Selasa, 19 Agustus 2008

Buku Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia


NEOLIBERALISME
MENCENGKERAM INDONESIA
(Bab I buku saya dan Nasyith Majidi)

Judul buku : Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia
Penulis : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
Penerbit : E Publishing, Jakarta, 2008



Ada dua fenomena yang saling bertolak belakang berkenaan dengan pemahaman publik atas apa yang sebenarnya telah dan tengah berlangsung dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, istilah dan angka ekonomi cenderung mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Ada berita atau ulasan me-ngenai kondisi perekonomian, yang dahulunya hanya dikenal mereka yang bergelut dalam wacana ilmu ekonomi, seperti : laju per-tumbuhan ekonomi, kondisi APBN, perkembangan transaksi ber-jalan dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Masyarakat luas akhirnya men-jadi terbiasa disodori perbincangan mengenai hal-hal tersebut.

Sebagai contoh, pada awal tahun 2008, kebanyakan media me-muat berita berikut ini: pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6,8 persen pada tahun 2008; Volume APBN 2008 yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR adalah Rp 854,66 triliun; Harga minyak dunia yang membumbung tinggi memaksa pemerintah mengajukan revisi APBN 2008; Bank Indonesia me-ngumumkan BI-rate sebesar 8 persen pada Januari 2008; Bank Indonesia juga menyatakan bahwa cadangan devisa mencapai lebih dari US$56,9 miliar per 1 Januari 2008; Badan Pusat Statistik me-ngumumkan tingkat inflasi pada bulan Januari 2008 sebesar 1,77 %; dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus angka 2800 pada awal bulan Januari 2008.

Ada lebih banyak lagi berita atau ulasan mengenai soal ekonomi yang langsung terkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat atau berkenaan dengan keadaan dunia usaha (bisnis). Perbincangan mengenai hal-hal yang biasa disebut dengan soal mikroekonomi (dalam wacana teori ekonomi) itu sering dilengkapi dengan angka-angka statistik. Baik angka yang bersumber dari publikasi rutin suatu lembaga, maupun dari hasil survey insidental. Telah lazim jika media massa menampilkan banyak tabel, grafik dan diagram, yang kerap memiliki halaman tersendiri (acara khusus bagi media elektronik). Bahkan, media khusus untuk masalah ekonomi dan bisnis semakin bermunculan, serta memiliki tiras yang cenderung meningkat.

Bisa disimpulkan bahwa masyarakat luas mudah memperoleh informasi atau fakta ekonomi dan bisnis pada saat ini. Info tersebut seringkali dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang bergaya populer atau tidak bersifat terlampau akademis. Penjelasan kadang-kadang dimuat berupa tulisan (kolom) oleh para ahli (pengamat), namun lebih sering terlihat dalam ulasan berita para jurnalis. Tulisan para jurnalis itu pada umumnya merangkum berbagai komentar orang yang dianggap kompeten (ahli, pejabat terkait, atau pelaku ekonomi). Sedangkan media elektronik cenderung menampilkan perdebatan berupa talk show, yang bermaksud memperjelas per-masalahannya.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya ber-kebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah me-nyediakan edisi online selain versi cetak ( juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online). Bisa kita cermati pula pada telepon pemirsa media elektronik pada acara yang bersifat interaktif untuk topik terkait.
Dalam berbagai headline news yang dicontohkan tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah:
Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto, transaksi berjalan, pasar, cadangan devisa, indeks harga saham gabungan dan sebagainya. Bahkan untuk istilah yang artinya sudah diketahui, belum tentu pengetahuan mereka cukup memadai mengenai seluk beluknya, sehingga sangat mungkin ada bias pengertian.

Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena se-bagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan di-publikasikan secara rutin. Jika dicermati, kadang ada angka yang berbeda untuk hal yang sama, sehingga bisa membuat bingung. Wajar jika banyak orang memiliki pertanyaan berikut : Bagaimana angka-angka tersebut didapat? Jika perlu dihitung, dengan cara apa dilakukannya, dan dihitung oleh siapa? Seberapa jauh peng-hitungan dapat dipercaya atau kredibel, baik dari aspek keahlian (kompetensi) maupun aspek independensi atas kepentingan (interest)? Pasti terlintas fikiran dari masyarakat awam yang cukup kritis, apa arti sebenarnya dari angka-angka tersebut dalam menggambarkan perekonomian? Mereka yang lebih kritis, akan memberi pertanyaan lanjutan: adakah hubungan antar istilah dan antar angka?. Jika ada, bagaimana pola hubungannya?
Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang dikatakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.
Kebingungan masyarakat sering diperparah oleh komentar dan penjelasan dari para ahli di berbagai media. Sebagiannya karena ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai topik-topik ekonomi tertentu. Sebagiannya lagi karena memang ada kekeliruan (berkaitan dengan pengertian yang sebenarnya sudah baku dan umum di-terima). Ada yang memang merupakan kesalahan dari ekonom, baik dalam pernyataan yang dikutip maupun tulisan mereka sendiri. Ada juga karena soal kemampuan jurnalis atau keterbatasan teknis media dalam pemuatan (kutipannya).

A. Apakah Indonesia Telah Pulih dari Krisis Ekonomi 1997
Para ekonom pada umumnya mengatakan bahwa per-ekonomian Indonesia memang sangat terpuruk ketika terjadi krisis tahun 1997 dan beberapa tahun setelahnya. Dikemukakan berbagai indikator ekonomi pada saat itu, yang menampilkan angka-angka yang amat buruk. Indikator ekonomi yang dimaksud antara lain adalah: pendapatan nasional (PDB), pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah, cadangan devisa, tingkat investasi, IHSG, dan sebagainya. Sebagian angkanya banyak yang mendekati level pada masa awal Orde baru, seolah mengeliminasi seluruh prestasi pembangunan ekonomi yang telah dicapai puluhan tahun sebelumnya.
Akan tetapi, para ahli ekonomi yang beraliran mainstreams (arus utama) tersebut juga menganggap sudah ada perbaikan yang amat memadai dalam beberapa tahun terakhir. Perbaikan itu dinilai sebagai hasil dari berbagai upaya reformasi ekonomi. Sebagaimana umum diketahui, pemerintahan pasca Soeharto menjalankan serangkaian program stabilisasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Hampir semua isi paket program reformasi ekonomi itu menuruti rekomendasi dari International Monetary Funds (IMF). Rekomendasi berupa paket program itu dikemas dalam kesepakatan IMF dan Pemerintah Indonesia (biasa dikenal dengan Letter of Intent), yang pada dasarnya menjadi syarat bagi bantuan likuiditas yang diberikan IMF.

Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Mereka berupaya agar keadaan moneter men-jadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Pemerintah juga terpaksa melakukan pen-jadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan.
Dalam keseluruhan langkah tersebut, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pengeluaran biaya yang amat besar untuk itu juga dianggap wajar (termasuk BLBI yang mulai dikucurkan pada penghujung era pemerintahan Seharto). Pertimbangan utamanya, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi, dan itu memerlukan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan mensyaratkan pembenahan sektor perbankan, termasuk BI sebagai bank sentral.

1. Pulihnya Keadaan Menurut Pemerintah Dan Bank Indonesia
Keadaan perekonomian Indonesia selama tiga tahun terakhir ini dinilai oleh Pemerintah dan Bank Indonesia telah membaik. Bahkan, beberapa aspeknya (seperti ketahanan sektor moneter dan ke-uangan) dianggap telah melebihi kondisi sebelum krisis. Yang di-anggap sebagai pertanda adalah indikator ekonomi (lebih tepatnya adalah indikator makroekonomi) tadi lagi, yang memang terlihat membaik. Penalaran dengan mengedepankan indikator makro-ekonomi mendasari semua penjelasan pemerintah tentang kebijakan apa yang tengah dan akan terus mereka jalankan. Dengan kata lain, bagi mereka, Indonesia sudah on the right track (di jalan yang benar) dalam upaya pemulihan keadaan ekonomi, hanya belum sampai ke tujuan. Pandangan serupa dikemukan pula oleh para ekonom mainstreams.
Kita kutipkan pernyataan pemerintahan Mega tentang hal ini (yang mestinya berasal dari para ekonomnya), dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2005 berikut :
Manajemen ekonomi makro yang sehat dan kemajuan yang dicapai dalam reformasi struktural telah menghasilkan perbaikan kinerja ekonomi secara mantap. Dalam beberapa tahun terakhir, PDB riil telah melampaui tingkat sebelum krisis, nilai tukar relatif stabil, inflasi terkendali pada tingkat yang cukup rendah, serta aktivitas eksternal telah mulai pulih…. (halaman 4)
Perhatikan cara berfikir serupa pada pernyataan pemerintahan SBY dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2006, pada saat umur pemerintahan belum genap setahun sehingga belum bisa menonjolkan prestasi, melainkan prospek, berikut ini:
Dalam tahun 2006, prospek perekonomian Indonesia masih menjanjikan, yang didorong oleh permintaan konsumsi yang masih kuat, peningkatan ekspor dan investasi yang semakin besar seiring dengan membaiknya kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai sekitar 6,2 persen, lebih tinggi dari perkiraan tahun 2005 sebesar 6,0 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh intermediasi sektor keuangan yang progresif dan stabilitas ekonomi makro yang terjaga….(halaman 5)
Ketika ada tanda-tanda bahwa target sulit tercapai, pemerintahan SBY dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2007, masih tetap memberi penjelasan yang senada, seperti kutipan berikut :
Dari gambaran di atas, pertumbuhan ekonomi dalam paroh pertama tahun 2006 diperkirakan akan mengalami perlambatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, sejalan dengan ter-kendalinya stabilitas ekonomi secara umum, kemajuan dalam realisasi percepatan pembangunan infrastruktur dan pembinaan sektor riil serta pengaruh stimulus fiskal yang lebih besar, prospek ekonomi Indonesia dalam paruh kedua tahun 2006 diperkirakan akan membaik ......
(halaman 8) Meskipun pertumbuhan ekonomi masih relatif terbatas, stabilitas perekonomian sudah mulai membaik dan diperkirakan akan terus berlangsung sampai akhir tahun 2006. Hal ini tercermin dari pergerakan nilai tukar yang cenderung menguat dan stabil serta laju inflasi yang ter-kendali dan tingkat bunga yang mulai menurun..... (halaman 9)
Pemerintah kembali mengumbar rasa optimis ketika me-ngajukan Nota Keuangan dan RAPBN 2008 (yang diajukan kepada DPR pada pertengahan Agustus 2007). Penyebabnya adalah per-kembangan indikator makroekonomi yang membaik secara signifikan pada triwulan akhir 2006 dan semester awal 2007.
Dikatakan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008 bahwa : Kinerja perekonomian Indonesia dalam tahun 2007 diperkirakan akan semakin membaik dengan akselerasi pertumbuhan yang lebih tinggi dengan tetap terpeliharanya stabilitas ekonomi makro. Perbaikan kinerja ekonomi ini didukung oleh faktor-faktor eksternal dan internal. .................. Sementara dari sisi internal, perbaikan kinerja ekonomi Indonesia didukung oleh rendahnya suku bunga, nilai tukar yang stabil, serta pulih dan menguatnya daya beli masyarakat. Kondisi ini juga didukung oleh terjaganya koordinasi bauran kebijakan (policy mix) yang ditempuh pemerintah di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil. (halaman II – 15). Dalam tahun 2008, sasaran pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 6,8 persen. Optimisme pencapaian sasaran yang cukup tinggi tersebut diharapkan mampu menurunkan tingkat pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencerminkan adanya peningkatan aktivitas sektor riil yang pada gilirannya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi angkatan kerja (halaman II-23).
Belum genap dua bulan APBN 2008 dilaksanakan, pemerintah telah mengajukan revisi kepada DPR. Pemerintah memang memiliki hak untuk mengajukan RAPBN-Perubahan, yang biasanya dilakukan setelah dijalankan sekitar satu semester. Pengajuan yang dipercepat ini terutama sekali karena naiknya harga minyak dunia secara dramatis, jauh melampaui yang diasumsikan dalam APBN 2008. Meskipun meralat sebagian asumsinya, pemerintah tampak masih cukup percaya diri dan mentargetkan pertumbuhan ekonomi se-besar 6,4 % (sebelumnya 6,8 %). Perhatikan kutipan dari NK/RAPBN-P 2008 berikut ini :
Pelemahan ekonomi global diperkirakan akan berdampak pada perkembangan ekonomi nasional 2008 terutama pada penurunan perkiraan pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia dan investasi, sementara konsumsi domestik diperkirakan masih cukup kuat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di 2008 diperkirakan masih cukup tinggi, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan perkiraan dalam APBN 2008 (halaman I-9).
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter satu-satunya dan me-miliki posisi yang independen terhadap pemerintah (setelah di-tetapkannya UU No.23/1999) pun memiliki penjelasan yang senada dalam hal kondisi perekonomian dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh untuk perbandingan dengan pernyataan pemerintah di atas, kita kutipkan pernyataan dalam Laporan Perekonomian Indonesia dari Bank Indonesia (LPI-BI) tahun 2005, berikut ini:
Secara umum, kondisi perekonomian Indonesia tahun 2004 mengalami perkembangan yang menggembirakan, bahkan lebih baik daripada perkiraan awal tahun. Kegiatan ekonomi mencatat pertumbuhan ter-tinggi pascakrisis ekonomi, yaitu sebesar 5,1%, yang diikuti dengan per-baikan pola ekspansi. Konsumsi mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, sementara kegiatan investasi meningkat tajam, setelah dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang rendah. Demikian pula, pertumbuhan ekspor barang dan jasa terus meningkat, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan volume perdagangan dunia yang diikuti dengan melonjaknya harga-harga komoditi minyak dan gas bumi (migas) serta nonmigas. ..... Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut didukung dan dicapai dengan stabilitas makroekonomi yang terjaga..... (halaman 2)
Publikasi LPI-BI setiap tahunnya dikeluarkan sekitar bulan Maret atau April, memuat penjelasan keadaan perekonomian tahun lalu dan proyeksi (BI menggunakan istilah prakiraan) tahun yang sudah mulai berjalan. Wajar jika dalam LPI-BI 2007 (dipublikasikan April 2008), telah mulai ada nada kehati-hatian mengenai kondisi yang dihadapi, serta tidak seoptimis Nota Keuangan dan RAPBN 2008 yang ditulis pada bulan Agustus 2007. Namun, secara umum tetap ada
kepercayaan atas kondisi perekonomian Indonesia yang masih amat baik. Perhatikan kutipan berikut: Perekonomian Indonesia pada tahun 2007 mencatat beberapa pen-capaian pokok yang menggembirakan meskipun mendapat tekanan terutama dari sisi eksternal. Untuk pertama kali sejak krisis, per-tumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas angka 6% dengan stabilitas yang tetap terjaga baik. Neraca Pembayaran Indonesia mencatat surplus, cadangan devisa meningkat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit melampaui target, dan laju inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Tingginya harga komoditas internasional, terutama harga minyak mentah, dan merambatnya krisis subprime mortgage adalah beberapa faktor yang menorehkan tantangan dan ujian pada perekonomian Indonesia pada tahun 2007. Dalam menghadapi deretan ujian tersebut, perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanan yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi..... Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, tantangan eksternal akan memberikan tekanan berat pada kinerja dan stabilitas makroekonomi dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2007. Inflasi diprakirakan akan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sedangkan nilai tukar rupiah diprakirakan relatif stabil (halaman 2).

2. Kepulihan Yang Belum Memadai
Sementara itu, dalam kehidupan ekonomi sehari-hari yang nyata, kebanyakan orang merasakan “nuansa” yang berbeda dari pandang-an Pemerintah dan Bank Indonesia. Banyak dari mereka atau keluarga mereka yang menganggur atau kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Penghasilan riil, yang diukur dari kapasitas pendapatan untuk membeli barang dan jasa kebutuhan sehari-hari mereka telah menurun drastis. Mereka harus mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau dengan kualitas yanglebih rendah. Mereka harus “betul-betul sakit” untuk bisa pergi ke dokter, karena mempertimbangkan biayanya. Keputusan untuk meneruskan ke sekolah menengah, apalagi ke perguruan tinggi, harus diperhitungkan secara matang oleh seluruh anggota keluarga. Rekreasi atau hiburan yang sifatnya memerlukan biaya ekstra, mulai menjadi barang mewah bagi banyak keluarga. Di daerah Jawa Tengah dan DIY, jika ada tetangga atau kerabat yang punya hajatan, mulai disikapi sebagai beban tambahan. Dan yang sangat mengejutkan adalah sudah mulai ada beberapa anak SD yang bunuh diri karena kemiskinan, menyusul fenomena bunuh diri para orang dewasa. Kriminalitas dan kerawanan sosial, dengan alasan ekonomi, mulai menjadi gejala di masyarakat yang sebetulnya sangat ramah dan santun.
Terlampau banyak “bukti” bagi keadaan umum tersebut. Ada banyak survei sektoral atau berfokus golongan masyarakat tertentu, yang telah dipublikasikan. Data berbagai survei menunjukkan bahwa masyarakat merasa kondisi ekonomi kian memburuk. Kesimpulan serupa akan didapat melalui pengamatan langsung kehidupan rakyat banyak, seperti: buruh, pekerja kantoran biasa, petani, pedagang, dan sebagainya. Media masa, cetak dan elektronik, selalu memberitakan kesulitan ekonomi rakyat dari berbagai sisi. Sebagai contoh, pedagang kaki lima tampak bereaksi amat keras ketika terjadi penertiban atau penggusuran, karena memang masalah hidup dan mati bagi mereka. Begitu pula dengan para petani yang lahannya tergusur (terlepas dari soal hak menurut hukum) telah berani menentang aparat yang jelas-jelas membawa senjata api.

Tentu saja harus diakui bahwa memang ada aspek per-ekonomian yang membaik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun perbaikan dari kondisi yang sempat amat parah tersebut sangat tidak memadai. Ibarat nilai ujian suatu pelajaran, nilai 3 adalah perbaikan 50 persen dari nilai 2. Padahal masih jauh dari batas nilai yang wajar, misalnya nilai 6. Pandangan semacam ini yang pada umumnya disuarakan oleh ekonom yang mengatakan bahwa makroekonomi membaik, namun mikroekonomi justeru banyak yang memburuk. Juga para ekonom yang mengkritik pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai tidak berkualitas.
Jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, sebenarnya tidak seluruh indikator makroekonomi memperlihatkan angka-angka yang menggembirakan. Angka tingkat pengangguran, misalnya, belum berhasil ditekan secara berarti. Jumlah orang yang me-nganggur masih sangat besar, sebanyak 10 juta orang pada tahun 2007 (sekitar 9,1 % dari jumlah seluruh angkatan kerja). Bahkan, angka pengangguran ini diperparah oleh masalah setengah pengangguran dan buruknya upah riil yang mereka terima. Padahal, masalah pe-ngangguran ini bisa dikatakan sebagai induk dari masalah ke-miskinan. Nantinya kita akan melihat pula bahwa angka kemiskinan masih amat tinggi, dan jumlah penduduk miskin belum berkurang secara berarti.
Dalam pernyataan politik resmi, pemerintah memang me-rumuskan bahwa mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan adalah target utama kebijakan dan berbagai program kerja mereka. Dinyatakan oleh pemerintahan Mega, maupun oleh pemerintahan SBY. Perhatikan pernyataan pemerintahan Mega dalam Nota Keuangan dan RABN 2005 berikut:
Secara umum, sesuai kesepakatan antara Pemerintah dan DPR RI, APBN 2005 diarahkan agar tetap mampu menjadi jangkar dalam menjaga stabilitas ekonomi makro, serta memberikan stimulus secara terbatas sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, dalam upaya mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.(halaman 1)

Pemerintahan SBY bahkan dengan optimis menetapkan sasaran yang ambisius mengenai hal ini, seperti dalam kutipan Nota Keuangan dan RAPBN 2006 berikut:
Kerangka ekonomi makro dan kebijakan fiskal 2006 diarahkan untuk menjamin pancapaian tiga agenda utama Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yaitu: (i) menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (ii) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; serta (iii) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga agenda tersebut perlu dikelola secara bertahap, berimbang, dan berkelanjutan. Beberapa sasaran utama dari agenda tersebut yaitu menurunkan angka ke-miskinan dari 16,6 persen menjadi 8,2 persen dan pengangguran dari 9,9 persen menjadi 5,1 persen dalam periode 2004-2009. (halaman 4)
Setahun kemudian, pemerintahan SBY mulai “berkelit” dengan menyodorkan bahwa pemerintah “hanya” memainkan peran tidak langsungnya dalam perekonomian, sebagaimana tersirat dari kutipan Nota Keuangan dan RAPBN 2007 berikut:
Seperti juga yang terjadi di negara-negara lain, saat ini peran kebijakan fiskal masih sangat penting, namun perannya sebagai pendorong per-tumbuhan (source of growth) cenderung berkurang dibandingkan de-ngan peran sektor swasta yang memang diharapkan akan semakin meningkat. Peran pemerintah lebih difokuskan kepada fungsi regulator dan pengaturan mekanisme redistribusi melalui alokasi anggaran guna penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat (halaman 2)

Pada Nota Keuangan dan RAPBN 2008, komitmen Pemerintah terhadap kemiskinan meningkat kembali. Baik dalam artian banyaknya pernyataan bernada demikian, maupun peningkatan alokasi anggaran yang diklaim sebagai untuk program pengentasan kemiskinan.
Terlepas dari komitmen yang dinyatakan, angka kemiskinan selama pemerintahan SBY berfluktuasi dan pada tahun 2007 tercatat setara dengan periode awalnya, yakni: 16,66 % (2004), 15,97% (2005), 17,75 %(2006), dan 16,58 % (2007). Jauh dari angka yang ditargetkan pemerintah. Bahkan, karena jumlah penduduk yang terus meningkat,
maka angka itu berarti jumlah penduduk yang miskin justeru ber-tambah banyak, yaitu: dari 36,15 juta jiwa (2004) menjadi 37,13 juta (2007).
B. Krisis yang Tidak Teramalkan Sebelumnya
Ada satu hal yang mesti dicermati dan menjadi pelajaran ber-harga di kemudian hari mengenai krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997. Krisis yang begitu dahsyat dan berdampak amat buruk bagi rakyat Indonesia itu ternyata tidak teramalkan oleh para ahli ekonomi. Beberapa ekonom yang kritis dan yang bukan mainstreams memang terlebih dahulu mengkhawatirkan keadaan dan sempat lebih dahulu menyadari buruknya keadaan. Namun, pihak Pemerintah dan ekonom kebanyakan sama sekali tidak menduga akan adanya kejadian-kejadian pada tahun 1997 dan setahun setelahnya.

Ketidakjelian pengamatan itu tidak hanya berlaku ekonom yang berasal dari Indonesia, namun juga yang berasal dari luar negeri. Hall
Hill, seorang ekonom dari Australia yang dianggap sangat ahli Indonesia, mengakui bahwa dia samasekali tidak menduga atau meramalkan kejadian itu. Tatkala selesai menulis edisi kedua buku Ekonomi Indonesia-nya yang terkenal, pada bulan Mei 1999, Hall Hill (2001) mengaku masih juga belum bisa menebak dan memastikan arah perubahan selanjutnya dari rangkaian peristiwa yang terjadi.
Bank Indonesia bahkan masih mengeluarkan laporan perekonomian yang bernada sangat optimis pada laporan tahunannya yang dipublikasikan pada bulan Mei 1997, hanya beberapa bulan sebelum krisis. Kita kutip kalimat dalam laporan tahunan Bank Indonesia untuk tahun 1996/1997 itu, sebagai berikut :
Dalam tahun 1996/97 perekonomian Indonesia menunjukkan per-kembangan yang cukup mantap. Pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1996 dapat dipertahankan pada tingkat 7,8%, sedikit lebih rendah dari-pada tahun sebelumnya (8,2%) namun masih di atas sasaran per-tumbuhan rata-rata dalam Repelita VI (7,1%). Sektor industri pengolahan merupakan sumber pertumbuhan yang semakin penting, sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperkukuh peranan sektor industri sebagai lokomotif perekonomian nasional. Sementara itu, berkat upaya pen-dinginan suhu perekonomian dan langkah-langkah untuk memper-lancar arus barang, laju inflasi terus menurun sehingga laju inflasi kumulatif selama tahun 1996/97 mencapai angka 5,17%, yang merupakan angka terendah sejak tahun anggaran 1985/86. Pertumbuhan impor juga menurun cukup tajam sehingga, meskipun kinerja ekspor nonmigas masih belum menggembirakan, defisit transaksi berjalan pada tahun 1996/97 dapat dikendalikan pada tingkat yang aman, yaitu $8,1 miliar atau 3,5% dari produk domestik bruto (PDB). Fundamental per-ekonomian Indonesia tetap mantap sehingga mendorong arus masuk modal. Dalam tahun 1996/97 arus masuk modal luar negeri bersih lebih besar dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan sehingga cadangan devisa meningkat dan mencapai $19,9 miliar atau setara dengan 5,2 bulan impor nonmigas (halaman 1).

Perhatikan bahwa kutipan tadi diambil dari halaman 1 yang merupakan pembuka seluruh uraian laporan. Di bagian lain dari laporan itu, Bank Indonesia memprediksi keadaan perekonomian tahun 1997 sebagai berikut:
Dengan mempertimbangkan berbagai segi tersebut, kondisi ekonomi secara keseluruhan diprakirakan akan tetap mantap. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 akan berkisar antara 7,5% dan 7,7%. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tetap berhati-hati, tingkat inflasi diharapkan akan menurun lagi. Sementara itu, nisbah defisit transaksi berjalan terhadap PDB diprakirakan akan sedikit meningkat menjadi sekitar 3,9%. Namun, secara keseluruhan neraca pem-bayaran akan tetap mengalami surplus, sejalan dengan prakiraan bahwa surplus lalu lintas modal akan lebih besar daripada defisit transaksi ber-jalan. Sementara itu, cadangan devisa diupayakan dapat dipertahankan pada tingkat setara dengan 5 bulan impor nonmigas (halaman 14).

Salah satu pokok permasalahannya adalah tidak pernah jelas apa arti dari “fundamental ekonomi yang kuat”, sebagaimana yang di-kutip di atas. Gubernur BI pada waktu itu, Soedrajad Djiwandono, dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa faktor fundamental ekonomi Indonesia berkembang semakin kuat sebagai implikasi positif dari pembangunan yang dilakukan. Pada kenyataannya, hanya sekitar dua bulan kemudian, fundamental yang disebut kuat tersebut hancur berantakan. Belakangan, pada laporan-laporan edisi beberapa tahun kemudian, sering dikatakan bahwa fundamental ekonomi pada tahun 1997 adalah rapuh alias tidak kuat.

C. Penjelasan yang Bisa Menyesatkan
Selain tidak menduga akan terjadi, para ekonom pun masih berdebat mengenai penjelasan atas krisis. Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih terdapat perbedaan pandangan me-ngenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apakah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya dikedepankan secara bersama, maka per-debatan mengarah pada seberapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah mengenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang terlampau besar.
Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan ke-uangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan menciptakan krisis ekonomi. Krisis ekonomi membawa kepada krisis politik, yang berujung pada jatuh-nya rezim Soeharto.
Akan tetapi, secara berangsur-angsur, berbagai pandangan ter-sebut mengerucut ke dalam gugus ide tertentu yang sesuai dengan mainstreams economics. Pandangan para ekonom beraliran utama itu mendominasi cara berfikir dan arah kebijakan ekonomi Indonesia saat ini. Mereka ”berhasil” memberi penjelasan mengapa krisis 1997 bisa terjadi, serta mengapa pula upaya pemulihan berjalan dengan lambat. Uraian mereka disertai rekomendasi apa yang sebaiknya sekarang dan di masa mendatang harus dilakukan. Kebanyakan analisa yang disodorkan mengetengahkan sebab-sebab internal, yang berasal dari dalam negeri Indonesia. Faktor eksternal justeru lebih dianggap sebagai pemicu saja. Dalam bahasa sederhana, jika perekonomian Indonesia kokoh maka guncangan eksternal tidak akan berpengaruh besar.
Sebagai permulaan, sementara ini kita hanya menginventarisir beberapa diantara penjelasan atau pandangan yang mulai mendominasi wacana mengenai sebab krisis dan lambatnya proses pemulihan perekonomian Indonesia. Kita akan membahas lebih jauh sekaligus mengkritisi pandangan tersebut pada bab 5.
Pertama, dan yang terutama adalah adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang luar biasa buruk dan dianggap telah mem-budaya. Berbagai proyek pembangunan ekonomi digerogoti KKN; penggunaan utang bocor oleh KKN, sehingga tak sepenuhnya sesuai dengan rencana; sebagian dana hasil minyak ditilap; hutan dibabat habis, dan hanya pura-pura direboisasi, hasil yang disetor kepada negara menjadi lebih kecil dari semestinya; dan KKN terjadi di semua level birokrasi, sehingga merupakan gejala umum. Pokoknya, banyak ahli yang berpendapat bahwa seandainya KKN tidak sebegitu parah, perekonomian Indonesia tak akan menjadi seterpuruk itu. Rekomendasi perbaikan yang disodorkan terkesan sederhana, yakni memberantas KKN.

Kedua, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian. Sebagian penalaran tentang hal ini masih berkaitan dengan KKN, dimana keadaan demikian dinilai memberi peluang besar untuk KKN. Selain soal KKN, para analis ekonomi menekankan bahwa negara atau birokrasi bersifat lamban dan tidak efisien dalam me-ngelola perusahaan. Ketidakefisienan ini berdampak buruk tidak hanya kepada BUMN bersangkutan, melainkan produktivitas per-ekonomian nasional. Sementara itu, terlampau banyaknya kebijakan ekonomi yang bersifat campur tangan pada dunia usaha, juga dinilai amat buruk. Dikatakan, bahwa bagaimana mungkin para birokrat lebih tahu daripada pelaku bisnis tentang keadaan dunia usaha.
Ketiga, adanya kesalahan strategi pembangunan ekonomi Orde Baru. Kesalahan terutama dituduhkan atas kurangnya orientasi bagi pertumbuhan ekspor. Orde Baru dianggap tidak mau, dan ketika mencoba mulai, tidak berhasil menjalankan kebijakan yang ber-orientasi “keluar”. Pembangunan ekonomi Orde Baru dianggap ber-lebihan dalam fokus kepada pemenuhan kebutuhan domestik, industrinya dikembangkan hanya untuk menggantikan kebutuhan akan barang (konsumsi) impor saja. Segala upaya dan bantuan diberikan sebagai kemudahan, termasuk “proteksi” terhadap pesaing dari luar. Akibatnya, setelah kebutuhan domestik terpenuhi, dan ingin diekspor, sebagian besar industri manufaktur kita tidak mampu bersaing. Tatkala kebutuhan devisa sudah sedemikian besar, untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan membiayai impor, hasil ekspornya tidak mencukupi. Rupiah pun terpuruk, karena ke-butuhan akan dolar tidak diimbangi oleh persediaannya.

Keempat, pandangan lama ketika memulai pembangunan, khususnya ketika membenarkan ULN dan penanaman modal asing (PMA) agar masuk secara besar-besaran, diutarakan kembali. Diantaranya adalah: kurangnya sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih; perkembangan teknologi produksi yang lamban; serta modal yang masih kurang, akibat kecilnya tabungan domestik. Bahkan ada yang tetap tega “menuding” bahwa rakyat kita masih banyak yang malas, kurang motivasi, dan semacamnya.
Pendapat buku ini tentang berbagai pandangan di atas amat jelas, bahwa semua hal yang disebutkan adalah tidak benar sebagai pe-nyebab krisis, apalagi penyebab utama. Sebagai contoh, sebagian besar dari isi pandangan keempat di atas bersifat mitos dan stereotype atas kondisi bangsa Indonesia. Sejak puluhan tahun lampau, opini semacam ini dihembuskan dengan gaya ilmiah oleh teori modernisasi, suatu konsep induk dari kapitalisme bagi Negara-negara miskin. Kenyataannya, bangsa Indonesia tidak terdiri dari orang-orang bodoh, malas, dan tak punya motivasi untuk maju. Terbukti sebagian besar rakyat sungguh cepat belajar, rajin, berhasrat ingin maju, dan bersedia menabung. Lebih dari segalanya, mereka ke-banyakan penyabar, masih peduli satu dengan lainnya, dan sangat berorientasi pada perdamaian. Jika masalahnya kemudian adalah mereka dibodohi, dibuat tak berdaya, dibuat menjadi konsumeris, maka adalah sesuatu yang perlu dibahas secara berbeda.

Begitu pula dengan isyu bahwa kita selalu kekurangan modal, jelas bisa menyesatkan. Kekayaan SDA kita merupakan modal yang amat besar. Indonesia bukan negara yang tidak memiliki apa-apa. Mitos akan perlunya modal (uang dan teknologi) untuk pengurasan-nya telah terbukti selama lebih dari tiga puluh tahun makin “memiskinkan” Indonesia. Lebih dari 10 milyar barel minyak mentah sudah diambil; 70% hutan alam kita dijarah; beberapa milyar ton batu bara dikuras; ribuan ton emas dan perak diangkut ke luar negeri; hasil perikanan laut kita tak terhitung yang sudah ditangkap; dan sebagainya. Hasil akhirnya bagi bangsa Indonesia adalah kondisi perekonomian saat ini, dan penderitaan hidup yang dirasakan oleh rakyat kebanyakan.
Kita juga melihat fakta yang ironis, yakni dinamika perbankan nasional yang sedang kelebihan dana (bisa dibaca sebagai modal yang tersedia di dalam negeri). Ada ratusan triliun dana “menganggur” di sektor keuangan, tetapi pemerintah justeru mengemis kepada pihak asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Sekalipun APBN biasanya mengalami defisit, justeru selalu ada sisa anggaran lebih setiap tahunnya karena ada belanja yang tidak berhasil direalisasikan. Ini bisa terjadi karena upaya pem-biayaan untuk defisit anggaran dicari terlebih dahulu, antara lain lewat penerbitan SUN), padahal belanja nantinya tidak seratus persen terealisasi.

D. Neoliberalisme: Bentuk Mutakhir Kapitalisme Internasional
Semua penjelasan tentang krisis 1997 dan upaya pemulihannya pada akhirnya berujung kepada harus dijalankannya agenda neoliberalisme di Indonesia. Agenda serupa telah berjalan terlebih dahulu di banyak negara lain, serta menjadi sangat dominan dalam kebijakan di negara-negara induk kapitalisme. Pandangan dan ke-bijakan tersebut dikenal pula dengan istilah konsensus Washington (Washington Consensus), merujuk kepada Amerika Serikat sebagai negara induk pembuat konsep. Belakangan, ada beberapa perubahan pada isi konsensus Washington, namun secara substansi masih bisa disebut sebagai agenda neoliberalisme.
Sebagaimana perkembangannya di seluruh dunia, agenda neo-liberalisme di Indonesia hanya merupakan suatu tahap saja dari kapitalisme. Neoliberalisme adalah konsep paling mutakhir dari kapitalisme, dalam arti yang mendominasi perwujudannya saat ini. Sebagai suatu aliran pemikiran, neoliberalisme memiliki akar pada gagasan kaptalisme yang awal. Sebagai suatu agenda (terutama dalam mekanisme dan sistem ekonomi), neoliberalisme baru dominan sekitar dua dekade terakhir ini.
Dengan demikian, kita harus memahami dominasi agenda neoliberalisme di seluruh dunia (khususnya di negara berkembang) dalam konteks sejarah kapitalisme. Dalam kasus Indonesia, kapital-isme dahulu pernah mengambil bentuk penjajahan fisik pada era VOC dan pemerintah Belanda. Indonesia membutuhkan waktu sangat lama untuk bisa mengusir kolonialisme yang pada waktu itu secara kasat mata telah mengakibatkan penderitaan langsung rakyat banyak. Bahkan sebenarnya akibat dari kolonialisme itu masih didera sampai saat ini, diantaranya berkenaan dengan struktur ekonomi dualistis dan struktur ketergantungan ekonomi. Kapitalisme juga yang “menyusup” dalam ideologi pembangunan-isme Orde Baru, yang dampak buruknya justeru semakin dirasakan pada era ini. Faham pembangunan adalah versi Negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dari faham negara kesejahteraan atau Keynesianisme. Formulasi faham tersebut pada dasarnya dibuat bagi kepentingan kapitalisme internasional.
Penjelasan tentang berbagai hal yang dinilai sebagai penyebab krisis seperti adanya KKN yang parah, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian, adanya kesalahan strategi pembangunan ekonomi Orde Baru, peran negara, dan semacamnya patut di-waspadai sebagai bagian dari propaganda agenda neoliberalisme. Perhatikan bahwa dalam hampir semua rekomendasi atau solusi yang ditawarkan pandangan semacam itu adalah bersesuaian dengan kelancaran (kebutuhan) mekanisme kapitalisme internasional.
Wajar jika timbul kecurigaan atas hasil diagnosa kebanyakan ekonom mainstreams tentang kehancuran perekonomian Indonesia di penghujung era Orde Baru. Alih-alih menganggap penyebab krisis adalah terlampau terintegrasinya perekonomian Indonesia kepada tatanan kapitalisme dunia, malah hasil analisis yang disodorkan adalah karena Perekonomian Indonesia kurang kapitalis. Solusinya, ekonomi kita harus lebih pasar oriented, serta lebih terbuka dengan pihak asing, dalam semua aspek perekonomian. Tidak cukup hanya terbuka dalam ekspor impor, melainkan juga dalam hal arus keluar masuk modal.
Selain itu, buku ini berpandangan bahwa kita tidak bisa men-cukupkan diri dengan penjelasan tentang krisis 1997 yang hanya menganalisis faktor-faktor yang terlihat pada saat itu saja. Penjelasan harus diperluas sehingga mencakup analisis tentang keadaan perekonomian Indonesia secara keseluruhan sejak dahulu, sejak zaman kolonialisme. Bisa dipastikan pula bahwa akan ada penjelasan teknis baru lagi, jika kembali terjadi krisis ekonomi yang akut. Sementara itu, tidak ada krisis baru pun, kehidupan rakyat kebanyakan sudah susah. Bisa dikatakan bahwa cara pengelolaan perekonomian seperti yang dijalankan sekarang tidak memberi harapan baru bagi perbaikan kehidupan mereka.

E. Tentang Buku ini
Berbagai fenomena terkait dengan informasi dan ulasan ekonomi yang telah disinggung tadi, dipastikan akan berpengaruh pada tingkat partisipasi rakyat dalam pembangunan ekonomi dan politik. Jika rakyat kesulitan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi dan meragukan arah kebijakan ekonomi pemerintah, bagaimana mungkin partisipasi aktif bisa digalang. Permasalahannya menjadi berbeda jika ternyata yang sedang berlangsung memang proses yang merugikan rakyat (bahkan dilakukan secara sengaja). Jika itu yang terjadi, maka sudah jelas bahwa segala “kebingungan” tersebut sengaja terus dipelihara. Kadang ada sedikit klarifikasi me-ngenai hal-hal tertentu, sehingga seolah-olah nasib rakyat masih dibela.
Buku ini adalah salah satu upaya meningkatkan pemahaman berbagai komponen masyarakat tentang kondisi dan dinamika per-ekonomian Indonesia. Penjelasannya terutama sekali ditujukan ke-pada tokoh-tokoh masyarakat di tingkat nasional dan daerah, termasuk para generasi mudanya. Termasuk dalam pengertian tokoh adalah elemen masyarakat yang bergiat dalam gerakan mahasiswa, gerakan sosial dan aktivitas pemberdayaan masyarakat lainnya. Diasumsikan bahwa dengan pengetahuan yang lebih baik tentang “logika dasar” perekonomian, maka upaya peningkatan partisipasi politik masyarakat akan seiring dengan capacity building dari negara kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih khusus diharapkan agar konflik kepentingan yang telah dan masih akan terjadi, terutama kepentingan ekonomi, dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengarah kepada konflik kekerasan. Akhirnya yang menjadi parameter atau tujuan utama adalah kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.
Dari banyak diskusi dengan berbagai kalangan aktivis gerakan, terkesan bahwa kebanyakan mereka menyadari ada suatu kesalahan besar dalam pengelolaan ekonomi negeri ini. Sebagiannya telah mengemukakan bahwa hal itu berhubungan erat dengan agenda neoliberalisme yang melanda seluruh dunia. Beberapa dari mereka menelusurinya pada jejak-jejak ide. Sebagian lainnya menyoroti bentuk-bentuk teknisnya, terutama yang berkaitan dengan dampak penyengsaraan terhadap rakyat Indonesia.

Kesadaran mengenai adanya ketidakberesan dalam dinamika perekonomian Indonesia sebenarnya juga mulai tumbuh pada banyak pengusaha, teutama yang berskala UMKM. Mereka memang tidak tertarik pada soal konseptual, atau tidak pernah menyinggung istilah neoliberalisme. Namun, sebagian besar dari mereka merasakan himpitan persaingan yang tidak seimbang antar pelaku bisnis yang jauh berbeda skalanya (termasuk pelaku asing), serta kerentanan mereka pada berbagai goncangan makroekonomi.
Terlepas dari kecurigaan atas motivasinya, kesadaran akan perlunya perubahan yang mendasar dalam pengelolaan perekonomian nasional juga diisyaratkan oleh beberapa tokoh politik dan masyarakat. Itu pula yang terjadi pada sebagian ahli ekonomi yang belakangan ini menjadi lebih kritis daripada sebelumnya.

Pada tataran lain, pembicaraan tentang perekonomian dapat di-lihat dari sudut pandang kepentingan (interest), politik dan atau ekonomi. Pengertian kepentingan disini bersifat umum, bisa berarti individu, kelompok orang, atau kelembagaan. Tidak pula diartikan secara negatif atau positif, melainkan netral. Artinya dianggap wajar bahwa kondisi yang ada mencerminkan suatu proses dinamik, be-rupa tawar menawar, konflik dan konsensus.
Dalam era reformasi terlihat jelas bahwa semua komponen masyarakat memiliki keinginan yang lebih kuat untuk menyampai-kan aspirasi, termasuk kepentingan ekonominya. Berbagai contoh dapat dikemukakan. Para pekerja tidak segan berdemonstrasi menuntut kenaikan upah. Kalangan dunia usaha sendiri selalu menyuarakan keberatannya atas kebijakan pemerintah yang di-anggap merugikan bisnisnya. Para mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat tampak sangat peka dengan pengurangan subsidi BBM dan listrik, yang berujung pada kenaikan harga. Para guru menuntut anggaran pendidikan yang sesuai dengan UUD, yakni sebesar 20 persen dari total anggaran. Para korban bencana, atau simpatisannya, menghendaki bantuan pemerintah yang cukup memadai atau se-tidaknya dalam jumlah yang lebih besar daripada yang mereka terima saat itu.

Sementara itu pula, pemerintah tengah berkutat dengan keterbatasan anggaran. Mereka beralasan harus melakukan konsolidasi fiskal, artinya ada penentuan prioritas belanja yang ketat, sehingga keuangan pemerintah secara keseluruhan masih dapat dikelola. Pemerintah menjadi semakin sibuk mencari upaya menaikkan penerimaan, yang diantaranya dilakukan melalui optimalisasi pe-nerimaan pajak. Dengan kata lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, keuangan pemerintah pun bisa menjadi sangat buruk, serupa dengan pengertian “bangkrut” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Memang tidak terbayangkan bagi masyarakat awam bahwa pe-merintah yang berskala begitu besar bisa terancam default (gagal membayar kewajiban) dalam keuangannya. Setidaknya begitulah ke-adaannya menurut pengakuan otoritas pembuat anggaran.

Dalam konteks ini, para aktivis gerakan seyogyanya berhati-hati pada kemungkinan kekeliruan dalam mendiagnosa suatu persoalan, yang secara tidak sengaja justeru menguntungkan pihak kapitalisme intenasional. Sebagai contoh adalah tema sentral gerakan di masa lalu seperti “state versus society” yang harus diterjemahkan secara lebih akurat saat ini. Sangat mungkin upaya pelemahan negara (state) tidak menguntungkan bagi rakyat, dan justeru menguntungkan pemodal besar. Pemberdayaan masyarakat (empowering society) harus di-posisikan secara lebih luas dan komprehensif, tidak vis a vis negara saja. Pengembangan kapabilitas rakyat untuk mengambil keputusan serta jaminan untuk memperoleh hak-hak ekonominya lebih di-kedepankan daripada upaya pelemahan negara atau aktivitas radikal sejenisnya. Kekuatan modal saat ini telah memungkinnya untuk secara cerdik, tidak selalu tampil sebagai bagian dari pemerintahan atau negara dalam arti yang konvensional seperti di masa lampau.
Sekali lagi ditegaskan bahwa buku kecil ini bermaksud meng-gambarkan dinamika perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dalam perspektif yang kritis. Tentu saja argumen yang dibangun tetap meliputi masa-masa yang lebih lama, karena tesis dasar yang diajukan adalah bahwa cengkeraman neoliberalisme ter-hadap perekonomian Indonesia saat ini adalah kelanjutan dari dominasi kapitalisme yang telah berlangsung selama beberapa abad.
Bab 2 dan 3 mendeskripsikan kondisi dan dinamika perekonomian Indonesia, dan agak bersifat teknis ekonomi.

Penjelasan secara cukup panjang lebar pada kedua bab itu (khususnya tentang berbagai indikator ekonomi) karena dua alasan. Pertama, indikator yang dibicarakan sering dipakai sebagai argumen pendukung pelaksanaan agenda neoliberalisme di Indonesia. Sehingga cara analisis yang berbeda terhadap angka-angkanya di-perlukan sebagai argumen bantahan. Kedua, agar para pembaca tidak langsung mendapatkan hasil analisis saja, melainkan juga memahami teknik atau metode analisisnya. Dengan demikian, jika ada perkembangan data baru maka analisis bisa dilakukan sendiri secara mudah.

Bab 4 menjelaskan ikhwal neoliberalisme (termasuk kapital-isme) sehingga detil-detil agenda neoliberalisme bisa lebih dimenger-ti. Bab 5 membicarakan kasus Indonesia hingga terjerat pada neo-liberalisme. Bab 6 berisi formulasi ulang alasan penolakan secara le-bih sistematis, serta rekomendasi bentuk-bentuk perlawanan. Sebagian rekomendasi bentuk perlawanan yang disampaikan penulis telah menjadi pemahaman umum para aktivis gerakan, dan sudah ada yang berwujud aksi nyata. Dalam sebagian hal itu, kami hanya menghimpun dan mensistematisasikannya menurut per-spektif penulis. Bab 7 adalah kesimpulan seluruh pembahasan.