Transaksi
Berjalan (Current Account) merupakan bagian dari Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) yang mencatat tentang nilai penjualan dan pembelian barang dan
jasa dari wilayah Indonesia dengan luar negeri.
Tentang barang,
sebagaimana yang umum dipahami oleh publik. Seperti barang hasil pertambangan,
hasil pertanian, dan industri manufaktur. Dicatat dalam neraca yang disebut
sebagai Barang (Goods);
Tentang
jasa, perlu difahami berbagai cakupannya yang sangat luas. Ada jasa
transportasi, baik untuk barang maupun orang. Ada jasa perjalanan, dari
wisatawan yang datang, maupun penduduk Indonesia yang bepergian. Ditambah
berbagai transaksi lainnya yang serupa itu, dicatat dalam neraca yang disebut
Jasa-jasa (Services).
Kelompok transaksi
jasa yang kedua terkait dengan imbalan atau balas jasa dalam utang piutang dan
penanaman modal. Diantaranya adalah pembayaran bunga dan dividen. Dicatat dalam
neraca yang disebut Pendapatan Primer (Primary Income).
Ada jasa
terkait transfer personal dari pendapatan pekerja Indonesia di luar negeri,
serta sebaliknya dari pekerja asing di Indonesia. Ada pula transaksi hibah dari
atau ke negara lain, namun relatif kecil dalam kasus Indonesia. Dicatat dalam
neraca yang disebut Pendapatan Sekunder (Secondary Income).
Dengan
demikian, Transaksi Berjalan terdiri dari empat bagian yang juga merupakan
neraca sebagaimana yang disebut tadi. Analisa harusnya mencermati semuanya.
Kadang terjadi misleading, karena yang paling banyak disoroti adalah neraca
barang, ditambah sebagian jasa yang terkait dengan transaksi barang saja.
Selama
delapan tahun terakhir, masing-masing neraca berfluktuasi. Gabungan dari empat
neraca itu lah yang menghasilkan kondisi surplus atau defisitnya transaksi
berjalan pada tahun bersangkutan.
Transaksi
berjalan selama kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai
yang berfluktuasi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2011 selalu mengalami
surplus, dengan nilai yang berfluktuasi.
Sejak
tahun 2012 hingga 2019, Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Secara
nominal tercipta rekor defisit pada tahun 2018, yakni sebesar 31,06 miliar
dolar. Defisitnya hanya sedikit turun pada tahun 2019, menjadi sebesar 30,42 miliar
dolar.
Bank
Indonesia menilai kondisi terkini yang selalu defisit masih aman dan terkendali. Yang dipakai
sebagai ukuran adalah rasio defisit transaksi berjalan atas Produk Domestik
Bruto (PDB). Besaran yang disebut aman adalah defisit 3 persen dari PDB. Sedangkan
kestabilan cenderung diartikan tingkat defisit yang bertahan di kisaran 2,5
hingga 3 persen.
Bank
Indonesia bahkan mengatakan defisit neraca transaksi berjalan sebesar 2,72
persen pada tahun 2019 tetap terkendali, sehingga turut menopang ketahanan
sektor eksternal Indonesia.
Batasan
tersebut bisa dikatakan bersifat psikologis saja dan dipakai oleh Bank
Indonesia pada saat ini. Pihak lain dapat mengartikan sebaliknya dari data dan
indikator yang sama. Sebagai contoh, Boediono (2016) yang pernah menjabat
Gubernur Bank Indonesia, justru memakai ukuran batas aman sebesar 2% dari PDB.
Kondisi
defisit transaksi berjalan tersebut memang amat dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi global yang melemah disertai meningkatnya faktor ketidakpastian. Pada
saat bersamaan, Indonesia belum berhasil memperkuat ekonominya dalam hal yang
terkait transaksi internasional. Baik dalam hal produksi barang, maupun
ketersediaan jasa yang dapat lebih mendukungnya.
Perlu
diketahui bahwa pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal
adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan
adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang
menambah devisa itu perlu bersumber dari kesinambungan produksi, bukan dari
sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman
modal asing. Terjaganya kecukupan devisa harus berasal dari sumber-sumber yang
fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar saja jika selama beberapa
triwulan atau satu hingga dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari
dinamika pasar.
Namun,
fakta defisitnya telah berlangsung selama 8 tahun berturut-turut dengan
kecenderungan nilai defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan
ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.
Bersambung
ke bagian tiga