Kamis, 20 Februari 2020

MENGURAI DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN INDONESIA (bagian tiga dari tujuh tulisan)


Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum dan barang lainnya. Bank Indonesia mengelompokkan barang dagangan umum menjadi nonmigas, minyak dan gas. Sedang barang lainnya baru satu macam, yaitu eman nonmoneter.

Neraca Barang Indonesia selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilai ekspor melebihi nilai impor selama setahun. Nilai surplusnya sempat merosot drastis pada tahun 2012, ketika ekspor turun dan impor tetap meningkat. Meningkat kembali perlahan-lahan pada tahun 2013-2017.

Pada tahun 2018, untuk pertama kalinya Neraca Barang mengalami defisit, meski nilainya masih kecil, yaitu sebesar USD228 juta. Nilai ekspor barang pada tahun 2018 sebesar USD180,73 miliar. Sedangkan nilai impor sebesar USD180,95 miliar.

Pada tahun 2019, neraca Barang kembali mencatatkan surplus sebesar USD3,51 miliar. Nilai ekspor barang sebesar USD125,06 miliar, dan nilai impor sebesar USD122,13 miliar. Surplus yang terbilang paling sedikit dibandingkan tahun-tahun lampau, selain tahun 2018.



Perlu diketahui bahwa nilai impor dalam neraca perdagangan barang pada Transaksi Berjalan atau NPI adalah pada kondisi Free on Board (FoB) di pelabuhan importir. Bukan nilai barang ketika sudah sampai di pelabuhan atau bandara Indonesia.

Berbeda dengan nilai impor dalam data Neraca Perdagangan yang biasa dipublikasikan oleh BPS tiap bulan. Nilai impor dalam data Neraca Perdagangan BPS memakai konsep Cost, Insurance and Freight (CIF), harga ketika telah sampai di Indonesia. Artinya telah memasukan berbagai biaya impor, seperti biaya pengapalan dan premi asuransi.

Sedangkan data tentang nilai ekspor relatif sama. BPS dan BI memakai nilai fob sebagai eksportir, dan hanya sedikit perbedaan dalam perlakuan catatan tertentu.

Pada tahun 2019, neraca barang dalam NPI mengalami surplus USD3,51 miliar seperti disampaikan di atas. Sedangkan pada neraca perdagangan versi BPS dilaporkan mengalami defisit USD3,20 miliar dollar. Neraca Perdagangan barang versi BPS ini lah yang biasanya menjadi pemberitaan media dan diskusi publik.

Oleh karena tulisan ini ingin mengurai soalan defisit transaksi berjalan, maka laporan yang dipakai adalah neraca barang dalam NPI versi Bank Indonesia.

Bank Indonesia biasa merinci neraca perdagangan barang ke dalam migas dan nonmigas. Neraca perdagangan migas pada tahun 2019 tercatat defisit sebesar USD10,3 miliar. Sedikit membaik dibandingkan defisit tahun 2018 yang sebesar USD11,4 miliar. Sejak tahun 2011 neraca perdagangan migas mengalami defisit dengan nilai berfluktuasi.

Neraca perdagangan gas selalu mengalami surplus. Nilai surplusnya cenderung berkurang. Sempat sedikit meningkat pada 2017 dan 2018. Kembali turun surplusnya, menjadi USD4,8 miliar pada 2019.


Sedangkan neraca perdagangan minyak memang telah lama mengalami defisit. Defisitnya meningkat pada 2010 sampai dengan 2014. Sempat membaik pada 2015 dan 2016, namun kembali meningkat pada 2017 dan 2018. Sedikit membaik kembali pada 2019, dengan defisit sebesar USD15,1 miliar.
Gambar

Neraca barang Nonmigas masih selalu mengalami surplus. Hanya saja, surplusnya terbilang kecil selama dua tahun terakhir. Surplus sebesar USD11,19 miliar pada tahun 2018, dan sebesar USD11,97 miliar pada tahun 2019.

Sempat mengalami lonjakan dan mencapai nilai tertinggi pada tahun 2011, yaitu sebesar USD32,87 miliar. Namun seketika anjlog pada tahun 2012, menjadi sebesar USD11,96 miliar. Perlahan naik dari tahun 2013 sampai dengan 2017. Turun drastis kembali pada tahun 2018, dan relatif stagnan pada tahun 2019.


Masalah yang bersifat fundamental dalam Neraca Barang sebenarnya bukanlah soal surplus atau defisitnya. Melainkan fakta bahwa struktur ekspor masih kurang kokoh. Baik dilihat dari aspek komoditas maupun negara tujuan.

Kelompok barang yang berasal dari ekstraksi hasil alam dan yang hanya sedikit diolah masih memiliki porsi cukup besar. Selain bernilai tambah tidak maksimal, harga komoditasnya pun amat fluktuatif, dan Indonesia bukan penentu harga. Barang ekspor yang berasal dari industri pengolahan juga masih memiliki konten impor dalam porsi besar. Secara keseluruhan, ragam barang ekspor masih kurang bervariasi, dan komoditas unggulan bersifat kurang menentukan dalam pasar internasional.

Ekspor nonmigas Indonesia lebih didominasi oleh produk primer atau produk tanpa olahan atau hanya sedikit olahan, jika dilihat berdasar Standard International Trade Classification (SITC). Laporan NPI Bank Indonesia tentang ekspor berdasar SITC mengelompokannya ke dalam tiga kategori: produk primer, produk manufaktur, dan produk lainnya. Produk primer terdiri dari produk pertanian serta bahan bakar dan pertambangan. Produk pertanian sendiri terdiri dari makanan dan bahan baku.

Komposisinya berdasar nilai pasar pada tahun 2019: produk primer sebesar 47,3 persen, produk manufaktur sebesar 50,0 persen, dan produk lainnya 2,8 persen. Komposisinya tampak sedikit membaik dibanding tahun 2014, yang terdiri dari: 50,2 persen produk primer, 48,3 persen produk manufaktur, dan 1,6 persen produk lainnya. Membaik dalam artian porsi nilai pasar dari ekspor produk manufaktur meningkat.

Akan tetapi jika dilihat dari harga riil, komposisinya justru memburuk. Perbaikan komposisi tadi lebih dikarenakan perubahan harga komoditas, bukan volumenya. Komposisi berdasar harga riil pada tahun 2019: produk primer sebesar 54,8 persen, produk manufaktur sebesar 43,4 persen, dan produk lainnya 2,9 persen. Pada tahun 2014, yang terdiri dari: 45,4 persen produk primer, 53,8 persen produk manufaktur, dan 0,8 persen produk lainnya.

Negara tujuan ekspor non migas didominasi oleh 10 negara utama yang porsinya pada tahun 2019 mencapai 70,0 persen. Selama satu dekade terakhir, porsinya memang selalu di kisaran 70 persen. Bahkan 5 negara utama mencapai separuh (49,6 persen) dari total nilai ekspor nonmigas tahun 2019, yaitu: Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India dan Singapura. Hal ini menjadikan imbas perang dagang cukup dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung ke Indonesia.

Bersambung ke bagian empat