Pemerintah saat ini mengklaim pembangunan ekonomi sudah
berjalan dengan arah yang benar, dan bahkan telah memperlihatkan berbagai hasil
yang sangat memuaskan. Berulangkali dikemukakan bahwa perekonomian nasional
dalam kondisi yang baik, terutama karena kebijakan dan pengelolaan ekonomi yang
sudah tepat. Kondisi perekonomian dinilai lebih baik dibandingkan era
pemerintahan sebelumnya. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik jika
dibandingkan banyak negara lain. Pembangunan ekonomi pun dikatakan telah
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang kelompok ekonomi yang
paling bawah.
Klaim pemerintah tersebut didukung penuh oleh banyak
penjelasan pihak otoritas ekonomi lainnya, seperti Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan. Penjelasan yang sering dikemukakan otoritas ekonomi antara lain:
Pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi; Pengangguran terus berkurang; Inflasi
selalu terkendali dalam tingkat yang rendah; Kemiskinan turun signifikan dan
terendah dalam sejarah; Cadangan devisa masih cukup besar dan mencukupi
kebutuhan transaksi internasional; Defisit APBN makin terkendali; Paket
kebijakan telah mendorong investasi dan makin meningkatkan iklim berusaha; Pembangunan
infrastruktur telah berhasil dan akan makin medorong pertumbuhan ekonomi di
masa depan.
Klaim tersebut jelas berlebihan, bahkan dapat dikatakan
berkebalikan dengan fakta dan dinamika ekonomi yang sebenarnya terjadi selama
era pemerintahan Jokowi. Kesimpulan yang berlawanan itu dapat diambil jika
dilakukan asesmen yang lebih dingin, berdasar data dan indikator yang lebih
detil dan menyeluruh, berhorison waktu yang lebih panjang, serta prakiraan akan
tantangan eksternal yang segera dihadapi. Sangat mungkin untuk menyebut pembangunan
ekonomi era Jokowi telah gagal. Setidaknya, indikator kegagalan lebih menonjol
dibanding indikator keberhasilan.
Berbagai kritik sebenarnya sudah sering disampaikan oleh
beberapa ekonom. Diantaranya adalah soal utang, defisit transaksi berjalan, kebijakan
ekonomi yang saling bertentangan, meningkatnya ketidakpastian usaha, kerentanan
kondisi pekerja meskipun tercatan bukan pengangguran, makin memburuknya kelompok
terbawah atau yang sangat miksin, dan lain sebagainya. Namun yang lebih dominan
di media adalah penjelasan pemerintah dan otoritas ekonomi.
Menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres, perlu ada forum diskusi
serius untuk melakukan asesmen menyeluruh atas kondisi ekonomi terkini dan
tantangan beberapa tahun ke depan. Publik berhak mendapat gambaran yang lebih
berimbang, tidak hanya yang berasal dari Pemerintah, Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan. Melainkan juga dari yang pandangan yang berlawanan.
Tentu diskusi yang berdasar analisis yang jernih dan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan
tantangan ke depan, sebaiknya menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar,
yaitu fundamental ekonomi. Tema fundamental ekonomi ini mengemuka ke ruang
publik sejak tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami depresiasi besar dalam
waktu singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan
tentang masih kuatnya fundamental ekonomi.
Presiden Joko Widodo, tanggal 30 April 2018, mengatakan
melemahnya mata uang nasional seperti rupiah juga dirasakan negara lain. Dia
mengatakan fundamental ekonomi makro Indonesia baik, sehingga pemerintah masih
dapat mengendalikan inflasi sebesar 3,5 persen per tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa
saat ini (17 Mei 2018) volatilitas di sektor keuangan global masih relatif
tinggi. Meskipun demikian, dalam gejolak ekonomi yang terjadi itu, perekonomian
Indonesia masih memiliki fundamental yang kuat. Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Darmin Nasution mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih
kuat di tengah fluktuasi kurs dolar AS, dan satu-satunya kelemahan hanya
transaksi berjalannya defisit 3 persen (4 September 2018). Darmin menjelaskan
bahwa faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi
Indonesia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
( OJK) Wimboh Santoso juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki fundamental
ekonomi yang kuat (23 Juli 2018). Dikatakan bahwa tekanan pada pasar keuangan
yang terjadi akhir-akhir ini hanya merupakan fenomena temporer sebagai akibat
dari rebalancing portofolio dari global investor. Pihak Bank Indonesia pun
sering menyuarakan opini serupa. Belum lama ini (30 Januari 2019), Gubernur BI,
Perry Warjiyo merayu para investor dengan membanggakan kondisi monter Indonesia
yang stabil di tengah guncangan eksternal dari ekonomi global. Terutama dengan
adanya trade war atau perang dagang antara dua negara raksasa Amerika dengan
China. Perry menegaskan, Indonesia merupakan ladang investasi yang menarik
ditunjang kondisi makroekonomi yang stabil serta sinkronisasi kebijakan
makroekonomi pemerintah. Disimpulkannya bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang
stabil adalah fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Pandangan berbeda diberikan oleh beberapa ekonom. Salah
satunya yang perlu dikutip adalah dari mantan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia dan mantan ketua BPK Anwar Nasution, yang mengatakan fundamental
ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia
dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar. Dia bahkan mengatakan
Pemerintah telah omong kosong dan bohong dengan mengatakan fundamental ekonomi
Indonesia kuat. (8 September 2018). Anwar Nasution mengemukakan beberapa hal
berikut sebagai argumennya: rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik
bruto (PDB) masih rendah, sehingga terpaksa terus berutang; ekonomi Indonesia yang
sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri, terutama terkait beban pembayaran
utang dan harga barang yang banyak diimpor; dan lembaga keuangan (terutama
bank) yang masih sangat lemah.
Sebenarnya, soal fundamental ekonomi ini telah diakui sejak
awal pemerintahan sebagai faktor utama dalam arah pembangunan ekonomi.
Penguatannya menjadi acuan atau pertimbangan paling penting dalam pengelolaan
ekonomi, termasuk pengambilan keputusan tentang kebijakan. Setahun setelah
pemerintahannya, Presiden Jokowi (Oktober 2015) menjelaskan tentang strategi
untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Jokowi
menjelaskan tentang tranformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga
aspek. Pertama, mengubah ekonomi
berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan
infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan
kemiskinan. Ketiga, yaitu mendorong
pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa. Seperti percepatan
pembangunan infrastruktur yang di beberapa tempat seperti pembangunan jalan tol
Trans Sumatera dan Papua.
Diskusi musti dimulai dari pengertian fundamental ekonomi.
Apa saja yang dicakupnya, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana penilaian atas
fundamental ekonomi saat ini.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti fundamental bersifat
dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar
(pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi
adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam
aktivitas ekonomi. Akan tetapi dari kutipan beberapa pernyataan di atas,
pengertian fundamental ekonomi yang dipakai Pemerintah dan otoritas ekonomi
lainnya, bisa dikatakan menyempit menjadi hanya fundamental ekonomi makro. Dan
itupun dipersempit lagi menjadi lebih mengedepankan soal pertumbuhan ekonomi,
inflasi, defisit anggaran, dan defisit anggaran berjalan. Pengertian yang
secara implisit dikatakan Presiden Jokowi tahun 2015 justeru jarang dikemukakan
lagi.
Rangkaian tulisan beikut ini memakai
pengertian yang lebih komprehensif dan telaah atas bagian-bagiannya bisa
menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi Indonesia. Penilaian atas
fundamental ekonomi sedikitnya menjawab tiga pertanyaan utama dalam fakta dan
dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, APA saja barang dan jasa yang
diproduksi selama beberapa tahun terakhir? Apakah produksi barang industri
manufaktur meningkat (menunjukan proses produksi yang makin tak bergantung
alam); Apakah produktifitas pertanian meningkat, terutama dalah hal menjamin kecukupan
pangan seluruh rakyat?; Apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang
industrialisasi?; Apakah yang diproduksi cukup variatif dan ada yang menjadi
andalan atau ciri utama perekonomian? Apakah barang dan jasa yang diproduksi
dapat diperdagangkan (ekspor) cukup besar porsinya, sehingga dapat mencukupi
kebutuhan pembayaran luar negeri?
Kedua, BAGAIMANA cara memproduksi berbagai barang dan jasa
tersebut? Apakah penggunaan tenaga kerja sudah cukup optimal?; bagaimana efisiensi
penggunaan modal?; apakah teknologi produksi berkembang cukup baik? Seberapa
besar ketergantungan proses produksi kepada pihak luar negeri?; Apakah
bergantung pada sedikit atau banyak jenis input? Sejauh apa porsi peran pemerintah?
Bagaimana komposisi antar produsen dalam pelaku ekonomi, porsi BUMN, swasta
domestik, dan swasta asing?
UNTUK SIAPA saja barang dan jasa dibagikan? Bagaimana
distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat?; Apakah kemiskinan telah tertangani
dengan baik?; apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan?; Seberapa
banyak surplus yang dibawa ke luar negeri?
Jika di atas tadi sudah dikutipkan beberapa penjelasan
otoritas ekonomi yang mengklaim kuatnya fundamental ekonomi Indonesia.
Pandangan yang berkebalikan dapat diberikan, yang menilai fundamental ekonomi
kita amat rapuh atau perekonomian sangat rentan terhadap goncangan eksternal.
Selain argumen dari Anwar Nasution di atas, cara mengartikan fundamental tadi
akan memberi penilaian yang berbeda pula. Sebagai contoh, dalam hal apa, akan
tampak struktur produksi (PDB) belum lah kokoh; produksi pangan makin tidak
mencukupi; industri pengolahan tak tumbuh dengan baik, sehingga hasilnya tak
memenuhi berbagai kebutuhan utama. Dalam hal bagaimana, dapat dikemukakan
antara lain: Pengangguran memang sedikit turun, namun separuh penduduk yang bekerja
dalam kondisi rentan, posisinya tak aman, dan imbalan yang diperoleh jauh dari
memadai; Ketergantungan pada faktor produksi yang berasal dari luar negeri
makin menguat; peran pemerintah makin terkendala oleh kondisi keuangannya yang
selalu dalam kesulitan; Peran BUMN kurang jelas arahnya, dan tak jarang
menghambat perkembangan korporasi domestic; Kekuatan oligarki ekonomi makin
dominan. Dalam hal untuk siapa, berdasar data dan indikator yang lebih
menyeluruh dan detil, soalan kemiskinan dan ketimpangan justeru memburuk.
Atas dasar pemikiran tersebut, rangkaian tulisan berikut akan bertemakan “Fundamental
Ekonomi yang Rapuh”. Adapun topik masing-masing tulisan nanti adalah: 1) Pertumbuhan Ekonomi dan kualitasnya; 2) Kondisi ketenagakerjaan Indonesia;
3) Ketahanan ekonomi atas goncangan eksternal; 4) Beban utang Pemerintah dan
Utang Luar Negeri; 5) Iklim investasi dan kemudahan berusaha; 6) Kondisi
ketahanan pangan dan petani kecil; 7) Masalah kemiskinan dan ketimpangan belum
teratasi.
Bersambung ke bagian 2