Sabtu, 29 Februari 2020

MENGURAI DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN INDONESIA (bagian tujuh dari tujuh tulisan)


"Saya sudah sampaikan ke Pak Airlangga dan seluruh kementerian di bawahnya untuk segera menurunkan defisit neraca transaksi berjalan kita, juga defisit neraca dagang. Kami akan konsen ke situ," kata Jokowi pada 6 November 2019. Setahun sebelumnya (24 Oktober 2018), Jokowi telah mengatakan bahwa masalah yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan adalah defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Bahkan pada 5 September 2018, Jokowi memerintahkan menterinya untuk segera bergerak menyelesaikannya dalam waktu satu tahun.

Kenyataannya kemudian justru tercipta rekor defisit pada tahun 2018 sebesar USD31,06 miliar. Dan hanya sedikit turun pada tahun 2019 menjadi sebesar USD30,42 miliar. Defisit pun telah dialami selama 8 tahun berturut-turut.

Soalan ini terasa makin krusial mengingat selama tahun 1998-2011 selalu mengalami surplus. Sedangkan kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Nilainya cenderung meningkat jelang krisis 1997.

Meski telah menjadi wacana publik yang cukup luas, istilah Transaksi Berjalan belum sepenuhnya dimengerti. Diskusi terlampau fokus pada salah satu bagian saja dari persoalannya, yaitu ekspor dan impor barang. Atau pada neraca perdagangan versi BPS yang telah memasukkan sebagian jasa terkait pencatatan nilai impor.

Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa Transaksi Berjalan sebenarnya terdiri dari empat bagian atau neraca. Yaitu: Barang, Jasa-jasa, Pendapatan Primer, dan Pendapatan Sekunder. Analisa harusnya mencermati masing-masing kondisinya. Bahkan perlu kajian atas berbagai detil yang penting, agar diperoleh rekomendasi kebijakan ekonomi yang tepat. Tak cukup hanya berperspektif jangka pendek, melainkan juga memperhitungkan dampak jangka menengah dan panjang. 

Pada bagian tulisan ini perlu ditekankan kembali bagian yang penting namun sering kurang mendapat perhatian dalam diskusi, yaitu tentang Pendapatan Primer.

Upaya pengendalian defisit Pendapatan Primer akan berbenturan dengan kebijakan otoritas ekonomi yang mengharapkan masuknya modal asing secara besar-besaran. Peningkatan masuknya modal asing bahkan sering dibanggakan sebagai indikasi kredibelnya perekonomian nasional. Padahal harus diingat bahwa pihak asing mau berinvestasi atau memberi utang karena berharap akan adanya hasil kembalian berupa keuntungan dan pembayaran bunga.

Arus masuk dan keluar dari investasi itu sendiri tercatat dalam Transaksi Finansial. Bukan dalam Transaksi Berjalan. Transaksi Finansial mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Catatan disebut aset berarti arus keluar dan masuk modal finansial milik penduduk Indonesia. Disebut kewajiban untuk catatan tentang milik asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia.

Transaksi Finansial Indonesia cenderung membukukan arus masuk bersih, dengan nilai berfluktuasi. Arus masuk bersih pada tahun 2019 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, hingga mencapai USD36,34 miliar. Arus keluar modal finansial milik penduduk Indonesia sebesar USD 14,47 miliar. Sedangkan arus masuk milik asing sebesar USD50,81 miliar.

Dengan demikian, perlu diingat pula bahwa kecenderungan nilai bersih arus masuk selama ini tidak hanya ditentukan oleh masuk dan keluarnya modal finansial asing. Melainkan juga oleh perilaku penduduk Indonesia dalam berinvestasi ke luar negeri.


Transaksi finansial tersebut terdiri dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya. Pada tahun 2019: investasi langsung surplus sebesar USD20,05 miliar, Investasi portofolio surplus sebesar USD21,55 miliar, dan investasi lainnya defisit sebesar USD5,44 miliar.



Sebagaimana diketahui, Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana atau pun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa atau pun di luar bursa.

Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainya, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Pada tahun 2019, investasi portofolio mengalami surplus sebesar USD21,55 miliar. Investasi Portofolio yang bersifat aset sebesar USD441,18 juta, dan yang bersifat kewajiban sebesar USD21,11 miliar. Kecenderungannya memang selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir.

Akan tetapi perlu dimengerti bahwa penduduk Indonesia pun melakukan investasi ke luar negeri, dicatat sebagai investasi portofolio aset, dengan nilai yang berfluktuatif. Kadang bernilai cukup besar pada tahun tertentu, seperti tahun 2018 yang mencapai USD5,17 miliar.

Dilihat dari aspek fundamental, dinamika investasi portofolio amat memengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat.

Arus masuk tersebut memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya. Berarti pula makin menekan Transaksi Berjalan.

Kita dapat pula mencermati arus masuk investasi asing portofolio secara neto tiap tahunnya. Ketika masuk sebagai investasi portofolio, sifatnya menambah devisa. Namun, pembayaran imbal jasanya kemudian akan mengurangi. Tentu saja, pembayaran tersebut merupakan konsekwensi dari akumulasi investasi sebelumnya. Arus masuk secara neto dari keduanya kadang amat kecil dan dapat negatif pada tahun tertentu.


Catatan tentang akumulasi dari investasi portofolio sebagai bagian dari Transaksi Finansial dapat dicermati dari laporan Bank Indonesia tentang Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII). Salah satu bagian yang dilaporkan PIII adalag mengenai posisi kewajiban investasi portofolio.

Posisi investasi portofolio dari sisi kewajiban dalam PIII untuk kondisi akhir September 2019 adalah sebesar USD288,09 miliar. Posisinya terus meningkat dengan pesat, telah mencapai lebih dari 8 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2005, atau hanya dalam kurun waktu 13 tahun.



Posisi itu dapat pula dibaca sebagai “modal finansial” yang cukup likuid untuk keluar dalam waktu singkat. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sebesar jumlah itu, tetapi tetap harus dilihat sebagai resiko potensial. Untuk mengguncang atau memperburuk kondisi jika telah mulai ada guncangan terhadap perekonomian, cukup 10 hingga 20 persen saja yang keluar mendadak dalam kurun satu minggu hingga satu bulan, diperkirakan dapat menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi, kecuali jika otoritas moneter dengan sigap melakukan langkah antisipatif yang memadai.

Tentu saja harus diakui bahwa bisa pula yang terjadi adalah sebaliknya, posisi demikian diharapkan menjadi jaminan bagi datangnya arus masuk baru, karena dinilai kredibel dan layak investasi. Penentunya antara lain daya tarik dan bukti hasil dari modal finansial yang telah berada di Indonesia masih relatif lebih menguntungkan dibanding investasi yang sama di kawasan.

Kembali kepada topik utama tentang Transaksi Berjalan. Bank Indonesia menilai kondisi terkini yang selalu defisit masih aman dan terkendali. Yang dipakai sebagai ukuran adalah rasio defisit transaksi berjalan atas Produk Domestik Bruto (PDB). Besaran yang disebut aman adalah defisit 3 persen dari PDB. Sedangkan kestabilan cenderung diartikan tingkat defisit yang bertahan di kisaran 2,5 hingga 3 persen.