Posisi utang pemerintah dapat digambarkan dalam beberapa aspek atau komponen. Dilihat dari bentuknya, ada yang berupa pinjaman (loan) dan ada yang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN). Dari denominasi atau jenis mata uangnya, berupa rupiah dan berupa mata uang asing (valuta asing). Sedangkan dari asal sumber atau pihak krediturnya, dapat dikelompokkan sebagai utang luar negeri dan utang dalam negeri.
Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Pinjaman luar negeri dikelompokkan menjadi Pinjaman Bilateral, Pinjaman Multilateral, Pinjaman komersial, dan kredit suppliers. Denominasi pinjaman luar negeri berupa berbagai mata uang asing, dengan dominasi dolar Amerika. Sedangkan pinjaman dalam negeri pada umumnya berasal dari Bank BUMN.
SBN merupakan surat utang atau utang Pemerintah pada pihak yang memegang atau memilikinya. Secara teknis, syarat dan ketentuan SBN ditentukan oleh Pemerintah sendiri. Namun syarat dan ketentuan yang ditetapkan amat berpengaruh pada serapan pasar.
SBN terdiri dari berbagai seri yang memiliki jatuh tempo pada tanggal tertentu, sehingga pelunasannya tidak bersifat cicilan. Dalam beberapa kasus, bisa dipercepat pelunasannya (buyback), yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru. Sedangkan untuk pinjaman karena bisa dicicil sesuai dengan perjanjian utangnya.
Utang dalam bentuk SBN memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang dalam bentuk pinjaman. Pada akhir 2019 porsinya mencapai 84% dengan nilai sebesar Rp4.014,8 triliun. Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman hanya 16% atau sebesar Rp771,8 triliun.
Porsi utang dalam bentuk SBN meningkat lebih cepat hingga akhir November 2020, mencapai 86,03% atau sebesar Rp5.085,04 triliun. Sedangkan pinjaman nilainya juga ikut meningkat menjadi Rp814,05 triliun, namun porsinya turun menjadi 13,97%.
Grafik 4. SBN dan Pinjaman
Berdasar denominasi mata uang, porsi utang pemerintah dalam Rupiah lebih besar dibanding dalam valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valas terdiri dari banyak mata uang namun hal tersebut bukan berarti berutang paling banyak pada negara dengan mata uang tersebut. Sebagian negara atau pihak asing memilih mata dolar Amerika sebagai denominasi. Sehingga porsinya menjadi yang terbesar. Hal ini tidak berarti pemerintah berutang banyak pada Amerika ataupun organisasi internasional yang berpusat di negara tersebut.
Pada akhir tahun 2019, porsi denominasi rupiah mencapai 62,08% dan denominasi valas sebesar 37,98% dari total utang. Porsi denominasi rupiah pada akhir November meningkat menjadi 76,65%, seiring dengan peningkatan posisinya yang lebih cepat dari denominasi valas. Porsi SBN valas turun menjadi 23,46%.
Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing
Hanya saja perlu diingat bahwa utang berdenominasi rupiah tidak selalu berarti krediturnya adalah pihak domestik atau penduduk (residen). Bisa saja berasal dari kreditor asing namun pemberian pinjamannya dalam bentuk rupiah, misalkan SBN yang dibeli oleh pihak asing maka dicatat dalam utang kepada non residen. Begitu juga utang dalam bentuk valas bukan berarti seluruhnya kepada pihak asing. Sebagian dari SBN valas, meski masih berporsi kecil, dimiliki oleh penduduk.
Pada pengelompokan asal kreditur, utang kepada residen berarti utang kepada penduduk, perusahaan atau Lembaga Indonesia. Sedangkan kepada nonresiden adalah kepada pihak asing, yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri Pemerintah. Tidak masalah apa pun jenis denominasinya.
Posisi utang kepada residen sebesar Rp2003,63 triliun (41,86%) dan kepada nonresiden sebesar Rp2782,87 triliun (58,14%) pada akhir tahun 2019. Porsi kepada residen meningkat menjadi Rp2.942,52 triliun (50,06%) pada akhir Oktober 2020. Hal ini seiring dengan peningkatan kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia yang naik pesat, bahkan berlipat.
Sementara itu, pihak asing justeru sedikit menurun nilai kepemilikannya, dan secara porsi turun sangat signifikan. Posisi utang kepada nonresiden pada akhir Oktober 2020 tercatat Rp2.935,47 triliun (49,94 %). Porsinya justeru sedikit di bawah utang kepada residen. Hal ini terutama sekali karena penurunan kepemilikan SBN oleh asing.
Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden