Rabu, 19 Desember 2018

APAKAN APBN 2019 SEHAT? (bagian 2)


Klaim sehat dari Pemerintah juga memakai argumen bahwa keseimbangan primer turun konsisten sejak 2015. Dan diiyakini akan mendekati nol rupiah pada akhir tahun 2019.

Keseimbangan primer sebenarnya adalah suatu neraca, semacam neraca rugi laba dalam akuntansi, atau kondisi arus dana selama setahun. Neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun besaran belanjanya tidak menyertakan pembayaran bunga utang. Kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, biasa dikaitkan dengan kesinambungan fiskalnya. Diakui luas bahwa kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru. Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah.

APBN 2019 memang mentargetkan keseimbangan primer yang jauh lebih baik dibanding  beberapa tahun terakhir. Direncanakan Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Diantara pos belanja, terdapat pembayaran bunga utang adalah Rp275,89 triliun. Dengan demikian, target keseimbangan primer adalah Pendapatan dikurangi Belanja yang tak memasukkan pembayaran, atau sebesar minus Rp20,12 triliun. Ini berarti bahwa sebagian bunga utang masih akan dibayar dari utang baru. Untuk dikatakan sehat, setidaknya keseimbangan primer adalah nol, dan seyogyanya positif dengan nilai yang cukup besar. Pada tulisan bagian satu, target pendapatan tampak terlampau tinggi, yang berpotensi defisit tahun 2019 melampaui target, sehingga defisit keseimbangan primer pun mungkin akan lebih besar dari target.

Perlu diketahui bahwa selama tahun 2000 hingga tahun 2011, keseimbangan primer bernilai surplus (positif). Sejak tahun 2012 hingga 2018 tercatat selalu minus (negatif).



Salah satu kunci perbaikan keseimbangan adalah pengendalian pembayaran bunga utang. Bunga utang tercatat terus meningkat signifikan selama beberapa tahun terakhir. APBN tahun 2019 merencanakan pembayaran bunga utang sebesar Rp275,89 triliun, mengalami kenaikan 10,4% dari outlook APBN tahun 2018. Target kenaikan yang lebih rendah dibanding outlook 2018 sebesar 15,16%, dan dibandingkan rata-rata 2012-2017 sebesar 15,15%. Artinya pula, keseimbangan primer yang ditargetkan membaik itu mensyaratkan pemenuhan target pembayaran bunga yang juga butuh upaya keras.



Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara. Ada pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk SBN, biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Dari uraian di atas, dapat saja dikatakan bahwa APBN 2019 sedikit lebih sehat dibanding APBN 2018 dan APBN 2017. Namun belum dapat dikatakan sehat berdasar dua variabel yang dipakai sebagai alat penjelasan Pemerintah itu sendiri. Tulisan bagian satu membahas argumen tentang turunnya defisit, dan bagian dua membahas tentang keseimbangan primer.