Jumat, 07 September 2018

DEFISIT PENDAPATAN PRIMER MAKIN MENEKAN TRANSAKSI BERJALAN


Pelemahan rupiah memang terutama disebabkan faktor eksternal, seperti langkah Trump dan krisis di beberapa negara. Namun secara fundamental, Indonesia juga tak bisa dinilai kuat, meski tak terbilang rapuh. Salah satu sebabnya adalah defisit Transaksi Berjalan (Current Account) yang telah berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut.

Selama Januari hingga akhir Juni 2018, defisit Transaksi Berjalan mencapai USD13,75 miliar. Transaksi berjalan tersebut mencakup empat bagian, yang berbentuk neraca juga. Yaitu: 1. Neraca Barang yang surplus USD2,61 miliar (ekspor sebesar USD88,14 miliar dan impor sebesar USD85,53 miliar); 2. Neraca Jasa yang defisit USD3,34 miliar; 3. Neraca Pendapatan Primer yang defisit USD16,06 miliar; 4. Neraca Pendapatan Sekunder yang surplus USD3140.79 miliar.



Upaya pemerintah untuk menekan impor dengan menaikkan tarif 1.147 pos, diharapkan akan memberi kontribusi perbaikan, sepanjang tidak menyebabkan ekspor juga menurun. Begitu pula upaya mempersuasi atau memaksa agar eksportir memasukan seluruh devisanya ke dalam negeri. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dari kondisi defisit Transaksi Berjalan selama empat tahun terakhir, yang paling membebani adalah defisit pendapatan primer (Primary Income).

Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Arus masuk (inflow) pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk; sementara arus keluar (outflow) pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya.

Neraca Pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat, yaitu: USD29,70 miliar (2014), USD28,38 miliar (2015), USD29,65 miliar (2016), dan USD32,90 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018 telah defisit USD16,06 miliar.



Perkembangan defisit Pendapatan Primer secara triwulanan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama beberapa triwulan terakhir, meski nilainya fluktuatif.


Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus. Dari arus modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun kompensasinya kemudian akan muncul sebagai pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer. Kondisi surplus Transaksi Finansial selama beberapa tahun terakhir adalah:USD44,92 miliar (2014), USD16,84 miliar (2015), USD29,31 miliar (2016), dan USD29,18 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018, surplus sebesar USD6,40 miliar.



Jika dicermati salah satu bagian dari transaksi finansial, yaitu investasi portofolio, secara tahunan selalu mengalami surplus sejak tahun 2004, dan hanya beberapa kali triwulan yang mengalami defisit. Nilai surplusnya memang fluktuatif, dan selama empat tahun (2014-2017) terbilang cukup besar. Dengan kata lain pembelian SBN, obligasi korporasi dan saham mengalami peningkatan signifikan. Laju ini mulai tertahan sejak triwulan III-2017, dan neto satu semester 2018 masih defisit. Amat mungkin, tahun 2018 akan menjadi kondisi pertama kali defisit investasi portofolio sejak 2004. Kemungkinan itu bisa tak terjadi jika imbal hasil yang ditawarkan naik signifikan dan kepercayaan investor asing atas kondisi Indonesia tetap terjaga.


Pada sisi lain, jika transaksi finansial tetap surplus dalam jumlah yang besar, maka tekanan pada neraca pendapatan primer di waktu berikutnya, akan meningkat. Secara lebih khusus, investasi portofolio memang memiliki dua sisi dilihat dari NPI keseluruhan. Peningkatan arus masuk (surplusnya) akan menambah devisa pada triwulan atau tahun berjalan. Akan tetapi, untuk membuat itu terjadi pada kondisi saat ini, maka akan ada tekanan pada arus pendapatan primer di waktu selanjutnya.

Dengan demikian, kebijakan untuk “mengelola” Transaksi Finansial dan Pendapatan Primer memang musti cermat dan harus dilakukan konsisten. Koordinasi antar otoritas ekonomi (Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah) musti lebih kuat dan bersifat sinergis. Penanganan jangka pendek tetap harus memperhitungkan beban jangka menengah dan panjang dari transaksi berjalan, dan pada akhirnya bagi perekonomian keseluruhan.