan, atau investasi sebagai pendorong pertumbuhan. Tentulah yang lebih disukai adalah investasi, sekalipun idealnya tetap harus diimbangi oleh pertumbuhan konsumsi. Penalarannya terkait dengan dampak untuk waktu berikutnya, terutama yang bersifat jangka panjang.
Jika konsumsi saja yang melaju dengan cepat tanpa diimbangi dengan investasi yang sepadan, maka bisa mengakibatkan peningkatan impor dan atau inflasi. Dari model juga bisa di “utak-atik” peran kebijakan fiskal pemerintah. Misalnya, pengeluaran pemerintah bisa berperan mendorong peningkatan PDB. Istilahnya adalah pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (source of growth).
Sebagai contoh, dari pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 %, lebih dari separuhnya bersumber dari komponen ekspor barang dan jasa, yakni sebesar 3,8 %. Namun, pada saat bersamaan impor memberi kontribusi dalam arah berlawanan sebesar 3,3 %. Komponen terbesar PDB yaitu konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan sebesar 2,9 %. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,3 %, serta pembentukan modal tetap bruto (investasi) memberikan kontribusi sebesar 2,0 %.
Fenomena yang paling menarik perhatian terkait dengan data-data ini adalah bertahannya konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting sekitar sembilan tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga (swasta), meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika memperhitungkan impor (net ekspor) maka masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004. Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, bahkan meningkat kembali selama tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Pada semester I tahun 2008, kecenderungan ini belum terlihat berubah banyak.
Jika data dicermati, konsumsi rumah tangga memang sempat sedikit terpukul pada tahun 2005 dan 2006, akibat kenaikan harga BBM. Namun, komponen lain selain konsumsi pemerintah juga ikutan terpuruk. Dengan demikian, laju konsumsi rumah tangga mungkin akan sedikit tertahan pada semester kedua tahun 2008, setelah pemerintah menaikkan harga BBM.
Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006. Perbaikan masih berlanjut pada semester pertama 2008. Sayangnya, semester kedua 2008, diperkirakan akan sedikit melambat lagi.
Bagaimanapun juga, kontribusi investasi masih bersifat harapan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Bahkan, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan asal besar nominalnya saja, dan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera menambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan.
Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis pun, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan semester I 2008 hanya sebesar 0,2 dari total pertumbuhan 6,4 (yoy).
Kekhawatirkan lain atas kondisi semacam ini adalah terkait fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak akan teratasi tanpa pertumbuhan yang didorong oleh investasi riil. Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan prostitusi/pornografi.
Ada pula ekonom yang mengatakan bahwa ketahanan pengeluaran konsumsi mendorong pertumbuhan selama sembilan tahun terakhir memang kurang masuk akal. Ekonom ini memperkirakan 30 persen dari PDB Indonesia berasal dari praktik ekonomi “bawah tanah”. Namun, perlu difahami bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum.
Angka-angka PDB biasa dianalisis atas dasar komponen-komponennya, sesuai dengan metode penghitungannya. Dari angka-angka yang didapat melalui pendekatan pengeluaran atau penggunaan, bisa diketahui bagaimana sumbangan masing-masing komponen pengeluaran agregat. Dengan teknik ekonomi tertentu, angka pengeluaran agregat bisa diterjemahkan menjadi permintaan agregat. Teknik mengubahnya terkait dengan istilah permintaan yang merujuk kepada dua variabel, kuantitas dan harga. Dan dari sumber yang sama, dikenal pula istilah permintaan domestik, yakni permintaan agregat dengan menghilangkan variabel permintaan luar negeri (ekspor).
Analisis umum dalam hal ini adalah untuk mengetahui “akibat” dari perubahan masing-masing komponen dalam rentang waktu tertentu terhadap laju pertumbuhan PDB. Hasilnya, ada istilah konsumsi yang mendorong pertumbuhan, atau investasi sebagai pendorong pertumbuhan. Tentulah yang lebih disukai adalah investasi, sekalipun idealnya tetap harus diimbangi oleh pertumbuhan konsumsi. Penalarannya terkait dengan dampak untuk waktu berikutnya, terutama yang bersifat jangka panjang.
Jika konsumsi saja yang melaju dengan cepat tanpa diimbangi dengan investasi yang sepadan, maka bisa mengakibatkan peningkatan impor dan atau inflasi. Dari model juga bisa di “utak-atik” peran kebijakan fiskal pemerintah. Misalnya, pengeluaran pemerintah bisa berperan mendorong peningkatan PDB. Istilahnya adalah pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (source of growth).
Sebagai contoh, dari pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 %, lebih dari separuhnya bersumber dari komponen ekspor barang dan jasa, yakni sebesar 3,8 %. Namun, pada saat bersamaan impor memberi kontribusi dalam arah berlawanan sebesar 3,3 %. Komponen terbesar PDB yaitu konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan sebesar 2,9 %. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,3 %, serta pembentukan modal tetap bruto (investasi) memberikan kontribusi sebesar 2,0 %.
Fenomena yang paling menarik perhatian terkait dengan data-data ini adalah bertahannya konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting sekitar sembilan tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga (swasta), meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika memperhitungkan impor (net ekspor) maka masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004. Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, bahkan meningkat kembali selama tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Pada semester I tahun 2008, kecenderungan ini belum terlihat berubah banyak.
Jika data dicermati, konsumsi rumah tangga memang sempat sedikit terpukul pada tahun 2005 dan 2006, akibat kenaikan harga BBM. Namun, komponen lain selain konsumsi pemerintah juga ikutan terpuruk. Dengan demikian, laju konsumsi rumah tangga mungkin akan sedikit tertahan pada semester kedua tahun 2008, setelah pemerintah menaikkan harga BBM.
Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006. Perbaikan masih berlanjut pada semester pertama 2008. Sayangnya, semester kedua 2008, diperkirakan akan sedikit melambat lagi.
Bagaimanapun juga, kontribusi investasi masih bersifat harapan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Bahkan, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan asal besar nominalnya saja, dan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera menambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan.
Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis pun, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan semester I 2008 hanya sebesar 0,2 dari total pertumbuhan 6,4 (yoy).
Kekhawatirkan lain atas kondisi semacam ini adalah terkait fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak akan teratasi tanpa pertumbuhan yang didorong oleh investasi riil. Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan prostitusi/pornografi.
Ada pula ekonom yang mengatakan bahwa ketahanan pengeluaran konsumsi mendorong pertumbuhan selama sembilan tahun terakhir memang kurang masuk akal. Ekonom ini memperkirakan 30 persen dari PDB Indonesia berasal dari praktik ekonomi “bawah tanah”. Namun, perlu difahami bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sering dianggap kurang berkualitas jika dilihat dari sumbernya (sisi permintaan). Kualitas tersebut mungkin menjadi lebih rendah lagi bila arahan mewaspadai krisis terlampau mengandalkan pengeluaran pemerintah, yang notabene lebih banyak berkategori konsumsi.