Berbagai dokumen resmi pemerintah terkait kemiskinan telah mengakui bahwa permasalahan kemiskinan harus dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Dikatakan pula bahwa permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari pendapat atau persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat miskin itu sendiri, selain dengan data statistik dari banyak variabel. Kemiskinan di Indonesia pun kerap dikatakan sebagai bersifat multidimensi. Pengakuan yang demikian umumnya terdapat pada bagian awal dari masing-masing dokumen yang memuat dasar pemikiran, latar belakang masalah, serta tujuan-tujuan pokok kebijakan atau program.
Dokumen tersebut sudah menyebutkan kemiskinan di Indonesia mencakup antara lain hal-hal berikut: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan); tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi); tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam; tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; serta ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Sayangnya, hampir semua program pemerintah masih mendasarkan diri pada pengertian kemiskinan konsumsi dalam kerangka kerja maupun target-target yang diupayakan untuk dicapai. Sebagian disebabkan soal teknis berupa ketidakberhasilan penjabaran konsep kemiskinan yang multidimensi yang sudah diakui tadi. Sebagiannya lagi karena dominasi konsep pembangunan dan pengelolaan ekonomi yang dijalankan, yang memang menempatkan soal kemiskinan sekadar bagian dari dampak buruk yang harus ditangani.
Pemerintah pada hakikatnya tetap saja memakai atau mengutamakan definisi dan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan utama kebijakan. Pemerintahan SBY periode pertama pun mengklaim cukup berhasil menangani masalah kemiskinan. Buktinya, berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.
Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, kerap dianggap mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. PDB per kapita Indonesia selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi, pada tahun 2008 naik 23,56 persen dibanding tahun 2007 (lihat tabel 8). Patut dicermati bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita ini jauh lebih tinggi daripada kenaikan garis kemiskinan. Sebagai contoh, laju pertumbuhan PDB per kapita 2008 (terhadap 2007) dibandingkan dengan kenaikan garis kemiskinan Maret 2008-Maret 2009. Perbedaan diantara keduanya cukup signifikan, dan cenderung demikian setiap tahun.
Jika pertumbuhan PDB per kapita sedemikian tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka secara teoritis akan terjadi pengurangan jumlah penduduk secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata-rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata-rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data (dalam makalah lengkap) tidak mendukung penalaran semacam ini. Tidak terlihat adanya pola hubungan yang kuat.
Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.
Masih terkait dengan itu adalah hubungan antara penurunan jumlah penduduk miskin dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan PDB riil suatu tahun terhadap tahun sebelumnya. PDB riil diartikan PDB yang telah dibersihkan dari komponen kenaikan harga-harga (inflasi). Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi.
Penjelasan dan penalaran ilmiah tentang hal tersebut memang sangat masuk akal. Akan tetapi untuk periode 2005-2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat. Kadang, pada saat pertumbuhan ekonomi tetap terjadi meskipun dalam laju yang moderat, jumlah penduduk miskin justeru bertambah. Dilain waktu, laju pertumbuhan ekonomi yang sedikit melambat seperti pada tahun lalu justeru mampu mengurangi lebih banyak penduduk miskin.
Penjelasannya mungkin harus diteliti pada sektor dan subsektor apa saja yang tumbuh lebih cepat dan seberapa kaitannya dengan pendapatan kaum miskin. Wajar pula jika banyak pihak menduga penurunan jumlah dan angka kemiskinan selama dua tahun terakhir lebih karena kebijakan populis program kemiskinan secara langsung daripada akibat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, banyak disebut soal kontribusi besar dari relatif rendahnya kenaikan harga-harga, khususnya yang terkait langsung dengan garis kemiskinan.
Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan.
Seperti yang disebut di atas, perhatian utama pemerintah adalah menurunkan angka kemiskinan. Secara penalaran, bagaimana jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi semakin sedikit, setidaknya secara prosentase. Oleh karena garis kemiskinan diukur dari pengeluaran penduduk, maka tidak selalu berarti perlu peningkatan pendapatan secara signifikan dan sustainabel (berkelanjutan) untuk mencapainya.
Bisa pula ”disiasati” secara teknis, karena BPS hanya menghitung kemiskinan untuk kondisi bulan Maret setiap tahunnya (dipublikasikan pada bulan Juli). Bagaimana cara, agar pada bulan itu, harga-harga (khususnya yang menjadi paket komoditi garis kemiskinan) relatif rendah. Diupayakan pula agar pada waktu itu, penduduk miskin dan nyaris miskin memiliki ”daya beli”. Bukanlah suatu kebetulan jika pada waktu-waktu itu berbagai bantuan dan atau program Pemerintah sedang ”berjalan baik”.
Terlepas dari siasat untuk bulan Maret, maka secara umum strategi dasarnya adalah mengendalikan harga beberapa komoditas utama yang menyumbang besar pada garis kemiskinan, seperti beras. Pada saat bersamaan, daya beli masyarakat (miskin dan nyaris miskin) diupayakan untuk bisa sedikit meningkat atau minimal tidak merosot atas kelompok komoditas tadi.
Rangkaian kebijakan fiskal, moneter dan perbankan dipakai untuk menopangnya. Ada soal jumlah uang beredar, ketersediaan kredit mikro sampai jumlah tertentu, pengendalian harga komoditas tertentu, bantuan langsung tunai, dan lain sebagainya.
Kita tidak bisa berharap akan adanya kebijakan dan program yang dirancang untuk peningkatan pendapatan penduduk miskin secara berkesinambungan. Orientasi dasarnya bukan meningkatkan kesejahteraan, melainkan sekadar diusahakan agar berada di atas garis kemiskinan. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar penduduk sebenarnya bergerombol di sekitar garis saja. Mereka dengan mudah untuk turun kelas, sekaligus bisa dinaikkan lagi jika perlu.
Konsep (termasuk definisi) tentang kemiskinan yang dipakai pemerintah yang demikian juga menentukan asumsi yang dipakai serta penalaran atas dampak positif dari program. Sebagai contoh, adalah mengenai ”logika bantuan tidak langsung” dari program semacam PPK, P2KP, dan PNPM Mandiri. Disebutkan bahwa tujuan PPK dicapai dengan meningkatkan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dalam menyelenggarakan pembangunan desa atau antar desa; pengadaan sarana dan prasarana dasar perdesaan yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya masyarakat miskin, paling prioritas dan mendesak; serta kegiatan sosial dan ekonomi sesuai kebutuhan masyarakat. P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya. Serupa pula dengan klaim bahwa PNPM-Mandiri adalah program nasional yang berisikan berbagai kebijakan pengharmonisasian pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk produktif dan mandiri serta mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Sepintas tidak ada yang salah dari logika tidak langsung yang berbungkus kata sakti “pemberdayaan” tadi. Masalahnya yang terjadi kemudian, sebagian besar program lebih mungkin dinikmati lapisan masyarakat hampir miskin dan tidak miskin. Penilaian bahwa sarana dan prasarana tertentu akan memudahkan akses ke sumber produktif bias asumsi mengenai apa yang masih dimiliki kaum miskin saat ini. Apalagi soal dana bergulir, yang secara terang-terangan menganggap kaum miskin seluruhnya adalah para pedagang.
Logika semacam itu dipertahankan dan secara eksplisit dinyatakan oleh Gustav F. Papanek, ekonom ahli tentang Indonesia dan seorang konsultan Bank Dunia, yang didatangkan untuk “menghitung” prosepek PNPM Mandiri. Dikatakannya bahwa Manfaat-manfaat besar PNPM akibat kegiatan ekonomi yang lebih besar yang ditimbulkannya, bukan karena jumlah orang yang dapat langsung diberinya pekerjaan. Dampak pada peluang kerja: 24 juta orang mendapat pekerjaan. Berbagai manfaat PNPM adalah akibat dari meningkatnya kegiatan ekonomi, bukan akibat peluang kerja yang langsung terbuka. Dampaknya besar bagi orang miskin, dimana 16 juta orang miskin mendapat manfaat. Dijelaskan bahwa pada 2009, sekitar 60% dari manfaat PNPM bersifat tidak langsung: kegiatan ekonomi yang meningkat. Manfaat tidak langsung akibat: a. “Multiplier” pendapatan– pendapatan tambahan yang tercipta di desa karena orang yang bekerja di bawah PNPM menggunakan uangnya untuk membeli makanan, barang dan jasa yang lain. b. Dampak yang lebih besar berasal dari investasi dalam perbaikan infrastruktur, yang memungkinkan pengangkutan barang bernilai tinggi dengan biaya rendah. Proyek-proyek pedesaan diperkirakan akan menghasilkan rate of return, penghasilan tahunan sebagai persentase biaya investasi, sebesar 50%, yang akan terus dapat diperoleh dengan perawatan; ini sangat besar.
Ditambahkannya bahwa ada manfaat tidak langsung yang lain, yang tidak dapat diukur dari sisi peluang kerja yang terbuka dan penghasilan yang meningkat: a. PNPM dapat dijadikan mekanisme Jaring Pengaman Sosial atau Asuransi Sosial. b. PNPM membantu mencegah tingkat upah bagi semua, bahkan juga bagi orang yang tidak terlibat dalam kegiatan PNPM, turun ke tingkat yang rendah di luar musim sibuk.
Logika serupa dipakai pada semua program yang menawarkan dana bergulir atau kredit murah, yang berasumsi akan bisa dimanfaatkan oleh rumah tangga miskin untuk menjadi modal produktif. Sebagai contoh adalah Program PDMDKE dan P2KP yang diragukan banyak pihak sebagai telah membawa perubahan terhadap kehidupan penduduk miskin. Hampir tidak pernah ada laporan mengenai figur masyarakat atau penduduk miskin yang berhasil berkat bantuan kredit mikro dari P2KP.
Sementara itu, dari berbagai penelitian terungkap bahwa sebagian cukup besar orang miskin memiliki kondisi yang berbeda selama kurun waktu beberapa tahun sebelumnya. Ditemukan antara 30 sampai dengan 40 persen (dalam beberapa penelitian untuk kurun waktu berbeda) dari mereka, sebelumnya tidak berposisi sebagai orang miskin. Ada fakta, mereka mengalami proses pemiskinan dalam kurun waktu tertentu.
Sebagian pemiskinan bisa dijelaskan oleh faktor-faktor internal orang miskin, seperti: soal pendidikan, ketiadaan barang modal atau sarana produksi, dan soal etos kerja. Namun, sebagian besar fakta justeru lebih bisa dijelaskan oleh adanya kekuatan-kekuatan eksternal dari kaum miskin. Bahkan, analisis mendalam menghasilkan kesimpulan adanya pengaruh variabel eksternal yang sangat signifikan kepada faktor internal, setelah kurun waktu tertentu.
Variabel eksternal yang paling banyak mendapat sorotan adalah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Diantaranya adalah kebijakan moneter, kebijakan perbankan, kebijakan fiskal dan kebijakan investasi. Segala kebijakan ekonomi secara eksplisit dikatakan lebih mendasarkan diri kepada mekanisme pasar. Kata kuncinya adalah upaya peningkatan investasi, yang dalam prakteknya terpaksa harus berpihak kepada penanaman modal besar (terutama modal asing) ataupun sektor korporasi. Selama ini harapan ditujukan kepada mereka agar membuka pekerjaan bagi seluruh rakyat, dan dengan produksi massalnya maka harga barang-barang akan menjadi murah.
Oleh karena yang kemudian terjadi adalah pengangguran masih sangat tinggi (karena yang dikembangkan adalah industri padat modal), dan harga-harga sebenarnya tetap tinggi (karena surplus ekonomi secara rakus lebih dinikmati oleh mereka sendiri). Dikembangkan kebijakan lain untuk sedikit ”memperbaiki”nya. Secara teknis, dengan berbagai program maka angka pengangguran terbuka (dengan definisi yang sangat longgar) bisa ditekan, dan inflasi pun tetap bisa dikendalikan. Dengan kebijakan demikian, kemiskinan tidak bisa dan memang tidak sungguh-sungguh akan dientaskan dari Indonesia.
Jakarta, 5 Desember 2009
Ringkasan Makalah untuk Pertemuan Akhir Tahun UPC, 5 Desember 2009 di Jakarta