Rabu, 26 September 2018

UTANG PEMERINTAH BERTAMBAH TAK SESUAI RENCANA


Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah masih aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk keperluan produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang diprioritaskan. Diingatkan pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era pemerintahan sebelumnya.

Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. Perpres itu menyebutkan bahwa RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun, serta merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2014.

Secara teknis, pemerintah era sebelumnya memang berkewajiban menyiapkan rancangan teknokratik. Namun, penentuan hal yang bersifat pokok telah dilakukan selama kurun 2,5 bulan setelah pelantikan Presiden. Selain itu, langkah membuat tim Transisi Jokowi-JK telah memberi kesempatan yang cukup untuk membahas ide pokok dan berbagai sasaran dan target.

Pada buku I dan buku II RPJMN 2015 – 2019 dijelaskan tentang berbagai sasaran ekonomi nasional, yang bahkan disajikan juga berupa tabel. Ada 14 indikator, termasuk tentang posisi utang pemerintah yang dinyatakan dalam persentasi atas Produk Domestik Bruto (PDB).

 “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), dan 28,98% (2017).

Posisi utang pemerintah pada akhir Agustus 2018 sebesar Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Rasionya atas PDB tahun 2018 berdasar asumsi APBN yang sebesar Rp14.395 triliun, adalah 30,31%. Jika kurs rupiah tetap stabil seperti saat ini, maka posisi utang pemerintah diperkirakan masih akan bertambah karena realisasi APBN 2018 terkait pembiayaan utang. Tambahan diluar faktor kurs rupiah sekitar Rp125 triliun, sehingga posisi utang menjadi Rp4.488 triliun pada akhir tahun 2018. Rasio utang akan tetap sedikit di atas 30%.

Mengingat target RPJMN tentang posisi utang pemerintah pada akhir 2018 adalah 21,1% dari PDB, maka target posisi utang sebesar Rp3.037 triliun. Target meleset jauh dibandingkan perkiraan realisasi posisi sebesar Rp4.488 triliun tadi. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka RAPBN 2019, maka akan meleset lebih besar lagi pada akhir tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 19,3%.



Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Bahkan masih meleset dari target yang ditetapkan pada 27 Nopember 2017 dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam kepmen yang belum berumur setahun itu sebesar 29,3%.

Tambahan utang tiap tahun memang naik signifikan pada era pemerintahan Jokowi. Posisi utang pada akhir Oktober 2014 sebesar Rp2.601 triliun, naik menjadi Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka pada APBN 2018 dan RAPBN 2019, jika kurs rupiah stabil di level sekarang setahun ke depan, maka posisi utang pada Oktober 2019 akan di kisaran Rp4.795 triliun.



Dengan demikian, utang bertambah sebesar Rp2193 triliun atau sekitar 84,31% pada era Pemerintahan Jokowi. Sebagai perbandingan, tambahan utang era SBY-Boediono (Oktober 2009-Oktober 2014) bertambah Rp999 triliun atau 62,36%. Sedangkan pada periode SBY-JK bertambah Rp352 triliun atau 28,16%.

Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan dan risiko utang, tampak bahwa realisasi utang pemerintah tak pernah sesuai dengan target jangka menengah, baik RPJMN maupun Kepmen. Bahkan masih meleset dari rencana tahunan yang ditetapkan setahun sebelumnya. Pemerintah terpaksa merevisi satu atau dua kali dalam setahun tentang rencana utangnya. Perbaikan rencana utang adalah keniscayaan di masa mendatang.