Pemerintah mengatakan bahwa RAPBN
2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Klaim mandiri
dijelaskan dengan dua hal. Pertama, kontribusi penerimaan perpajakan yang makin
meningkat. Kedua, pembiayaan utang yang makin menurun.
Pemerintah mengedepankan kontribusi
perpajakan terhadap Pendapatan Negara yang terus meningkat, dari 74,0% pada tahun
2014 menjadi 83,1% dalam RAPBN 2019. Argumen ini dapat diterima sebatas
perbandingan via a vis dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Porsi PNBP
memang cenderung menurun. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)
PNBP sendiri masih lebih
mengandalkan penerimaan SDA, termasuk minyak dan gas. Porsinya masih 48,46% (Rp169,20
triliun) dalam outlook APBN 2018 dan direncanakan 49,33% (Rp178,11 triliun).
PNBP dari bagian laba BUMN cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir, di
kisaran 40 triliun rupiah, dan hanya ditargetkan Rp45,59 triliun. PNBP dari
pendapatan BLU dan PNBP lainnya juga cenderung stagnan, karena memang secara
langsung berkaitan dengan layanan publik yang notabene tidak mengejar
keuntungan atau kenaikan pendapatan. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)
Bisa difahami jika argumen kemandirian
lebih terkait dengan tak mengandalkan PNBP dari penerimaan SDA lagi, seperti di
masa satu dua dasawarsa lalu. Penerimaan jenis ini memang amat fluktuatif dan
bergantung kondisi global, terutama harga komoditasnya.
Meskipun demikian, mandiri
mustinya lebih dikaitkan dengan sumber pendanaan dari utang. Mandiri jika tak
lagi bergantung kepada penambahan utang baru. Pemerintah jelas mengerti hal
ini, sehingga argumen yang disampaikan adalah fakta pembiayaan utang yang makin
menurun.
Pembiayaan utang adalah tambahan
utang secara neto, yaitu pencairan utang baru dikurangi pelunasan. Ditargetkan sebesar Rp359,28 triliun. Target yang
hanya sedikit turun dibanding outlook APBN 2018 sebesar Rp387,4 triliun. Bahkan,
jika dilihat era 2015 – 2018 (pemerintahan Jokowi), tak terjadi penurunan yang
signifikan (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu). Dengan kata lain, dana dari utang masih memiliki porsi yang amat
besar dalam APBN.
Pembiayaan utang dalam RAPBN 2019
memang makin mengandalkan penerbitan SBN. SBN secara neto, penerbitan baru
dikurangi yang jatuh tempo dan buyback, adalah sebesar Rp386,21 triliun. Lebih
besar dibandingkan dengan rencana pembiayaan utang, karena pinjaman luar negeri
neto direncanakan minus. Pelunasan pinjaman lebih besar dibandingkan
pencairannya. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menunjukkan kemandirian
yang meningkat. Hampir 40% SBN berdenominasi rupiah yang dapat diperjualbelikan
dimiliki oleh asing. Hampir seluruh SBN berdenominasi valuta asing dimiliki
asing. Pola kepemilikan ini tak ada petanda akan berubah dalam waktu singkat.
Penerbitan SBN baru pun masih akan mengandalkan pihak asing untuk membelinya.
Dengan demikian, RAPBN 2019 memang
tampak lebih mandiri dibanding outlook APBN 2018. Perlu diingat bahwa pembiayaan
utang tahun 2015-2017 sempat meningkat, sehingga upaya 2019 ini dapat dikatakan
lebih untuk memperbaiki kondisi sebelumnya. Secara umum, RAPBN belum dapat
dikatakan mandiri. Masih cukup bergantung pada tambahan utang. Dan tambahan
utang itu terutama sekali diperoleh dari pihak asing.