Selasa, 28 Agustus 2018

RAPBN 2019 BELUM MENCERMINKAN KEMANDIRIAN


Pemerintah mengatakan bahwa RAPBN 2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Klaim mandiri dijelaskan dengan dua hal. Pertama, kontribusi penerimaan perpajakan yang makin meningkat. Kedua, pembiayaan utang yang makin menurun.

Pemerintah mengedepankan kontribusi perpajakan terhadap Pendapatan Negara yang terus meningkat, dari 74,0% pada tahun 2014 menjadi 83,1% dalam RAPBN 2019. Argumen ini dapat diterima sebatas perbandingan via a vis dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Porsi PNBP memang cenderung menurun. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)



PNBP sendiri masih lebih mengandalkan penerimaan SDA, termasuk minyak dan gas. Porsinya masih 48,46% (Rp169,20 triliun) dalam outlook APBN 2018 dan direncanakan 49,33% (Rp178,11 triliun). PNBP dari bagian laba BUMN cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir, di kisaran 40 triliun rupiah, dan hanya ditargetkan Rp45,59 triliun. PNBP dari pendapatan BLU dan PNBP lainnya juga cenderung stagnan, karena memang secara langsung berkaitan dengan layanan publik yang notabene tidak mengejar keuntungan atau kenaikan pendapatan. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)



Bisa difahami jika argumen kemandirian lebih terkait dengan tak mengandalkan PNBP dari penerimaan SDA lagi, seperti di masa satu dua dasawarsa lalu. Penerimaan jenis ini memang amat fluktuatif dan bergantung kondisi global, terutama harga komoditasnya.

Meskipun demikian, mandiri mustinya lebih dikaitkan dengan sumber pendanaan dari utang. Mandiri jika tak lagi bergantung kepada penambahan utang baru. Pemerintah jelas mengerti hal ini, sehingga argumen yang disampaikan adalah fakta pembiayaan utang yang makin menurun.

Pembiayaan utang adalah tambahan utang secara neto, yaitu pencairan utang baru dikurangi pelunasan.  Ditargetkan sebesar Rp359,28 triliun. Target yang hanya sedikit turun dibanding outlook APBN 2018 sebesar Rp387,4 triliun. Bahkan, jika dilihat era 2015 – 2018 (pemerintahan Jokowi), tak terjadi penurunan yang signifikan (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu). Dengan kata lain, dana dari utang masih memiliki porsi yang amat besar dalam APBN.



Pembiayaan utang dalam RAPBN 2019 memang makin mengandalkan penerbitan SBN. SBN secara neto, penerbitan baru dikurangi yang jatuh tempo dan buyback, adalah sebesar Rp386,21 triliun. Lebih besar dibandingkan dengan rencana pembiayaan utang, karena pinjaman luar negeri neto direncanakan minus. Pelunasan pinjaman lebih besar dibandingkan pencairannya. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menunjukkan kemandirian yang meningkat. Hampir 40% SBN berdenominasi rupiah yang dapat diperjualbelikan dimiliki oleh asing. Hampir seluruh SBN berdenominasi valuta asing dimiliki asing. Pola kepemilikan ini tak ada petanda akan berubah dalam waktu singkat. Penerbitan SBN baru pun masih akan mengandalkan pihak asing untuk membelinya.

Dengan demikian, RAPBN 2019 memang tampak lebih mandiri dibanding outlook APBN 2018. Perlu diingat bahwa pembiayaan utang tahun 2015-2017 sempat meningkat, sehingga upaya 2019 ini dapat dikatakan lebih untuk memperbaiki kondisi sebelumnya. Secara umum, RAPBN belum dapat dikatakan mandiri. Masih cukup bergantung pada tambahan utang. Dan tambahan utang itu terutama sekali diperoleh dari pihak asing.