Selasa, 08 Desember 2009

Jurnalis Perlu lebih Mengerti tentang Indikator ekonomi

Jurnalis Perlu lebih Mengerti tentang Indikator ekonomi
Istilah dan angka ekonomi kerap mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Masyarakat pun terbiasa disodori ulasan tentang kondisi perekonomian. Sebagai contoh, pada bulan Agustus hingga Oktober 2008 banyak diberitakan mengenai Pemerintah yang mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen pada tahun 2009. Ketika target dikemukakan, tidak banyak ulasan para ekonom yang membantah besarannya secara berarti, sehingga estimasi angka di kisaran 6 persen menjadi semacam konsensus. Sejauh yang dikutip media, kebanyakan opini lebih mengkritisi soal kualitas pertumbuhan ekonomi yang perlu diperbaiki.

Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia yang memburuk secara cukup dramatis, mulai pertengahan Nopember 2008, angka konsensus itu banyak dipertanyakan. Banyak ekonom dan lembaga yang mengajukan angka baru dengan berbagai ulasannya. Pemerintah sendiri secara resmi bersama DPR telah menyepakati angka 6,0 persen dalam Undang-Undang APBN 2009 yang disahkan tanggal 10 nopember 2008. Akan tetapi, pada waktu yang hampir bersamaan, Menteri Keuangan sudah menyinggung angka 5 persen yang menurutnya lebih realistis. Kemudian, pada jumpa pers akhir tahun, Presiden menyatakan angka pertumbuhan ekonomi yang mungkin bisa dicapai pada tahun 2009 adalah 4,5 persen. Menurut Presiden dan Menteri Keuangan, untuk mencapai angka tersebut pun diperlukan kerja keras semua pihak. Gubernur Bank Indonesia bahkan telah menyebut angka kisaran 4,0%. Secara legal formal, Pemerintah mengajukan perubahan target pertumbuhan ekonomi versi APBN kepada DPR, yang lalu disepakati sebesar 4,5 persen pada tanggal 24 Februari 2009. Belakangan, angkanya disesuaikan menjadi 4,3 persen dalam RAPBN-P 2009 yang disampaikan awal Agustus 2009 lalu, dan disepakati DPR sebulan kemudian..

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sejak awal terlihat lebih konservatif dan cenderung realistis dalam memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009. Bank Indonesia meski sempat pula memproyeksikan angka 6 persen pada pertengahan tahun 2008, secara lebih cepat merevisinya dari waktu ke waktu. Pada awal tahun 2009, Bank Indonesia mengeluarkan prakiraan resmi di kisaran 4,0-5,0 persen. Pada pertengahan tahun, prakiraan diturunkan kembali menjadi 3,5-4,0 persen. Belakangan, pada bulan Okrober, Bank Indonesia kembali menjadi lebih optimis dan mengeluarkan prediksi sebesar 4,0-4,5 persen.

Perubahan target pertumbuhan ekonomi oleh otoritas ekonomi Indonesia biasanya memang lebih lambat daripada proyeksi yang dilakukan oleh lembaga riset atau lembaga keuangan. Bank Dunia pada bulan Desember 2008 mengeluarkan angka proyeksi 4,4%, sama dengan prediksi BRIGHT Indonesia, suatu lembaga think tank ekonomi, setengah bulan sebelumnya. Sejak akhir Januari hingga Februari, para ekonom pun umumnya menyebut angka 5% sebagai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mungkin dicapai.

Media cetak dan media elektronik pada umumnya memberitakan target dan perubahan target pertumbuhan ekonomi nasional oleh otoritas ekonomi, serta kerap mengemukakan prediksi pihak lainnya. Lazimnya, tema target dan estimasi semacam itu banyak diulas pada akhir tahun, bersesuaian dengan banyaknya acara ataupun pers release terkait. Khusus untuk tema angka pertumbuhan ekonomi 2009, pemberitaannya berlanjut dari akhir tahun 2008 hingga akhir Februari 2009, karena begitu cepat dan signifikannya perubahan prediksi oleh pihak yang sama.

Perlu dicatat, pemberitaan media tentang estimasi kerap lebih dominan dibanding dengan realisasinya. Ulasan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 yang telah berlalu jauh lebih sedikit dibandingkan prediksi untuk tahun 2009. Demikian pula nantinya setahun kemudian, untuk estimasi pertumbuhan ekonomi 2010 dibandingkan yang telah terjadi pada tahun 2009.
Selain pertumbuhan ekonomi, ada banyak soal ekonomi yang secara rutin diberitakan media, terutama sekali yang mengandung aspek kuantitatif yang bisa diperbandingkan antar kurun waktu. Diantaranya adalah: nilai tukar rupiah, penyusunan dan pelaksanaan Anggaran pendapatan dan Belanja negara (APBN), utang pemerintah, subsidi, angka pengangguran, angka kemiskinan, BI-rate, kredit perbankan, inflasi, transaksi berjalan, ekspor-impor, cadangan devisa, dan indeks harga saham.

Sumber berita utamanya adalah pengumuman atau pernyataan otoritas ekonomi, yaitu Pemerintah dan Bank Indonesia. Menteri atau pejabat departemen di pemerintahan yang kerap mengeluarkan data atau pernyataan ekonomi adalah departemen keuangan dan departemen perindustrian dan perdagangan. Lembaga di pemerintahan yang paling banyak mempublikasikan data ekonomi secara periodik adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan Bank Indonesia yang memiliki status sebagai otoritas moneter dan otoritas perbankan menjadi sumber berita bagi data-data terkait.

Selain berisi pernyataan atau pengumuman pihak berwenang, berita media sering dilengkapi dengan komentar dari berbagai pihak. Komentar diminta oleh jurnalis dari para pengamat yang dianggap kompeten atau para praktisi bisnis dan keuangan yang terkait erat dengan topik bersangkutan. Ada yang sekadar menjadi bagian laporan pemberitaan dengan dikutip secukupnya. Ada yang justeru menjadi judul berita ataupun menjadi lead berita tersebut. Kadang ada pandangan yang disajikan sebagai tulisan tersendiri, berupa opini atau kolom di media cetak. Soal yang banyak ditulis media cetak, sering menarik bagi media elektronik untuk dijadikan talkshow, dengan jenis narasumber serupa.

Ragam berita dengan topik ekonomi yang lebih banyak adalah yang berkenaan dengan keadaan dunia usaha atau bisnis. Ulasannya pun dilengkapi dengan istilah dan angka ekonomi. Ada angka-angka yang bersumber dari publikasi rutin suatu lembaga, perhitungan suatu perusahaan, rekaan asosiasi atau kelompok usaha, dan ada dari hasil survey insidental. Telah lazim jika media cetak menampilkan banyak visualisasi dari angka-angka ekonomi berupa tabel, grafik dan diagram. Banyak koran nasional, seperti Kompas, Media Indonesia dan Tempo, yang menyediakan halaman tersendiri untuk informasi data bisnis yang bersifat kuantitatif. Beberapa koran memang mengklaim diri sebagai media khusus untuk masalah ekonomi dan bisnis, seperti: Bisnis Indonesia, Kontan, Neraca, dan Investor Daily. Sementara itu, berbagai stasiun televisi memiliki acara khusus bertopik ekonomi dan bisnis, serta dilengkapi dengan visualisasi grafis dan running text yang bersifat teknis ekonomis.

Informasi media-media tersebut mencakup istilah dan angka ekonomi sebagaimana telah disinggung di atas, yang sebagian besarnya nanti kita kenal sebagai indikator makroekonomi. Meliputi pula yang bersifat lebih khusus dan sangat teknis, yang nanti akan kita kenal sebagai indikator mikroekonomi. Ada info tentang nilai tukar rupiah terhadap berbagai mata uang asing. Ada info tentang harga saham secara umum, biasa disebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dilengkapi dengan angka-angka lainnya untuk berbagai kelompok saham dan saham perusahaan tertentu secara individual. Ada info tentang suku bunga Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) dan BI-rate, serta suku bunga perbankan untuk berbagai tenor dari beberapa Bank Umum. Ada info harga-harga komoditas penting. Sebagiannya disajikan untuk menggambarkan keadaan kurun waktu tertentu (time series), meskipun dengan liputan berjangka pendek.

Ada pula tema berita yang lebih khusus yang lebih tampak sebagai masalah sosial politik, namun sebenarnya sangat terkait dengan indikator ekonomi. Seperti: soal demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah, soal ganti rugi pembebasan tanah, soal pungutan yang dikeluhkan pengusaha, dan lain sebagainya.
Bisa disimpulkan bahwa masyarakat luas mudah memperoleh informasi atau fakta ekonomi dan bisnis mutakhir. Info tersebut seringkali dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang bergaya populer atau tidak bersifat teknis akademis. Penjelasan kadang dimuat berupa tulisan opini para ahli atau pengamat, namun lebih sering terlihat dalam ulasan berita para jurnalis. Tulisan para jurnalis itu sendiri pada umumnya merangkum berbagai komentar orang yang dianggap kompeten, seperti : para ahli, pejabat terkait, atau pelaku ekonomi dan bisnis. Sedangkan media televisi cenderung menampilkan perdebatan berupa talk show, yang bermaksud memperjelas permasalahannya.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan edisi online selain versi cetak ( juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online). Bisa kita cermati pula pada telepon pemirsa media elektronik pada acara yang bersifat interaktif untuk topik terkait.

Dalam berbagai headline news yang dicontohkan tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah:
1. Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi, Pro­duk Domestik Bruto, transaksi berjalan, pasar, ca­dangan devisa, indeks harga saham gabungan dan sebagainya. Bahkan untuk istilah yang artinya sudah diketahui, belum tentu pengetahuan mereka cukup memadai mengenai seluk beluknya, sehingga sangat mungkin ada bias pengertian.
2. Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena sebagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan dipublikasikan secara rutin. Jika dicermati, kadang ada angka yang berbeda untuk hal yang sama, sehingga bisa membuat bingung. Wajar jika banyak orang memiliki pertanyaan berikut : Bagaimana angka-angka tersebut didapat? Jika perlu dihitung, dengan cara apa di­lakukannya, dan dihitung oleh siapa? Seberapa jauh peng­hitungan dapat dipercaya atau kredibel, baik dari aspek keahlian (kompetensi) maupun aspek independensi atas kepentingan (interest)? Pasti terlintas fikiran dari masyarakat awam yang cukup kritis, apa arti sebenarnya dari angka-angka tersebut dalam menggambarkan perekonomian? Mereka yang lebih kri­tis, akan memberi pertanyaan lanjutan: adakah hubungan antar istilah dan antar angka?. Jika ada, bagaimana pola hubungannya?.
3. Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang di­­katakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.

Kebingungan masyarakat sering diperparah oleh komentar dan penjelasan dari para ahli di berbagai media. Sebagiannya karena ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai topik-topik ekonomi tertentu. Sebagiannya lagi karena memang ada kekeliruan (berkaitan dengan pengertian yang sebenarnya sudah baku dan umum diterima). Ada yang memang merupakan kesalahan dari ekonom, baik dalam pernyataan yang dikutip maupun tulisan mereka sendiri. Ada juga karena soal kemampuan jurnalis atau keterbatasan teknis media dalam pemuatan (kutipannya).

Ringkasan makalahku yang disampaikan dalam Workshop Jurnalisme kritis di Universitas Atmajaya, Jogjakarta, 28 Nopember 2009.