Senin, 13 Juli 2009

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah
Oleh: Awalil Rizky

Sebagaimana dokumen resmi sebelumnya, publikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara berjudul ”Perkembangan Utang Negara” edisi Juni 2009, menyebut tujuan umum pengelolaan utang dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali. Kebijakan yang digariskan antara lain: Tidak ada agenda politik yang dipersyaratkan oleh pihak kreditor; Persyaratan lunak (jangka panjang, biaya relatif ringan); Tambahan neto pinjaman luar negeri dianggarkan negatif sejak 2004, artinya jumlah pembayaran kembali utang dianggarkan lebih besar dibanding dengan jumlah penarikan pinjaman luar negeri baru; dan Mengutamakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) rupiah di pasar dalam negeri.

Salah satu yang perlu dicermati adalah penggunaan istilah pinjaman dengan utang luar negeri dari Pemerintah. Ada tumpang tindih definisi yang berakibat perbedaan data statistik secara signifikan. Dokumen yang disebut tadi merujuk kepada istilah pinjaman (loan) yang antara lain terdiri dari: pinjaman program, pinjaman proyek dan pinjaman komersial. Sedangkan istilah utang luar negeri menambahkannya lagi dengan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing (valas).

Data resmi dari Pemerintah menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2004-2008, pinjaman memang sedikit turun, dari USD 68,59 miliar menjadi USD 66,69 miliar. Akan tetapi, utang naik dari USD 69,59 miliar menjadi USD 77,89 miliar.

Sayangnya, penggunaan istilah pinjaman dan utang tidak selalu konsisten, sehingga bisa mengaburkan opini publik. Sebagai contoh, dalam pidato Presiden SBY mengantarkan RAPBN 2009 dikatakan bahwa: “Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.”

Angka yang disebut Presiden adalah data pinjaman luar negeri, tetapi beliau menggunakan istilah utang luar negeri. Ini berbeda dengan pengertian dalam dokumen yang disebut terdahulu.
APBN sendiri mencatat penarikan beserta pembayaran pinjaman luar negeri pada bagian pembiayaan, dengan item tersendiri. Penerbitan SBN valas dimasukkan dalam pembiayaan dalam negeri, pada pos surat utang negara (neto) bersama-sama dengan yang berdenominasi rupiah. Sedangkan pos belanja pembayaran bunga utang luar negeri tetap menggabungkan bunga pinjaman dengan bunga SBN valuta asing.

Secara yuridis, Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Dengan demikian, definisi ULN pemerintah memang bermacam-macam dan angkanya pun berbeda secara signifikan. Sebagai contoh, kita lihat beberapa definisi yang bisa dipakai. Pertama diartikan sebagai pinjaman luar negeri (loan) yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominalnya selama era Pemerintahan SBY memang sempat menurun (2004-2006), kemudian perlahan menaik kembali. Perkembangan ULN pemerintah versi ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 66,69 miliar (2008).

Kedua, jika ULN Pemerintah diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka SBN berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Dalam versi ini, kecenderungannya adalah terus menaik. Posisinya adalah : USD66,76 miliar (2005), USD67,52 miliar (2006), USD69,25 miliar (2007), dan USD77,89 miliar (2008).

Ketiga, meski tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa diperluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SBN berdenimnasi rupiah yang dimiliki pihak asing (non residen) harus dimasukkan dalam perhitungan. Data sebelumnya adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), Rp 78,16 triliun (2007), dan Rp 87,61 triliun (2008). Untuk posisi akhir 2008, jika dikonversikan menurut kurs tengah BI, nilainya adalah USD 8 miliar, sehingga posisi ULN versi ini adalah USD 85,89 miliar.

Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar SBN berdenominasi rupiah yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Pada Desember 2008, SBN denominasi rupiah senilai Rp 525,69 triliun antara lain dimiliki oleh bank (49,22%), asuransi (10,62%), dan reksadana (10,62%). Berbagai lembaga tersebut kebanyakan memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar dan bahkan menjadi mayoritas seperti di banyak bank. Wajar jika pihak yang kritis menganggap sumber dananya pun banyak yang berasal dari luar negeri, dan pembayaran atas bunga juga dinikmati oleh mereka.

Dengan demikian, penetapan target ULN pemerintah membutuhkan ketegasan dan konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai oleh publik. Kecuali memakai dalam arti loan, data perkembangan ULN pemerintah selama kurun 2004-2009 menunjukkan peningkatan yang cukup besar.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
website www.brightindonesia.com