Selasa, 16 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 8)


Masalah Kemiskinan dan Ketimpangan Belum Teratasi
Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan ekonomi tidak terlampau besar, tidak ada kecenderungan meneningkat. Secara lebih khusus, porsi pendapatan atau pengeluaran dari kelompok terbawah relatif meningkat, sekurangnya tidak mengecil.   

Pemerintah era Jokowi mengklaim memiliki prestasi luar biasa dengan mengedepankan data penurunan angka kemiskinan dan menyebut bahwa pertama kalinya mencapai angka satu digit. Sedangkan klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dilakukan dengan mengemukakan  indeks gini yang turun. Klaim tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti atas data atau rincian data, serta melihatnya dalam horison waktu yang lebih panjang, untuk melakukan asesmen atas fundamental ekonomi.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tingkat kemiskinan adalah salah satu indikator yang dinilai penting dan ditetapkan sebagai target dalam tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN yang berkurun waktu 5 tahun ditetapkan pada awal era masing-masing pemerintahan. Faktanya kemudian, tingkat kemiskinan tidak pernah tercapai pada tiga RPJMN dari tiga periode Pemerintahan terakhir. RPJMN menargetkan 8,2% pada tahun 2009, realisasinya 14,2% atau selisih kurang sebesar 5,0%. RPJMN menargetkan 9,0% pada tahun 2014, realisasinya 11,0% atau selisih kurang sebesar 2,0%. RPJMN menargetkan 7,5% pada tahun 2019, realisasi diprakirakan di kisaran 9,5%, atau selisih kurang sebesar 2%.



Angka kemiskinan di Indonesia amat rentan meningkat dalam waktu singkat, jika terjadi krisis ekonomi. Hanya butuh waktu dua tahun, 1996-1998, angka kemiskinan naik 12%, dan butuh waktu 15 tahun, 1999-2014, untuk kembali ke angka kemiskinan tahun 1996. Jika dilihat dari jumlah orangnya, penduduk miskin pada September tahun 2018 sebanyak 25,67 juta orang, masih lebih besar dibanding tahun 1996 yang sebanyak 22,5 juta orang. Menteri Bambang Brodjonegoro bahkan mengingatkan jumlah penduduk miskin itu jelas masih sangat besar, dan sama dengan jumlah penduduk Australia.

Publik umumnya hanya mengetahui tentang angka atau tingkat kemiskinan (%) dan jumlah penduduk miskin, yang diukur dengan Garis Kemiskinan (GK). Mereka yang berada dibawah garis disebut miskin, dan yang diatasnya tidak miskin. Sebenarnya, BPS juga menghitung dan mengelompokan penduduk menjadi lima kelompok penduduk berdasar garis kemiskinan. Hanya data ini tidak dipublikasi melalui berita resmi statistik, melainkan dalam buku analisa tentang kemiskinan yang terdiri dari banyak aspek. Data yang dipublikasi luas biasanya hanya untuk kondisi Maret saja (publikasi Desember), karena sampel Susenas yang jauh lebih banyak dibanding kondisi September.

Pengelompokannya adalah sebagai berikut: Sangat Miskin, Miskin, Hampir Miskin, Rentan Miskin Lainnya, dan Tidak Miskin. Dua kelompok terbawah, yaitu sangat miskin dan miskin itu sama dengan kategori miskin dalam publikasi yang popular. Sedangkan tiga kelompok lainnya masuk kategori tidak miskin. Keempat kelompok yang disebut dengan tambahan istilah miskin itu menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) memiliki banyak kesamaan ciri dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup sulit dibedakan. Program perlindungan sosial atau penanganan kemiskinan dari Pemerintah pun umumnya menyasar keempat kelompok itu, tidak hanya yang berkategori miskin saja. Jumlah mereka pada Maret 2018 adalah sebesar 90,22 juta orang atau 34,15% dari total penduduk Indonesia.

Sebagai contoh selama periode Maret 2014 hingga Maret 2018 terjadi penurunan tingkat kemiskinan dan berkurangnya jumlah penduduk miskin, dalam kategori hanya dibawah garis kemiskinan. Akan tetapi terjadi peningkatan persentasi dan jumlah penduduk yang sangat miskin, yang memakai ukuran kurang dari 0,8 garis kemiskinan. Penduduk sangat miskin bertambah dari 8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57% menjadi 3,57% dari total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat miskin bertambah dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara persentasi dari 4,65% menjadi 5,17%.


BPS juga menghitung tingkat kedalaman kemiskinan, yaitu rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan, yang disebut indeks kedalaman kemiskinan (P1). Makin tinggi nilai P1, berarti makin jauh rata-rata pengeluaran dari garis kemiskinan. P1 nasional hanya sedikit berkurang, bahkan sempat mengalami kenaikan dalam beberapa tahun. P1 nasional pada September 2014 sebesar 1,75 yang memang turun menjadi 1,63 pada September 2018, namun sempat naik. Bahkan, P1 perdesaan justeru memburuk, dari 2,25 menjadi 2,32, dan tidak pernah berada di bawah P1 per September 2014. Artinya rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perdesaan makin jauh lebih kecil (dibawah) dari garis kemiskinannya.


BPS menghitung dan menyajikan data tentang distribusi diantara penduduk miskin itu sendiri dengan memakai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin terjadi ketimpangan antar mereka. Selama era pemerintahan Presiden Jokowi, P2 hanya sedikit berkurang, bahkan sempat mengalami kenaikan dalam beberapa tahun. P2 nasional pada September 2014 sebesar 0,44 turun sedikit menjadi 0,41 pada September 2018, namun sempat naik. Bahkan P2 perdesaan justeru memburuk, dari 0,57 menjadi 0,62, dan tidak pernah berada di bawah P2 per September 2014. Hal ini memperkuat fakta sebelumnya tentang bertambahnya penduduk sangat miskin di perdesaan.


Sebagaimana umum difahami, distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang diakui penting dilihat sebagai ukuran kemiskinan relatif atau ukuran ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih kesulitan memperoleh data pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan didekati memakai data pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer dan dikedepankan oleh Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan mempublikasikan beberapa ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil, Indeks-L, kriteria Bank Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.

Indeks-L adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih sensitif untuk melihat perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok bawah (penduduk miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada kelompok bawah lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai perbandingan, gini ratio lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga dibaca makin timpang jika makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru sedikit meningkat, dari 0,165 menjadi 0,173.

BPS juga menghitung dan mempublikasikan distribusi pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa porsi dari 40% kelompok terbawah dari total pengeluaran penduduk. Berdasar ukuran ini, kondisi ketimpangan di perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk terbawah di perdesaan berkurang dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).

Indikator lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah melihat porsi kuintil terbawah dan rasio dari kuintil teratas dibanding yang terbawah. Basis datanya serupa dengan kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran (satu kuintil sama dengan 20% penduduk), mulai dari kuintil terendah (Q1) sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin tinggi.

Sebagai contoh perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan, Q1 memiliki porsi 7,98% dari total pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi 40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah 5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1 sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1 mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau ketimpangan di perdesaan meningkat.

Dengan demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian ukuran tentang kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun, sebagian besar ukuran lainnya justeru memburuk. Bisa dikatakan bahwa secara umum, kemiskinan dan ketimpangan belum membaik secara signifikan dan masih menjadi soalan penting ekonomi Indonesia.

Sementara itu, ketimpangan antar wilayah (kepulauan) juga belum tampak ada perbaikan yang signifikan selama hampir satu dekade. Pemerintahan era Jokowi yang berulang kali menyebut hal tersebut menjadi prioritas pembangunan, kurang berhasil menampakkannya dalam distribusi porsi PDB (pendapatan nasional). Pulau Jawa pada tahun 2014 memiliki porsi 57,39% justeru meningkat menjadi 58,48% pada tahun 2018. Perubahan distribusi adalah hanya antar kepulauan lainnya.


Sebenarnya, semua era Pemerintahan telah mengatakan komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin, serta akan mengurangi tingkat ketimpangan. Komitmen itu antara lain ditindaklanjuti dengan cukup besarnya alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Jika dilihat besaran alokasi anggaran dengan hasilnya pada berbagai indicator yang kita bahas di atas, jelas ada indikasi tentang kurang efektifnya program dan kebijakan.  Dapat pula berarti kebijakan tersebut dilaksanakan dan memiliki dampak positif, namun dinamika perekonomian secara umum mereduksinya, karena terjadi pula proses pemiskinan dari dinamika itu.  


Kesimpulan umum dalam bahasan bagian tulisan ini adalah fundamental ekonomi Indonesia tidak dapat dikatakan kuat, bahkan cenderung rapuh. Masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.