Jumat, 26 Juni 2009

Mitos Rasio utang Yang Menurun

Mitos Rasio Utang Pemerintah Yang Menurun
Oleh: Awalil Rizky

Banyak pihak khawatir atas kondisi utang pemerintah Indonesia saat ini. Terlepas dari aspek politisnya, argumen utama yang dikemukakan adalah peningkatan nominal utang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga posisi akhir Mei 2009 telah mencapai Rp 1700 triliun. Jika stok utang meningkat maka pembayaran cicilan pokok dan bunga utang pun diperkirakan akan terus bertambah di masa datang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi dengan mengetengahkan perkembangan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun secara konsisten. Rasionya pada tahun 2003 adalah 61 persen, menjadi 33 persen pada tahun 2008, dan tahun ini ditargetkan turun menjadi 32 persen (Kompas, 15 Juni 2009).
Bisa dikatakan, sebagian pihak melihat posisi utang yang terus meningkat berbahaya bagi keuangan pemerintah dan pada giliran berikutnya membebani perekonomian nasional. Pihak lainnya tidak khawatir karena pendapatan nasional, yang dicerminkan oleh PDB, meningkat secara lebih pesat.

Soal nominal utang sudah banyak dibahas media, kita perlu mengulas sedikit tentang PDB. Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun). PDB biasa dihitung pula secara triwulanan.

Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang.

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja. Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Perhatikan bahwa penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu atau tanggal tertentu. Misalnya, kekayaan suatu negara yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu akan bersifat persediaan. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar, akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Sebagaimana yang dialami Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpahnya.

Perhitungan PDB berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing. Ada konsep lain jika dipertimbangkan soal tersebut, yaitu Produk Nasional Bruto (PNB). PNB mengeluarkan dari angka PDB apa yang disebut faktor pendapatan neto terhadap luar negeri, yakni pendapatan atas faktor produksi warga negara Indonesia yang dihasilkan di luar negeri dikurangi pendapatan atas faktor produksi warga negara asing yang dihasilkan di Indonesia. Bisa ditebak bahwa PNB selalu lebih kecil dari PDB Indonesia, meskipun selisihnya tidak terlampau besar.

Sayangnya, konsep PNB juga ”menyembunyikan” sesuatu terkait dengan pengertian penduduk sebagai orang atau badan dengan persyaratan tertentu. Produksi barang dan jasa dari suatu badan usaha di Indonesia yang saham mayoritasnya dimiliki oleh asing tetap bisa dimasukkan dalam PNB.

Kembali kepada soal rasio utang, nominal PDB yang dijadikan sebagai nilai penyebut adalah nilai pasar dari barang dan jasa, yang biasa disebut PDB menurut harga berlaku. Arti rasio 33 persen adalah posisi utang sebesar Rp 1.637 triliun pada tanggal 31 Desember 2008 diprosentasikan dari PDB menurut harga berlaku selama satu tahun 2008 yang sebesar Rp 4.954 triliun.

Perlu diketahui, dalam keperluan perhitungan pertumbuhan ekonomi maka yang dipakai adalah PDB menurut harga tahun dasar tertentu. Angka sebesar Rp 4.954 triliun itu dibersihkan dahulu faktor kenaikan harganya, baru dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang diproses serupa. Alatnya adalah indeks harga yang disebut PDB deflator, yang sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi. Namun besaran dan kecenderungannya di Indonesia sering tidak berbeda jauh.

Mudah difahami, peningkatan PDB menurut harga berlaku bisa disebabkan oleh bertambahnya produksi, namun ada unsur kenaikan harga-harga di dalamnya. Meski memang terjadi peningkatan produksi, sumbangan inflasi terhitung besar. Perlu diingat bahwa pada tahun 2005 inflasi IHK adalah 17,11% dan tahun 2008 adalah 11,10%.

Persoalan teknis lain adalah besaran persediaan (stock) utang per tanggal 31 Desember 2008 dibandingkan dengan besaran arus (flow) produksi selama satu tahun. Penggunaan teknik keuangan menjadi dimungkinkan untuk memperkecil stock pada tanggal tersebut, namun beberapa bulan berikutnya langsung membesar lagi.

Di atas sudah pula diingatkan, konsep PDB yang berdasar wilayah geografis, ataupun konsep PNB, bersifat kurang mencerminkan pendapatan riil rakyat Indonesia. Pendapatan pemerintah sendiri memang tidak begitu terpengaruh oleh konsep ini dan masih berpotensi meningkat. Namun isyu ketergantungan kepada pelaku asing menjadi relevan dipertimbangkan.

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebenarnya tidak cukup bemakna untuk menjadi ukuran baik buruknya kondisi utang. Ibu Sri Mulyani tidak perlu pula bingung mengapa rating agency internasional tetap saja menilai Indonesia lebih rendah daripada negara yang rasio utangnya 217% seperti Jepang, karena memang tidak relevan.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email brightindo@gmail.com dan website http://www.brightindonesia.com/