Dalam Nota Keuangan yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari APBN selalu dijelaskan tentang asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi
acuan perhitungan umum angka anggaran. Perubahan angka asumsi akan langsung
mengubah postur anggaran pada sisi belanja, pendapatan, dan pembiayaan. Nota
Keuangan juga mengemukakan tentang risiko fiskal akibat perbedaan antara realisasi
dengan angka asumsi itu, dilengkapi dengan perhitungannya.
Salah satu asumsi dasar adalah tentang nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika. Bahkan, dalam wacana publik, Sri Mulyani telah
berulangkali mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
akan memberikan dampak positif pada APBN. Untuk RAPBN 2019, beberapa hari lalu
dijelaskan bahwa setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS dapat memberikan tambahan
pendapatan neto sebesar Rp 900 miliar hingga Rp 1,5 triliun.
Jika dicermati dokumen Nota Keuangan, perhitungan dimaksud
adalah pelemahan dari asumsi APBN secara rata-rata sepanjang tahun anggaran. Bukan
kurs 1 Januari dibandingkan 31 Desember, misalnya. Pada APBN 2018, asumsi nilai
tukar adalah Rp13.400. Realisasinya masih akan dinamis dan diperhitungkan secara
rata-rata hingga akhir tahun. Ketika RAPBN 2019 diajukan kepada DPR, Pemerintah
telah memiliki realisasi satu semester 2018 dan membuat outlook realisasi kurs hingga
akhir tahun, yakni sebesar Rp13.973, artinya akan ada selisih Rp573.
(Gambar disalin dari Nota Keuangan RAPBN 2019)
Nota keuangan menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan
negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan tersebut terjadi
terutama pada anggaran yang menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat sebagai
komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, fluktuasi nilai tukar
rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas
perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea
masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan
berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja
negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan
berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, DAU, serta DBH
migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara itu, pada sisi pembiayaan,
fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada pinjaman luar negeri, baik
pinjaman program maupun pinjaman proyek, penerusan pinjaman, dan pembayaran
cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Dalam perhitungan Nota Keuangan APBN 2018, setiap pelemahan
Rp100 per 1USD akan mengakibatkan pendapatan negara bertambah sekitar Rp3,4 –
Rp3,9 triliun. Baik dari kenaikan penerimaan perpajakan maupun karena PNBP SDA
migas. Sedangkan belanja negara akan bertambah sekitar Rp2,2 – Rp3,4 triliun. Perhitungan
secara presisi terkait beberapa realisasi teknis nantinya.
(Gambar disalin dari Nota Keuangan APBN 2018)
Sebenarnya analisis sensitivitas satu variabel seperti kurs
ini berkaitan pula dengan asumsi ekonomi makro lainnya. Sebagai contoh asumsi pertumbuhan
ekonomi akan mempengaruhi perpajakan yang sebagiannya akan dihitung terkait
kurs. Begitu pula dengan harga migas dan liftingnya. Oleh karena itu, dalam
RAPBN 2018, sensitivitas perubahan nilai tukar mengalami perubahan
perhitungannya. Jika pengaruh netonya dalam APBN 2018 adalah kelebihan Rp 1,5
hingga Rp 1,6 triliun tiap selisih melemah Rp100 dari asumsi, maka pada RAPBN
2019 menjadi hanya Rp900 miliar hingga Rp1,5 triliun.
Sebagaimana disebut di atas, Pemerintah telah memiliki
realisasi satu semester 2018 dan secara resmi membuat outlook kurs hingga akhir
tahun, yakni sebesar Rp13.973. Dengan selisih melemah Rp573 itu, secara
perhitungan sensitivitas akan ada tambahan bersih (neto) sekitar Rp8,60 hingga
Rp9,17 triliun. Dalam perkembangan terkini, tampaknya realisasi kurs rata-rata
setahun akan di kisaran Rp14.100, atau selisihnya adalah Rp700 dari asumsi. Tambahan
netonya bagi APBN dapat mencapai Rp11 triliun.
Hanya saja musti diingat dua hal. Pertama, perhitungan baru dari sisi deviasi kurs, belum asumsi yang
lain. Jika dilihat dari harga minyak, akan bersifat menambah. Sedangkan dari
pertumbuhan ekonomi dan lifting akan mengurangi. Sejauh ini, keseluruhan
deviasi asumsi ekonomi makro tampaknya memang akan lebih menambah surplus dan
kelebihan pembiayaan. Kedua, dampak
ekonomi pelemahan rupiah bagi perekonomian secara keseluruhan. Yang pada
giliran berikut akan amat mempengaruhi realisasi APBN 2019.
Bagaimanapun suatu perencanaan anggaran yang baik adalah
yang realisasinya sesuai atau amat mendekati asumsi dan target. Kebijakan yang
didasari asumsi yang tak realistis berdampak pada banyak aspek, yang pada
umumnya dampak buruk, meski seandainya pendapatan bertambah.