Minggu, 03 Januari 2021

UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian dua)

APBN 2020 semula merencanakan defisit sebesar Rp307,23 triliun kemudian direvisi Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.039,22 triliun. Defisit APBN akan ditutupi atau dibiayai oleh utang baru.

Akan tetapi tambahan utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lain selain belanja. Jenis pengeluaran yang belum diperhitungkan dalam angka defisit pada postur APBN. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Pengeluaran ini tidak dicatat dalam pos Belanja di bagian atas, karena bersifat menimbulkan hak di kemudian hari. 

Tambahan utang karena kedua hal tersebut mempengaruhi besaran pos pembiayaan utang dalam postur APBN. Pembiayaan utang merupakan istilah baru yang dicantumkan secara resmi dalam postur APBN beberapa tahun terakhir.

Pos pembiayaan utang masuk pada kelompok pembiayaan anggaran. Kelompok pembiayaan diletakkan di bagian bawah neraca APBN, sering disebut below the line. Kelompok Pendapatan dan Belanja tampak di bagian atas.

APBN 2020 semula merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Direvisi malalui Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.220,5 triliun. 

Pada APBN 2021, Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat pelaksanaan APBN. Nilainya melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun, karena ada pengeluaran yang termasuk dalam pos pembiayaan. 

Defisit dan pembiayaan utang APBN cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, laju kenaikannya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit menurun pada tahun 2018. Kembali meningkat pada tahun 2019. Dan akibat pandemi covid-19, peningkatannya menjadi amat signifikan pada tahun 2020. Meski sedikit akan diturunkan pada APBN 2021, namun terbilang masih jauh lebih besar disbanding tahun-tahun sebelumnya. 

Gambar 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021


Perlu dicermati, dalam pos pembiayaan utang tercakup data penerimaan dari utang baru dan data pembayaran pokok atas utang lama. Sebagian dinyatakan secara jelas, berupa pelunasan dan penarikan utang baru. Sebagian lainnya hanya disebut secara neto.

Yang bersifat penerimaan diperoleh dari pencairan pinjaman baru dan hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan yang bersifat pengeluaran berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman serta pelunasan SBN jatuh tempo dan SBN yang dilunasi sebelum waktunya (buyback). Kadang ada pula beberapa penghapusan atau restrukturirasi dari pinjaman.

Pembiayaan utang memang merupakan rencana tambahan utang berdasar pengelolaan APBN pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat menambah ataupun mengurangi posisi utang pemerintah. Faktor dimaksud adalah perubahan kurs mata uang. Cukup banyak dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing atau diperhitungkan mata uang selain rupiah. Porsi terbesarnya berupa dolar Amerika.

Sebagai contoh, pada tahun 2019 tambahan utang hanya sebesar Rp320,29 triliun, padahal nilai pembiayaan utangnya sebesar Rp437,54 triliun. Lebih sedikitnya tambahan posisi utang karena kurs rupiah pada akhir tahun 2019 menguat dibanding akhir tahun 2018. Terutama atas dolar Amerika.

Contoh sebaliknya, terjadi pada tahun 2015, tambahan utang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan utang. Pembiayaan utang hanya sebesar Rp380 triliun, namun posisi utang bertambah sebesar Rp556,35. Penyebabnya, kurs rupiah pada akhir tahun 2015 yang lebih lemah dari akhir tahun 2014. 

Sejauh perkembangan terkini dari kurs, pada tahun 2020 diprakirakan tambahan utang akan sedikit melebihi pembiayaan utang, karena kurs hanya sedikit melemah dibanding pada akhir tahun 2019. Sedangkan posisi tahun 2021 masih bergantung pada perkembangan kurs rupiah nantinya.

Grafik 3 Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021



Perlu dicermati bahwa Faktor kurs dimaksud bukan lah rata-rata kurs sepanjang tahun, sebagaimana yang dinyatakan dalam asumsi makro ekonomi APBN. Melainkan, penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi utang dinyatakan. Pada contoh tahun 2019, terjadi pengutan kurs rupiah atas dolar Amerika pada 31 Desember 2019 (Rp13.901) dibanding dengan kurs pada 31 Desember 2018 (Rp14.981). Padahal, rata-rata kurs selama tahun 2019 adalah sebesar Rp14.146. 

Cukup besarnya pengaruh kurs dikarenakan sebagian utang Pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 38-40 persen dari total utang. Sekitar 90 persennya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.

Pemerintah dan Bank Indonesia memang berupaya mempertahankan tingkat kurs yang stabil, bahkan cenderung setara antara tahun 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan APBN 2021 menetapkan asumsi Rp14.600.

Kurs pada akhir tahun 2020 sempat ditargetkan oleh Bank Indonesia di kisaran Rp15.000. Jika target tercapai, kurs persis Rp15.000, maka dapat dihitung posisi utang akhir tahun 2020. Secara teknis, faktor ini hanya berpengaruh atas nilai utang terdahulu, karena utang yang diperoleh pada tahun 2020 telah masuk dalam perhitungan APBN. Jika kurs akhir tahun 2020 sebesar Rp15.000, maka rupiah melemah 7,91% dibanding akhir tahun 2019. Utang pun bertambah karena faktor ini sebesar Rp196 triliun.

Dengan perhitungan demikian, maka posisi utang pemerintah akhir 2020 akan bertambah dari pembiayaan utang dalam APBN 2020 menurut Perpres nomer 72 (Rp1.220,46 triliun) dan dari pelemahan kurs (RP196 triliun). Menjadi sebesar Rp6.203 triliun pada akhir tahun 2020, dari Rp4.786,59 triliun pada akhir 2019. 

Pada akhir November, kurs rupiah ternyata menguat hingga mendekati Rp14.000. Posisi utang Pemerintah pada akhir November “hanya” Rp5.910,64 triliun. Jika kurs dapat dipertahankan, maka pelemahan rupiah hanya sekitar 1%. Posisi utang pada akhir 2020 akan menjadi sekitar Rp6.069 triliun.