Peringatan hari proklamasi kemerdekaan yang baru lalu memaksa saya merenungkan kembali maknanya yang paling asasi. Sumber otoritatif yang bisa dijadikan rujukan adalah pandangan para pejuang dahulu, khususnya yang berasal dari para founding father negeri ini. Akan bisa dilihat bahwa arti kemerdekaan diyakini mereka sebagai syarat bagi terwujudnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Kebebasan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat dianggap berjalan seiring dengan upaya peningkatan kesejahteraan atau kemakmuran seluruh rakyat. Dalam bahasa sedikit matematis, saya menyederhanakan pandangan itu ke dalam duo variabel, yakni berdaulat dan makmur.
Jika ada dua variabel yang diperhatikan, maka secara logis akan ada empat kemungkinan yang muncul. Kemungkinan pertama adalah bangsa Indonesia akan berdaulat dan makmur, sebagaimana diharapkan tadi.
Secara hipotetis, tokoh besar semacam Hatta menyadari bahwa kemungkinan kedua bisa saja terjadi. Dengan menyatakan diri sebagai bangsa merdeka, yang berarti berdaulat, tetap ada peluang untuk tidak menjadi makmur. Tatkala masih di era kolonial, beliau pun telah digertak dengan prospek yang demikian oleh mereka yang tidak setuju kemerdekaan. Diimajinasikan oleh mereka mengenai akan tidak mampunya rakyat Indonesia mengurus diri sendiri, mengingat luasnya keragaman dan perbedaan, serta “tidak berpengalaman” dalam hal itu. Namun dengan tegas beliau bersikap bahwa sekalipun belum bisa, ataupun sulit mencapai kemakmuran bagi rakyat, kemerdekaan akan tetap diperjuangkan demi martabat sebagai sebuah bangsa. Saya menyebut kondisinya sebagai berdaulat namun tidak makmur.
Yang amat menarik sekaligus menyedihkan saya adalah sikap umum pemerintahan saat ini. Mereka memilih mengupayakan terwujudnya kemungkinan ketiga. Bangsa Indonesia tidak perlu bersikeras menentukan nasibnya sendiri. Tidak lah mengapa jika sumber daya alam dikelola oleh pihak asing; sebagian besar bank dimiliki asing; petani kita hanya menjadi buruh di perkebunan besar asing; hotel, mal, dan properti megah lainnya dikuasai oleh mereka yang bukan penduduk Indonesia. Asal dengan demikian bisa dicapai perkembangan ekonomi yang tinggi, yang diyakini mampu membawa kemakmuran rakyat secara otomatis. Resep kebijakan ekonomi yang bersumber dari kapitalisme neoliberal menjadi dasar bagi pandangan demikian. Saya menyebut kondisi yang diharapkan oleh mereka sebagai tidak berdaulat namun makmur.
Sayangnya, sejauh ini yang dirasakan adalah kemungkinan keempat. Segala konsep dan praktik neoliberalisme terbukti tidak mampu mengangkat secara berarti kondisi perekonomian yang telah terpuruk. Kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan tampak amat jauh dari kondisi yang disebut makmur. Sementara itu, skenario penyerahan nasib (ekonomi) kepada kekuatan pasar telah nyata-nyata terjadi. Saya menilai fakta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu dekade ini sebagai tidak berdaulat dan tidak makmur.
Sudah saatnya kita kembali bersikap seperti para pejuang kemerdekaan dahulu. Kita harus berupaya keras agar bangsa Indonesia berdaulat dan seluruh rakyatnya menjadi makmur.