Minggu, 16 Agustus 2009

TURUNNYA ANGKA KEMISKINAN 2009

PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN SAJA TIDAK CUKUP
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula untuk masing-masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili.

Selama periode Maret 2008-Maret 2009, GK naik sebesar 9,65 persen. Kecenderungan GK untuk naik secara signifikan juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga-harga (inflasi).

Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga-harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata-rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu.

Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini kerap dianggap mencerminkan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata-rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata-rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data tahun 2005-2009 tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini.

Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.

Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi. Akan tetapi untuk periode 2005-2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat.
Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil diturunkan selama era Pemerintahan SBY-JK. Kelompok penduduk termiskin secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang memperlihatkan hasil yang cukup memadai.

Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan. Artinya, perlu diupayakan perbaikan secara lebih signifikan terhadap soal kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Aspek kedalaman dan keparahan itu sendiri tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan.

Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang perlu ditangani secara lebih serius. Sebagai contoh, pada periode Maret 2008-2009, ketika jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin secara nasional menurun. Ada tiga provinsi yang justeru mengalami kenaikan, yaitu: Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Selain itu, beberapa propinsi memiliki angka (persentase) kemiskinan yang jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 14,15%. Selain ketiga propinsi tadi, adalah : Nangroe Aceh Darusalam, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Kedelapan propinsi itu memiliki angka kemiskinan yang lebih dari 20 persen. Bahkan, Papua mencapai 37,53 persen dan Papua Barat mencapai 35,71 persen. Sementara itu, hanya terdapat 3,62 persen penduduk miskin di DKI Jakarta.

Ketimpangan juga tidak cukup dilihat dari angka-angka, yang sekadar mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan.

Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada, fokus kebijakan berikut mustinya adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor-sektor yang terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin, semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.