Neraca Barang mencakup transaksi ekspor
dan impor barang dagangan umum dan barang lainnya. Bank Indonesia
mengelompokkan barang dagangan umum menjadi nonmigas, minyak dan gas. Sedang
barang lainnya baru satu macam, yaitu eman nonmoneter.
Neraca Barang Indonesia selama periode
tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilai ekspor
melebihi nilai impor selama setahun. Nilai surplusnya sempat merosot drastis pada
tahun 2012, ketika ekspor turun dan impor tetap meningkat. Meningkat kembali
perlahan-lahan pada tahun 2013-2017.
Pada tahun 2018, untuk pertama kalinya
Neraca Barang mengalami defisit, meski nilainya masih kecil, yaitu sebesar USD228
juta. Nilai ekspor barang pada tahun 2018 sebesar USD180,73 miliar. Sedangkan
nilai impor sebesar USD180,95 miliar.
Pada tahun 2019, neraca Barang kembali
mencatatkan surplus sebesar USD3,51 miliar. Nilai ekspor barang sebesar
USD125,06 miliar, dan nilai impor sebesar USD122,13 miliar. Surplus yang
terbilang paling sedikit dibandingkan tahun-tahun lampau, selain tahun 2018.
Perlu diketahui bahwa nilai impor dalam
neraca perdagangan barang pada Transaksi Berjalan atau NPI adalah pada kondisi Free
on Board (FoB) di pelabuhan importir. Bukan nilai barang ketika
sudah sampai di pelabuhan atau bandara Indonesia.
Berbeda dengan nilai impor dalam data
Neraca Perdagangan yang biasa dipublikasikan oleh BPS tiap bulan. Nilai impor
dalam data Neraca Perdagangan BPS memakai konsep Cost, Insurance and Freight
(CIF), harga ketika telah sampai di Indonesia. Artinya telah memasukan berbagai
biaya impor, seperti biaya pengapalan dan premi asuransi.
Sedangkan data tentang nilai ekspor
relatif sama. BPS dan BI memakai nilai fob sebagai eksportir, dan hanya
sedikit perbedaan dalam perlakuan catatan tertentu.
Pada tahun 2019, neraca barang dalam
NPI mengalami surplus USD3,51 miliar seperti disampaikan di atas. Sedangkan
pada neraca perdagangan versi BPS dilaporkan mengalami defisit USD3,20 miliar
dollar. Neraca Perdagangan barang versi BPS ini lah yang biasanya menjadi
pemberitaan media dan diskusi publik.
Oleh karena tulisan ini ingin mengurai
soalan defisit transaksi berjalan, maka laporan yang dipakai adalah neraca
barang dalam NPI versi Bank Indonesia.
Bank Indonesia biasa merinci neraca
perdagangan barang ke dalam migas dan nonmigas. Neraca perdagangan migas pada
tahun 2019 tercatat defisit sebesar USD10,3 miliar. Sedikit membaik
dibandingkan defisit tahun 2018 yang sebesar USD11,4 miliar. Sejak tahun 2011 neraca
perdagangan migas mengalami defisit dengan nilai berfluktuasi.
Neraca perdagangan gas selalu mengalami
surplus. Nilai surplusnya cenderung berkurang. Sempat sedikit meningkat pada
2017 dan 2018. Kembali turun surplusnya, menjadi USD4,8 miliar pada 2019.
Sedangkan neraca perdagangan minyak
memang telah lama mengalami defisit. Defisitnya meningkat pada 2010 sampai dengan
2014. Sempat membaik pada 2015 dan 2016, namun kembali meningkat pada 2017 dan
2018. Sedikit membaik kembali pada 2019, dengan defisit sebesar USD15,1 miliar.
Gambar
Neraca barang Nonmigas masih selalu
mengalami surplus. Hanya saja, surplusnya terbilang kecil selama dua tahun
terakhir. Surplus sebesar USD11,19 miliar pada tahun 2018, dan sebesar USD11,97
miliar pada tahun 2019.
Sempat mengalami lonjakan dan mencapai
nilai tertinggi pada tahun 2011, yaitu sebesar USD32,87 miliar. Namun seketika
anjlog pada tahun 2012, menjadi sebesar USD11,96 miliar. Perlahan naik dari
tahun 2013 sampai dengan 2017. Turun drastis kembali pada tahun 2018, dan relatif
stagnan pada tahun 2019.
Masalah yang bersifat fundamental dalam
Neraca Barang sebenarnya bukanlah soal surplus atau defisitnya. Melainkan fakta
bahwa struktur ekspor masih kurang kokoh. Baik dilihat dari aspek komoditas
maupun negara tujuan.
Kelompok barang yang berasal dari
ekstraksi hasil alam dan yang hanya sedikit diolah masih memiliki porsi cukup
besar. Selain bernilai tambah tidak maksimal, harga komoditasnya pun amat
fluktuatif, dan Indonesia bukan penentu harga. Barang ekspor yang berasal dari
industri pengolahan juga masih memiliki konten impor dalam porsi besar. Secara
keseluruhan, ragam barang ekspor masih kurang bervariasi, dan komoditas
unggulan bersifat kurang menentukan dalam pasar internasional.
Ekspor nonmigas Indonesia lebih
didominasi oleh produk primer atau produk tanpa olahan atau hanya sedikit
olahan, jika dilihat berdasar Standard International Trade Classification
(SITC). Laporan NPI Bank Indonesia tentang ekspor berdasar SITC mengelompokannya
ke dalam tiga kategori: produk primer, produk manufaktur, dan produk lainnya.
Produk primer terdiri dari produk pertanian serta bahan bakar dan pertambangan.
Produk pertanian sendiri terdiri dari makanan dan bahan baku.
Komposisinya berdasar nilai pasar pada tahun 2019: produk
primer sebesar 47,3 persen, produk manufaktur sebesar 50,0 persen, dan produk
lainnya 2,8 persen. Komposisinya tampak sedikit membaik dibanding tahun 2014,
yang terdiri dari: 50,2 persen produk primer, 48,3 persen produk manufaktur,
dan 1,6 persen produk lainnya. Membaik dalam artian porsi nilai pasar dari ekspor
produk manufaktur meningkat.
Akan tetapi jika dilihat dari harga riil,
komposisinya justru memburuk. Perbaikan komposisi tadi lebih dikarenakan
perubahan harga komoditas, bukan volumenya. Komposisi berdasar harga riil pada
tahun 2019: produk primer sebesar 54,8 persen, produk manufaktur sebesar 43,4
persen, dan produk lainnya 2,9 persen. Pada tahun 2014, yang terdiri dari: 45,4
persen produk primer, 53,8 persen produk manufaktur, dan 0,8 persen produk
lainnya.
Negara tujuan ekspor non migas didominasi
oleh 10 negara utama yang porsinya pada tahun 2019 mencapai 70,0 persen. Selama
satu dekade terakhir, porsinya memang selalu di kisaran 70 persen. Bahkan 5
negara utama mencapai separuh (49,6 persen) dari total nilai ekspor nonmigas
tahun 2019, yaitu: Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India dan Singapura. Hal ini
menjadikan imbas perang dagang cukup dirasakan baik secara langsung maupun
tidak langsung ke Indonesia.
Bersambung ke bagian empat