Masalah Kemiskinan
dan Ketimpangan Belum Teratasi
Suatu
perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah
mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Jumlah penduduk
miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap
tahun. Ketimpangan ekonomi tidak terlampau besar, tidak ada kecenderungan meneningkat. Secara lebih khusus, porsi pendapatan atau pengeluaran dari kelompok terbawah relatif meningkat, sekurangnya tidak mengecil.
Pemerintah
era Jokowi mengklaim memiliki prestasi luar biasa dengan mengedepankan data
penurunan angka kemiskinan dan menyebut bahwa pertama kalinya mencapai angka satu
digit. Sedangkan klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dilakukan dengan
mengemukakan indeks gini yang turun. Klaim
tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti atas data atau rincian
data, serta melihatnya dalam horison waktu yang lebih panjang, untuk melakukan asesmen atas fundamental ekonomi.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tingkat kemiskinan adalah
salah satu indikator yang dinilai penting dan ditetapkan sebagai target dalam
tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN yang berkurun
waktu 5 tahun ditetapkan pada awal era masing-masing pemerintahan. Faktanya
kemudian, tingkat kemiskinan tidak pernah tercapai pada tiga RPJMN dari tiga
periode Pemerintahan terakhir. RPJMN menargetkan 8,2% pada tahun 2009,
realisasinya 14,2% atau selisih kurang sebesar 5,0%. RPJMN menargetkan 9,0%
pada tahun 2014, realisasinya 11,0% atau selisih kurang sebesar 2,0%. RPJMN
menargetkan 7,5% pada tahun 2019, realisasi diprakirakan di kisaran 9,5%, atau
selisih kurang sebesar 2%.
Angka kemiskinan di Indonesia amat rentan meningkat dalam waktu singkat, jika terjadi krisis ekonomi.
Hanya butuh waktu dua tahun, 1996-1998, angka kemiskinan naik 12%, dan butuh
waktu 15 tahun, 1999-2014, untuk kembali ke angka kemiskinan tahun 1996. Jika
dilihat dari jumlah orangnya, penduduk miskin pada September tahun 2018 sebanyak
25,67 juta orang, masih lebih besar dibanding tahun 1996 yang sebanyak 22,5
juta orang. Menteri Bambang Brodjonegoro bahkan mengingatkan jumlah penduduk
miskin itu jelas masih sangat besar, dan sama dengan jumlah penduduk Australia.
Publik umumnya hanya mengetahui tentang angka atau tingkat
kemiskinan (%) dan jumlah penduduk miskin, yang diukur dengan Garis Kemiskinan
(GK). Mereka yang berada dibawah garis disebut miskin, dan yang diatasnya tidak
miskin. Sebenarnya, BPS juga menghitung dan mengelompokan penduduk menjadi lima
kelompok penduduk berdasar garis kemiskinan. Hanya data ini tidak dipublikasi
melalui berita resmi statistik, melainkan dalam buku analisa tentang kemiskinan
yang terdiri dari banyak aspek. Data yang dipublikasi luas biasanya hanya untuk
kondisi Maret saja (publikasi Desember), karena sampel Susenas yang jauh lebih
banyak dibanding kondisi September.
Pengelompokannya adalah sebagai berikut: Sangat Miskin,
Miskin, Hampir Miskin, Rentan Miskin Lainnya, dan Tidak Miskin. Dua kelompok
terbawah, yaitu sangat miskin dan miskin itu sama dengan kategori miskin dalam
publikasi yang popular. Sedangkan tiga kelompok lainnya masuk kategori tidak
miskin. Keempat kelompok yang disebut dengan tambahan istilah miskin itu
menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) memiliki
banyak kesamaan ciri dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup sulit dibedakan.
Program perlindungan sosial atau penanganan kemiskinan dari Pemerintah pun
umumnya menyasar keempat kelompok itu, tidak hanya yang berkategori miskin
saja. Jumlah mereka pada Maret 2018 adalah sebesar 90,22 juta orang atau 34,15%
dari total penduduk Indonesia.
Sebagai contoh selama periode Maret 2014 hingga Maret 2018 terjadi
penurunan tingkat kemiskinan dan berkurangnya jumlah penduduk miskin, dalam kategori
hanya dibawah garis kemiskinan. Akan tetapi terjadi peningkatan persentasi dan
jumlah penduduk yang sangat miskin, yang memakai ukuran kurang dari 0,8 garis
kemiskinan. Penduduk sangat
miskin bertambah dari 8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57%
menjadi 3,57% dari total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat
miskin bertambah dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara
persentasi dari 4,65% menjadi 5,17%.
BPS juga menghitung tingkat kedalaman kemiskinan, yaitu rata-rata pengeluaran penduduk
miskin dari garis kemiskinan, yang disebut indeks kedalaman kemiskinan (P1). Makin
tinggi nilai P1, berarti makin jauh rata-rata pengeluaran dari garis
kemiskinan. P1 nasional hanya sedikit berkurang, bahkan sempat mengalami
kenaikan dalam beberapa tahun. P1
nasional pada September 2014 sebesar 1,75 yang memang turun menjadi 1,63 pada
September 2018, namun sempat naik. Bahkan, P1 perdesaan justeru memburuk, dari
2,25 menjadi 2,32, dan tidak pernah berada di bawah P1 per September 2014. Artinya rata-rata pengeluaran
penduduk miskin di perdesaan makin jauh lebih kecil (dibawah) dari garis kemiskinannya.
BPS menghitung dan menyajikan data tentang distribusi
diantara penduduk miskin itu sendiri dengan memakai Indeks Keparahan Kemiskinan
(P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin terjadi ketimpangan antar mereka.
Selama era pemerintahan Presiden Jokowi, P2 hanya sedikit berkurang, bahkan sempat
mengalami kenaikan dalam beberapa tahun. P2 nasional pada September 2014
sebesar 0,44 turun sedikit menjadi 0,41 pada September 2018, namun sempat naik.
Bahkan P2 perdesaan justeru memburuk, dari 0,57 menjadi 0,62, dan tidak pernah
berada di bawah P2 per September 2014. Hal ini memperkuat fakta sebelumnya
tentang bertambahnya penduduk sangat miskin di perdesaan.
Sebagaimana
umum difahami, distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang
diakui penting dilihat sebagai ukuran kemiskinan relatif atau ukuran
ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih kesulitan memperoleh data
pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan didekati memakai data
pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer dan dikedepankan oleh
Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan
mempublikasikan beberapa ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil,
Indeks-L, kriteria Bank Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.
Indeks-L
adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih sensitif untuk melihat
perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok bawah (penduduk
miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada kelompok bawah
lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai perbandingan, gini ratio
lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga dibaca makin timpang jika
makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru sedikit meningkat, dari
0,165 menjadi 0,173.
BPS juga
menghitung dan mempublikasikan distribusi pengeluaran penduduk menurut kriteria
Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa porsi dari 40% kelompok terbawah dari
total pengeluaran penduduk. Berdasar ukuran ini, kondisi ketimpangan di
perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk terbawah di perdesaan berkurang
dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).
Indikator
lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah melihat porsi kuintil terbawah dan
rasio dari kuintil teratas dibanding yang terbawah. Basis datanya serupa dengan
kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran
(satu kuintil sama dengan 20% penduduk), mulai dari kuintil terendah (Q1)
sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti
ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin tinggi.
Sebagai contoh
perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan, Q1 memiliki porsi 7,98% dari total
pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi 40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah
5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat
dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1
sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1
mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau ketimpangan di perdesaan meningkat.
Dengan
demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian ukuran tentang kemiskinan
dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun, sebagian besar ukuran
lainnya justeru memburuk. Bisa dikatakan bahwa secara umum, kemiskinan dan ketimpangan belum membaik secara signifikan dan masih menjadi soalan penting ekonomi Indonesia.
Sementara itu, ketimpangan antar wilayah (kepulauan)
juga belum tampak ada perbaikan yang signifikan selama hampir satu dekade.
Pemerintahan era Jokowi yang berulang kali menyebut hal tersebut menjadi
prioritas pembangunan, kurang berhasil menampakkannya dalam distribusi porsi
PDB (pendapatan nasional). Pulau Jawa pada tahun 2014 memiliki porsi 57,39%
justeru meningkat menjadi 58,48% pada tahun 2018. Perubahan distribusi adalah hanya
antar kepulauan lainnya.
Sebenarnya, semua era Pemerintahan telah mengatakan
komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin, serta akan
mengurangi tingkat ketimpangan. Komitmen itu antara lain ditindaklanjuti dengan
cukup besarnya alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial dan penanggulangan
kemiskinan. Jika dilihat besaran alokasi anggaran dengan hasilnya pada berbagai
indicator yang kita bahas di atas, jelas ada indikasi tentang kurang efektifnya
program dan kebijakan. Dapat pula
berarti kebijakan tersebut dilaksanakan dan memiliki dampak positif, namun
dinamika perekonomian secara umum mereduksinya, karena terjadi pula proses
pemiskinan dari dinamika itu.
Kesimpulan umum dalam bahasan bagian tulisan
ini adalah fundamental ekonomi Indonesia tidak dapat dikatakan kuat, bahkan
cenderung rapuh. Masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat
laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.