Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini penerimaan
negara akan melampaui target APBN 2018, yaitu sekitar Rp 1.936 triliun
berbanding Rp1.894 triliun. Diklaim sebagai pertama kalinya penerimaan negara
melebihi target APBN. Pernyataan tanggal 5 Desember lalu itu bahkan sudah
merevisi prakiraan Pemerintah sendiri bulan sebelumnya (dalam APBN Kita edisi
Nopember) yang masih Rp1.903 triliun.
Untuk menilai apakah hal tersebut merupakan suatu prestasi dari
kinerja Pemerintah, maka perlu diperiksa dan dicermati beberapa hal dan rincian.
Diantaranya yang akan dibahas berikut.
Pertama, Pelampauan
target APBN bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2008, realisasi Pendapatan
Negara jauh melampaui APBN, yaitu Rp982 triliun berbanding Rp781 triliun atau
sebesar 125,62%. Sedangkan tahun 2018 hanya sebesar 102,18%. Pada tahun 2018
tak ada APBNP, sementara tahun 2008 bahkan lebih tinggi dibanding APBNP 2008 sebesar
109,68%.
Kedua, rincian
dari perolehan pendapatan tersebut. Ternyata yang jauh melampaui target adalah Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diprakirakan mencapai Rp349,2 triliun berbanding
target yang sebesar Rp275,4 triliun. Sedangkan penerimaan perpajakan tak akan mencapai
100% dari target Rp1.618,1 triliun. Penyebab kenaikan PNBP bisa dikatakan tak
berhubungan dengan prestasi atau kinerja pemerintah, melainkan karena faktor
eksternal yang kebetulan menguntungkan dalam konteks ini.
PNBP yang melampaui target terutama disebabkan oleh: Harga
minyak (ICP), harga batubara acuan (HBA), dan kurs rupiah. Asumsi ICP dalam
APBN sebesar USD48 per barel, sedangkan realisasi hingga Oktober telah mencapai
USD69,18. HBA rata-rata tahun 2018 hingga Oktober mencapai USD99,72 per ton,
lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang USD84,22 per ton. Realisasi kurs
hingga Oktober di kisaran Rp14.250 dan akan sekitar Rp14.400 hingga akhir
tahun, berbanding asumsi APBN sebesar Rp13.400.
Ketiga, fenomena
pelemahan rupiah yang berdampak signifikan. Realisasi kurs rupiah amat jauh
dari asumsi dalam APBN. Nota Keuangan APBN 2018 (halaman III.2-3) merinci
tentang prakiraan perhitungan risiko akan hal ini. Tiap pelemahan Rp100 dari
asumsi, pendapatan negara akan bertambah sekitar Rp3,8 sampai dengan Rp5,1
triliun. Dampaknya terhadap surplus atau defisit memang hanya sekitar Rp1,5 –
Rp1,6 triliun, karena dampak kenaikan pada belanja. Dalam konteks klaim di atas,
maka pelemahan rupiah menambah pendapatan sekitar Rp38 – Rp51 triliun. Dengan
demikian, prakiraan realisasi seluruh pendapatan 2018 yang melampaui target
sebesar Rp41 triliun dapat saja dikatakan hanya karena hal ini.
Keempat,
perkembangan kinerja pendapatan secara keseluruhan pada era pemerintahan Jokowi.
Pendapatan Negara memang cenderung meningkat selama era tahun 2004 - 2018,
hanya sempat turun sedikit pada tahun 2009 dan 2015. Laju kenaikan pendapatan
tiap tahunnya berfluktuasi. Dalam era Jokowi bahkan sempat turun pada tahun
2015, dan hanya naik sedikit pada tahun 2016. Peningkatan laju kenaikan signifikan
terjadi pada tahun 2017 dan tahun 2018. Namun, perlu dicatat bahwa rata-rata
kenaikan per tahun dalam era 2005 – 2009 adalah sebesar 17.56%, dan pada era
2010 – 2014 sebesar 12.94%. Sedangkan pada era pemerintahan Jokowi yang telah
direalisasi, tahun 2015 – 2018 hanya sebesar 5,93% per tahun, atau jauh lebih
rendah.
Kelima, penerimaan
perpajakan memang mengalami peningkatan pada era Jokowi, namun dengan laju yang
lebih lambat dibanding era sebelumnya. Selama era 2015 – 2018, kenaikan
penerimaan perpajakan rata-rata sebesar 7.89%
per tahun. Sedangkan pada era 2005 – 2009 sebesar 17.97% per tahun, dan era
2010 – 2014 sebesar 13.21% per tahun.
Keenam,
pertumbuhan penerimaan perpajakan bukan lah prestasi. Lajunya sedikit dibawah
atau hanya setara laju PDB menurut harga berlaku, sehingga tax ratio turun pada tahun 2015 dan 2016, dan hanya sedikit membaik
pada tahun 2017 dan 2018. Akan tetapi tetap masih di bawah tahun 2014. Tax ratio dalam arti luas, yang
memasukkan penerimaan SDA tahun 2018 akan sekitar 12,20%, sedangkan tahun 2014
sebesar 13,70%. Tax ratio dalam arti
sempit, yang hanya menghitung penerimaan perpajakan, tahun 2018 sekitar 11,09%,
sedangkan tahun 2014 sebesar 11,36%.
Penjelasan di atas menunjukkan kinerja pemerintahan Jokowi
dalam pendapatan negara tidak cukup baik, dan justeru lebih buruk dibanding
sebelumnya. Pada tahun 2018 memang terjadi perbaikan, namun disertai berbagai
catatan kritis, yang bahkan mengindikasikan buruknya perencanaan pemerintah
pada banyak aspek APBN. Misalnya, tambahan posisi utang yang juga jauh
melampaui target.