RAPBN 2019 mentargetkan Pendapatan Negara sebesar Rp2.142.524,1
miliar, dan merencanakan belanja negara sebesar Rp2.439.687,5 miliar. Akan ada
defisit anggaran sebesar Rp297.163,3 miliar atau setara 2,12% dari PDB. Untuk
mengatasi defisit tersebut, maka diperlukan penerimaan yang dalam catatan APBN
tidak digolongkan Pendapatan, melainkan disebut dengan pembiayaan anggaran.
Per definisi, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dengan
demikian, pembiayaan dapat bersifat pengeluaran ataupun penerimaan. Sebagai
contoh, yang disebut pembiayaan utang besifat penerimaan karena menerima dana
dari trasaksi berutang. Membayar cicilannya bersifat pengeluaran. Berbagai item
pembiayaan biasanya dinyatakan dalam jumlah bersih (neto) dari pengeluaran dan
penerimaan.
Pembiayaan utang saat ini dibutuhkan untuk membiayai defisit
anggaran. Selain itu juga untuk membiayai pengeluaran yang tidak digolongkan
pada belanja, melainkan pembiayaan yang bersifat pengeluaran. Contoh
pengeluaran pembiayaan adalah investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, dan pemberian
pinjaman kepada BUMN atau Pemda.
Secara teoritis bisa saja pembiayaan utang lebih kecil dari
defisit dalam satu tahun anggaran. Misalnya karena pada tahun itu, ada banyak
pengembalian pinjaman dari BUMN/Pemda, penjualan aset atau divestasi saham
BUMN. Penjualan atau divestasi banyak dilakukan pada era BPPN dahulu. Sejak
tahun 2005 hingga kini, pembiayaan utang selalu lebih besar dibandingkan
defisit anggaran.
RAPBN 2019 merencanakan defisit sebesar Rp297,16 triliun.
Sedangkan pembiayaan utang sebesar Rp359.279,1 miliar. Hal itu dikarenakan
pos-pos pembiayaan lain secara neto bersifat pengeluaran.
Dapat pula diartikan,
pemerintah berencana menambah utangnya sebesar pembiayaan utang tersebut.
Nilainya memang sedikit menurun dibanding realisasi 2017 sebesar Rp429,08
triliun dan outlook APBN 2018 sebesar Rp387,36 triliun. Meski masih terbilang
jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun lampau, nampaknya Pemerintah telah
memperhatikan berbagai kritik yang berkembang tentang utang. Kenaikan atau
penambahan utang karena pembiayaan utang pun cenderung diupayakan turun.
Kemudian apakah posisi utang pemerintah pada akhir 2019 hanya
akan bertambah sebesar itu pula? Masih akan ada penambahan ataupun pengurangan
posisi utang yang disebabkan perubahan kurs rupiah, karena porsi valuta asing
masih sekitar 40% dari total utang. Khusus yang berdenominasi dolar Amerika
masih sekitar 30%. Sebagai contoh, outlook APBN tahun 2018 menyebut pembiayaan
utang sebesar Rp387,4 triliun. Posisi utang pemerintah akhir 2017 adalah
sebesar Rp3.938,45 triliun, namun posisi utang pada akhir 2018 kemungkinan akan
sebesar Rp4.425 triliun. Bertambah diluar pembiayaan utang sekitar Rp100
triliun. Per tanggal 8 Juli 2018 saja posisi utang pemerintah sudah Rp4.253 triliun.
Untuk tahun 2019, kita belum tahu pengaruh kurs ini. Jika asumsi kurs Rp14.400
dalam RAPBN 2019 tercapai, maka posisi utang akhir 2019 hanya akan bertambah
sebesar pembiayaan utang atas posisi utang akhir 2018 nanti.