Jumat, 19 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 6)

Iklim Investasi Dan Kondisi Usaha Mikro dan Kecil Masih Belum Baik
Investasi diakui secara luas sebagai faktor terpenting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Besaran dan laju pertumbuhan investasi merupakan salah satu penentu angka pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia didukung oleh otoritas ekonomi lainnya berupaya keras agar iklim investasi terus membaik. Iklim investasi antara lain mencakup kemudahan berusaha, kepastian usaha, dan potensi keuntungan atau kembalian dari modal yang ditanamkan.

Kebijakan otoritas ekonomi pun diupayakan mencakup semua aspek tersebut. Pemerintahan Jokowi mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi, diantaranya yang menonjol adalah Online Single Submission (OSS) atau Sistem Perizinan Terpadu Daring dan berbagai keringanan pajak untuk menarik investasi (tax allowence dan tax holiday). Bank Indonesia dan Otoritas Jasa keuangan juga membuat kebijakan pendukung di bidang moneter dan bidang perbankan agar iklim investasi makin sehat dan membaik. Sebagaimana era pemerintahan sebelumnya, Pemerintahan Jokowi terutama berharap besar pada arus masuk investasi modal asing.

Upaya tersebut tampaknya mulai membuahkan hasil. Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves (Januari 2019) memuji Indonesia sebagai negara negara tujuan investasi yang cukup menjanjikan. Dia menilai makin baiknya iklim investasi, yang terlihat dari lima tanda. Pertama, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kuat, rata-rata 5% per tahun dari 2015 hingga 2017. Kedua, fundamental ekonomi yang baik dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang solid. Ketiga, pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi. Keempat, surat utang Indonesia yang berada pada level investment grade. Kelima, lelang surat utang negara terbaru yang selalu oversubscribed rata-rata hingga 2,5 kali.

Iklim Iinvestasi di Indonesia memang tampak makin membaik, atau sekurangnya tidak buruk,  jika dilihat dari data realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). PMDN meningkat setiap tahun dan mencapai Rp328,6 triliun pada tahun 2018. Sedangkan PMA berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat, meski realisasi tahun 2018 sebesar USD290 miliar lebih rendah dibanding tahun 2017.


Investasi yang cenderung meningkat tersebut belum diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi masih tetap bertahan di kisaran 5%, dan dua era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Untuk menentukan penyebabnya memang diperlukan kajian yang lebih menyeluruh dan mencermati lintas faktor, namun salah satu indikasi adalah dari tingginya Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. ICOR merupakan rasio antara investasi dengan pertumbuhan output. ICOR yang tinggi menujukkan tingkat efisiensi yang masih rendah.

Pemerintah mengklaim terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3. Sebelumnya sempat di level 6,64 pada tahun 2015. Akan tetapi jika dibandingkan ICOR negara se-kawasan, Indonesia lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. ICOR Malaysia sebesar 4,6, Filipina sebesar 3,7, Thailand sebesar 4,5, dan Vietnam sebesar 5,2. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.

Dapat pula dikatakan bahwa ICOR sangat dipengaruhi soal kemudahan dalam berbisnis dan daya saing pasar tenaga kerja. ICOR yang tinggi dan bertahan lama mengindikasikan masih banyak soalan struktural yang terkait dengan investasi. Ada beberapa indikasi yang cukup jelas. Sebagai contoh, peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia dalam hasil survei Bank Dunia pada laporan edisi 2019 adalah ke-73 dunia dari 190 negara, dan itu turun satu tingkat dari sebelumnya. OSS yang belum lama diterapkan juga merupakan pengakuan bahwa selama ini koordinasi masih tumpang tindih dan aturan main kadang tidak jelas bagi investasi. Dalam perspektif investor asing, diketahui bahwa mereka memiliki pilihan yang kurang banyak dan kurang leluasan atas instrumen investasi dan sektor riil investasi. Ketidakpastian dalam hal regulasi ketenagakerjaan juga menjadi isu yang penting dari sudut pandang investor. ICOR tertekan dari dua sisi dalam konteks ketenagakerjaan, pertumbuhan upah rata-rata sekitar 8–9% per tahun, sedangkan tingkat produktivitas pekerja hanya di kisaran 3%.

Kebutuhan akan investasi asing yang sangat besar kadang menimbulkan dilema pilihan kebijakan jika dikaitkan dengan neraca pendapatan primer (Primary Income Balance) yang telah dibahas pada bagian terdahulu. Masuknya investasi asing tadi akan menimbulkan kewajiban pembayaran di waktu kemudian, seperti keuntungan dan bunga. Jumlah pembayaran ke pihak asing yang dilakukan pada tahun 2018 mencapai USD39,58 miliar, naik hampir dua setengah kali lipat dibanding tahun 2009 yang masih sebesar USD16,99 miliar.

Dengan menimbang akan adanya tekanan pada neraca pendapatan primer di kemudian hari, maka tidak bisa kebijakan berorientasi asal masuk modal asing sebesar-besarnya. Perlu kajian mendalam dan kebijakan lintas otoritas (termasuk Pemerintah Daerah) yang menghasilkan bauran kebijakan (policy mix) yang memperhitungkan neraca perdagangan, transaksi berjalan, ICOR, daya saing, dan lain sebagainya. Soalan pun akan menjadi lebih rumit dan sensitif dikaitkan dengan kekhawatiran banyak pihak atau “persepsi” atas dominasi asing.

Dilihat dari aspek teknis ekonomi, arus masuk PMA memang dibutuhkan agar investasi meningkat yang akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun perlu tambahan pertimbangan agar memprioritaskan investasi yang dapat menghasilkan devisa, agar mampu membayar kewajiban di kemudian hari. Akan lebih baik jika porsi besar PMA adalah ke dalam sektor yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan (ekspor). PMA di negara berkembang biasanya diharapkan pula dapat memperbaiki teknologi produksi secara berkelanjutan, yang pada gilirannya menurunkan ICOR atau meningkatkan efisiensi. Salah satu cara mengeliminasi “persepsi negatif” atas modal asing adalah dengan memperlihatkan manfaat nyatanya bagi perekonomian dan bagi hidup rakyat banyak.

Persoalan lain yang kini sering mendapat sorotan dalam hal iklim investasi adalah peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peran BUMN tampak meningkat selama era Jokowi, yang antara lain ditunjukkan oleh pertumbuhan pengeluaran investasi (capital expenditure) dan kinerja keuangan lainnya. Peningkatan peran ini positif dalam satu hal, karena sesuai amanat konstitusi, serta dinilai lebih dapat dikontrol oleh Pemerintah. Namun menimbulkan reaksi negatif dari pelaku usaha yang telah existing di sektor usaha yang makin didominasi oleh BUMN. Dalam jangka menengah dan panjang memang diperlukan harmoninasi antar pelaku usaha ini, melalui regulasi dan kebijakan yang lebih memberi kepastian dan rasa keadilan bagi semua pihak.


Sejauh ini pembahasan kita dapat dikatakan menyangkut pelaku usaha menengah dan besar, baik domestik (termasuk BUMN) maupun asing. Sementara itu, jumlah pelaku usaha yang berskala mikro dan berskala kecil (UMK) sebenarnya jauh lebih banyak. Jumlah usaha nonpertanian menurut Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan adalah sebanyak 26,42 juta usaha. Terdiri dari usaha mikro dan usaha kecil (UMK) sebanyak 26,07 juta usaha, dan usaha menengah dan usaha besar (UMB) sebanyak 348,57 ribu usaha.

Peran UMK dalam perekonomian Indonesia telah sering diakui oleh Pemerintah, dan berbagai kajian para ahli pun memberi konfirmasi. Kontribusi terbesar UMK adalah pada penyerapan tenaga kerja, yang berdasar Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan mencapai 59,27 juta orang. Wajar jika tiap era pemerintahan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bermaksud membantu dan mendorong perkembangan UMK.

Salah satu kebijakan terkait itu yang menonjol adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang telah dimulai oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. KUR dinilai berhasil oleh banyak pihak, dan bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diakui juga oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai program andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR diharapkan akan bisa memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan cara mempermudah akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi merupakan perbaikan signifikan atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan kredit, digandakan dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah lebih banyak subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan. Realiasasi penyaluran KUR dilaporkan terus meningkat pesat, baik dari sisi nilai kredit maupun jangkauan penerimanya. Pada tahun 2018 dilaporkan telah disalurkan kredit dengan skema KUR sekitar Rp120 triliun dengan 4,44 juta orang debitur.

KUR tampaknya memang sedikit membantu UMK, terutama dalam hal menurunkan biaya modal, karena bunga nya yang tersubsidi. Cukup banyak pula UMK yang baru memperoleh kredit, setelah sebelumnya tidak bisa mengakses kredit perbankan. Akan tetapi klaim keberhasilan tereliminasi oleh berbagai fakta lain. Data porsi dan pertumbuhan nilai kredit UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) ternyata tidak mengalami peningkatan berarti. Porsi kredit UMKM justeru turun dan kemudian relatif stagnan pada periode 2015 hingga tahun 2018, menjadi kembali di bawah 20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Sejak tahun 2015, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit non UMKM yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM, atau setidaknya hanya tumbuh dengan kecepatan setara.


Perkembangan jumlah rekening kredit UMKM pun tidak terjadi peningkatan yang signifikan, dalam arti dampak KUR tak terlampau besar. Pada saat KUR tahun 2018 dikucurkan pada sekitar 4,44 juta debitur, statistik tentang kredit UMKM hanya menunjukkan penambahan 382 ribu rekening. Jumlah rekening kredit usaha mikro memang meningkat cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada kredit usaha kecil dan usaha menengah. Ada indikasi kuat terjadinya perpindahan status nasabah, dari kredit kecil dan menengah ke kredit mikro. Bahkan dari yang dulunya nonUMKM, menjadi kredit UMKM. Meski secara teknis, KUR mensyaratkan tidak sedang memperoleh kredit lainnya, namun hal itu mudah disiasasti. Tekanan agar petugas bank meningkatkan jangkauan KUR sering mengurangi dampak positif yang diharapkan dalam hal jangkauan program.  


Kondisi makin tidak menggembirakan jika dilihat nilai kredit yang diterima oleh usaha mikro dan usaha kecil hanya separuh dari UMKM. Separuhnya lagi diterima oleh usaha menengah yang tetap dicatat sebagai UMKM.

Persoalan lain dari usaha mikro dan usaha kecil adalah kecepatannya untuk berganti jenis atau sektor usaha, namun tetap dalam skala yang mikro atau kecil. Upaya mengembangkan UMK bukan berarti selalu menambah jumlah usahanya, melainkan bagaimana memperbaiki kondisi usaha dan kondisi hidup para pelakunya. Sebagai contoh informasi data yang memberi indikasi bahwa hasil yang diperoleh oleh usaha mikro secara rata-rata masih dibawah upah pekerja atau buruh. Usaha mikro dalam data ini diwakili oleh status berusaha sendiri.


Keberhasilan kebijakan yang mendorong perkembangan UMK mustinya tercermin pula dalam peningkatkan skala usahanya secara umum. Misalnya, terjadi peningkatan cukup banyak usaha kecil menjadi usaha menengah. Data BPS yang dapat dijadikan indikasi menunjukkan bahwa tak terjadi perubahan signifikan dalam hal itu. Jumlah UMK hasil sensus ekonomi 2016 meningkat lebih pesat dibanding UMB meningkatporsi, bias dengan membandingkan sensus ekonomi 2006 dengan 2016. Diperkuat pula oleh data BPS tentang ketenagakerjaan tentang pekerja berstatus usaha dibantu buruh tetap yang mencerminkan UMB justeru menurun persentasinya.


Persoalan terakhir, namun paling mendasar dari kondisi dunia usaha Indonesia adalah dominasi sekelompok pelaku usaha yang makin membesar, hingga dapat disebut fenomena oligarki ekonomi. Oligarki ekonomi tersebut tumbuh dalam proses puluhan tahun, yang antara lain memanfaatkan relasi erat pelaku usaha dengan pelaku politik yang berkuasa. Antara lain tercermin dari informasi bahwa Indonesia menempati urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2017 versi The Economist. Hal itu didukung antara lain oleh fakta-fakta berikut: Lonjakan kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa politik; Beberapa industri besar cenderung mengandalkan rente; Praktik kartel, monopoli dan lobi-lobi bisnis menjadi cara  yang diduga sering dilakukan pengusaha dengan melibatkan aparat negara. Dapat ditambahkan bahwa sektor bisnis yang rentan terjadinya kartel antara lain di sektor telekomunikasi, industri berbasis sumber daya alam, real estate, konstruksi dan pertahanan.

Dari keseluruhan uraian di atas, iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Kebijakan investasi tampaknya belum menyeluruh dan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan fundamental. Daya saing memang sedikit membaiki, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, dan kebijakan atas UMK.
Bersambung