Bank Indonesia (2009) mengatakan, “Jika kita ingin
mengetahui laba/rugi suatu perusahaan pada suatu tahun maka kita dapat melihat
Laporan Rugi Laba (Income Statement)
perusahaan tersebut. Jika kita ingin mengetahui surplus atau defisit negara
akibat transaksi ekonomi yang dilakukannya dengan negara lain maka kita dapat
membaca…Neraca Pembayaran (Balance of
Payments)“. Selama belasan tahun terakhir, Neraca Pembayaran Indonesia
(NPI) cenderung mengalami surplus. NPI hanya mengalami defisit pada tahun 2008,
2013 dan 2015, dalam jumlah yang tak seberapa besar. NPI pada tahun 2018 memang
terancam mengalami defisit, karena hingga akhir Juni telah defisit sebesar 8,16
miliar USD.
Bagian terpenting dari NPI adalah Transaksi Berjalan (Current Account) yang memang sejak tahun
2012 selalu mengalami defisit. Defisitnya selama ini meski cenderung membesar,
masih bisa ditutupi oleh surplus dalam Transaksi Finansial. Namun, surplus
Transaksi Finansial pada tahun 2018 tampaknya akan lebih kecil dibanding
tahun-tahun sebelumnya.
Kinerja NPI sebenarnya tak bisa difahami sepenuhnya jika
hanya melihat kondisi dalam satu tahun, apalagi satu triwulan. Beberapa pos
pada suatu tahun adalah akibat transaksi tahun-tahun sebelumnya, dan berdampak
setelahnya. Sebagai contoh utama adalah yang terkait dengan transaksi utang.
Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah atau
swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang tercatat dalam
Transaksi Finansial pada NPI. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan
dan pembayaran bunga, maka akan tercatat pula sebagai arus ke luar. Tentu saja
dapat diperdebatkan “hasil bersih” nya dikaitkan dengan apakah utang itu
berhasil meningkatkan ekpor. Namun akibat yang bersifat segera adalah hal yang
disebut pertama. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai
perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta
diawasi dan coba dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah
berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.
ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan
melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Kini lajunya memang sedikit
melambat sehingga posisinya pada akhir Juni 2018 adalah 176,01 miliar USD, hampir
sama dengan ULN Pemerintah sebesar 176,48 miliar USD.
ULN yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat
oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta, yang posisinya cenderung meningkat
selama 10 tahun terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan
posisi pada akhir Juni 2018 adalah sebesar 34,76 miliar USD. Terlepas dari
kebutuhan dan manfaatnya, ULN BUMN kemudian ikut memberi tekanan pada Transaksi
Berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia, karena harus membayar bunga dan
cicilan.
Dilihat dari porsinya, ULN BUMN
kini mencapai 19,75% dari total ULN swasta. Bandingkan dengan kondisi pada
tahun 2007 yang masih 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%.
Dilihat dari denominasi ULN,
maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN
swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya,
seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari
sisi ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar makin membesar.
Jika dilihat dari jangka waktu
peminjaman, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun)
kini memiliki porsi sekitar 25,88%. Porsi ini memang cenderung stabil selama
sepuluh tahun terakhir. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu
memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi
rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut
tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.
Secara umum, kondisi terkini
dari ULN swasta memang masih jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997/1998. Masih
terlihat aman jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan
bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Namun, kewaspadaan
otoritas ekonomi atas dinamika ULN tetap diperlukan mengingat kondisi global
belakangan ini yang masih mungkin akan menyulitkan di waktu mendatang. ULN BUMN
mustinya salah satu yang bisa segera dikendalikan.
Perlu dicatat bahwa ulasan
tulisan ini bersifat umum, hanya melihat data-data keseluruhan dan
pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja timbul dari korporasi
swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor
krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika,
namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik.