Minggu, 16 Februari 2020

MENGURAI DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN INDONESIA (bagian dua dari tujuh tulisan)


Transaksi Berjalan (Current Account) merupakan bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mencatat tentang nilai penjualan dan pembelian barang dan jasa dari wilayah Indonesia dengan luar negeri.

Tentang barang, sebagaimana yang umum dipahami oleh publik. Seperti barang hasil pertambangan, hasil pertanian, dan industri manufaktur. Dicatat dalam neraca yang disebut sebagai Barang (Goods);

Tentang jasa, perlu difahami berbagai cakupannya yang sangat luas. Ada jasa transportasi, baik untuk barang maupun orang. Ada jasa perjalanan, dari wisatawan yang datang, maupun penduduk Indonesia yang bepergian. Ditambah berbagai transaksi lainnya yang serupa itu, dicatat dalam neraca yang disebut Jasa-jasa (Services).

Kelompok transaksi jasa yang kedua terkait dengan imbalan atau balas jasa dalam utang piutang dan penanaman modal. Diantaranya adalah pembayaran bunga dan dividen. Dicatat dalam neraca yang disebut Pendapatan Primer (Primary Income).

Ada jasa terkait transfer personal dari pendapatan pekerja Indonesia di luar negeri, serta sebaliknya dari pekerja asing di Indonesia. Ada pula transaksi hibah dari atau ke negara lain, namun relatif kecil dalam kasus Indonesia. Dicatat dalam neraca yang disebut Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Dengan demikian, Transaksi Berjalan terdiri dari empat bagian yang juga merupakan neraca sebagaimana yang disebut tadi. Analisa harusnya mencermati semuanya. Kadang terjadi misleading, karena yang paling banyak disoroti adalah neraca barang, ditambah sebagian jasa yang terkait dengan transaksi barang saja.

Selama delapan tahun terakhir, masing-masing neraca berfluktuasi. Gabungan dari empat neraca itu lah yang menghasilkan kondisi surplus atau defisitnya transaksi berjalan pada tahun bersangkutan.


Transaksi berjalan selama kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2011 selalu mengalami surplus, dengan nilai yang berfluktuasi.

Sejak tahun 2012 hingga 2019, Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Secara nominal tercipta rekor defisit pada tahun 2018, yakni sebesar 31,06 miliar dolar. Defisitnya hanya sedikit turun pada tahun 2019, menjadi sebesar 30,42 miliar dolar.

Bank Indonesia menilai kondisi terkini yang selalu defisit masih aman dan terkendali. Yang dipakai sebagai ukuran adalah rasio defisit transaksi berjalan atas Produk Domestik Bruto (PDB). Besaran yang disebut aman adalah defisit 3 persen dari PDB. Sedangkan kestabilan cenderung diartikan tingkat defisit yang bertahan di kisaran 2,5 hingga 3 persen.

Bank Indonesia bahkan mengatakan defisit neraca transaksi berjalan sebesar 2,72 persen pada tahun 2019 tetap terkendali, sehingga turut menopang ketahanan sektor eksternal Indonesia.


Batasan tersebut bisa dikatakan bersifat psikologis saja dan dipakai oleh Bank Indonesia pada saat ini. Pihak lain dapat mengartikan sebaliknya dari data dan indikator yang sama. Sebagai contoh, Boediono (2016) yang pernah menjabat Gubernur Bank Indonesia, justru memakai ukuran batas aman sebesar 2% dari PDB.

Kondisi defisit transaksi berjalan tersebut memang amat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang melemah disertai meningkatnya faktor ketidakpastian. Pada saat bersamaan, Indonesia belum berhasil memperkuat ekonominya dalam hal yang terkait transaksi internasional. Baik dalam hal produksi barang, maupun ketersediaan jasa yang dapat lebih mendukungnya.

Perlu diketahui bahwa pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu perlu bersumber dari kesinambungan produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa harus berasal dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar saja jika selama beberapa triwulan atau satu hingga dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar.

Namun, fakta defisitnya telah berlangsung selama 8 tahun berturut-turut dengan kecenderungan nilai defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.
Bersambung ke bagian tiga