Perekonomian yang Rentan atas Guncangan Eksternal
“Kondisi perekonomian
Indonesia jauh lebih baik dibanding 20 tahun lalu. Reformasi kebijakan yang
telah dilakukan di sektor perbankan, moneter, dan kelembagaan, pascakrisis
1997-1998 telah memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Hal tersebut
menyebabkan kondisi fundamental Indonesia menjadi lebih tahan terhadap
guncangan eksternal," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
(4/10/2018). Cukup jelas bahwa ukuran kekuatan fundamental ekonomi menurut beliau
adalah daya tahan atas guncangan eksternal.
Tidak perlu menunggu datangnya
guncangan eksternal yang besar, kita musti menakar diri terlebih dahulu dalam
kaitannya dengan itu. Tidak akan memadai jika mengklaim sebagai kuat, jika yang
dihadapi baru guncangan eksternal yang relatif kecil, seperti ketidakpastian ekonomi
global atau kebijakan the Fed satu dua kali saja.
Hal-hal berikut akan
menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi dalam menghadapi guncangan
eksternal jika terjadi. Bagaimana
kondisi defisit Transaksi Berjalan selama beberapa tahun terakhir? Seberapa
kuat struktur ekspor? Apakah surplus dan defisit neraca perdagangan barang
lebih karena faktor eksternal atau kemampuan produksi domestik? Apakah komponen
impor dalam ekspor industri pengolahan meningkat atau menurun? Seberapa besar
tekanan dari defisit neraca pendapatan primer (keuntungan investasi, bunga
utang, dan lainnya) saat ini dan proyeksi ke depannya? Apakah terjadi
peningkatan ketergantungan pada arus masuk investor asing dalam investasi
portofolio makin besar, serta kepada makin sedikit pihak? Seberapa sensitif
perekonomian nasional terhadap kondisi dan kebijakan negara maju? Seberapa rawan
kemungkinan terjadinya sudden reversal kini dan tahun-tahun mendatang?
Bagian tulisan ini hanya akan membahas
sebagiannya saja. Salah satu yang paling mendasar adalah kondisi Transaksi
berjalan (Current Acount). Transaksi
Berjalan merupakan catatan keluar masuknya devisa akibat perdagangan
(transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya juga berbentuk
neraca, yaitu: 1. Barang (Goods); 2.
Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan
Primer (Primary Income); dan 4.
Pendapatan Sekunder (Secondary Income).
Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu
surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit
hingga mencapai rekor pada tahun 2018 sebesar USD31,06 miliar.
Bank Indonesia menilai kondisi
yang demikian masih aman dan terkendali, namun pihak lain bisa saja mengartikan
sebaliknya. Pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah
kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah
kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah
devisa itu perlu bersumber dari kesinambungan produksi, bukan dari sesuatu yang
menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing.
Terjaganya kecukupan devisa harus berasal dari sumber-sumber yang fundamental,
karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama beberapa triwulan atau
satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Namun,
hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan kecenderungan
defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita
sebagai rawan atau rentan.
Neraca Barang mencakup
transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun
nonmigas. Neraca barang selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017
selalu mencatatkan surplus. Nilainya sempat cenderung meningkat pada tahun 2013
– 2017, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika
dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus
neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih
rendah. Dan untuk pertama kalinya mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar
USD431 juta.
Masalah yang bersifat fundamental
dalam neraca barang memang bukan soal surplus atau defisitnya, melainkan fakta bahwa struktur ekspor masih kurang kokoh. Baik
dilihat dari aspek komoditas maupun negara tujuan. Kelompok barang yang berasal
dari ekstrasi hasil alam dan yang hanya sedikit diolah masih memiliki porsi
cukup besar. Selain bernilai tambah tidak maksimal, harga komoditasnya pun amat
fluktuatif, dan Indonesia bukan penentu harga. Barang ekspor yang berasal dari industri
pengolahan juga masih memiliki konten impor dalam porsi besar. Secara
keseluruhan, ragam barang ekspor masih kurang bervariasi, dan komoditas
unggulan bersifat kurang menentukan dalam pasar internasional. Sedangkan dalam
hal tujuan negara ekspor, sebaran negara masih kurang tersebar luas, dan porsi
beberapa negara tampak terlampau besar.
Neraca jasa-jasa antara lain
mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan,
jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa
keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai
berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight
terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi
negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang
berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa
perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang
kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar USD7,10
miliar. Dilihat dari aspek fundamental, ketergantungan pada jasa asing masih
terus berlangsung.
Transaksi pendapatan primer yang bersifat outflow antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung
asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman
luar negeri. Nilai yang berupa pembayaran ke pihak asing cenderung terus
meningkat, dan mencapai USD39,58 miliar pada tahun 2018. Kecenderungan naik terutama
sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus
modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus
masuk memang memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada
tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya
akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu
berikutnya.
Publik telah mengetahui bahwa ekonomi Indonesia menerima arus
masuk modal dari luar, baik berupa investasi langsung, investasi portofolio,
atau transaksi keuangan lainnya. Otoritas ekonomi sering membanggakan hal ini
sebagai indikasi kredibelnya ekonomi nasional. Bukankah tak mungkin pihak lain
mau berinvestasi atau memberi utang jika tak yakin akan ada hasil kembalian (return) berupa keuntungan dan pembayaran
bunga utang. Namun, dalam jangka menengah dan Panjang musti dipertimbangkan
apakah “kemampuan membayar” atas itu meningkat sepadan, bahkan lebih besar.
Sebagai suatu negara (bukan hanya Pemerintah), transaksi berutang dan kerjasama
investasi adalah lazim, sepanjang menguntungkan dikemudian hari.
Untuk memahami penyebab besarnya
arus keluar dalam neraca pendapatan primer tadi, kita perlu mencermati Transaksi
Finansial selama tahun-tahun sebelumnya. Transaksi Finansial adalah bagian
neraca pembayaran yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban
finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial antara lain terdiri dari
investasi langsung dan investasi portofolio. Investor langsung berharap untuk
mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau
memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan
afiliasinya.
Investor portofolio cenderung
lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki
pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi
investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun
di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui
bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan
investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh.
Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah
menggeser investasi mereka ke wilayah lain.
Secara tahunan, investasi
portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Surplusnya
pada tahun 2018 jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, dan terendah
sejak tahun 2013. Sedangkan secara triwulanan, investasi portofolio pernah
mengalami beberapa kali defisit.
Dilihat dari aspek fundamental,
dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran
Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa
tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik
atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis
transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat.
Selain hal yang disebutkan di
atas, investasi portofolio tampak “berpotensi” memperburuk kondisi jika terjadi
guncangan eksternal adalah karena nilai posisinya yang sudah amat besar bagi
ukuran perekonomian Indonesia. Posisi dari nilai investasi portofolio sisi
kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada akhir 2018 sebesar USD268,9
miliar, atau sekitar 30% dari PDB. Sebesar itulah “modal finansial” yang cukup likuid
untuk keluar dalam waktu singkat. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke
luar negeri sebesar jumlah itu, namun nilainya bersifat potensial. Bahkan,
untuk mengguncang atau memperburuk guncangan, 10 hingga 20 persen saja yang keluar
mendadak dalam kurun satu minggu hingga satu bulan, maka akan terjadi krisis
ekonomi.
Kesimpulan umum dalam bagian tulisan ini menguatkan asesmen
bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dikatakan kuat, justeru tampak
rapuh. Dalam ungkapan lebih sederhana, perekonomian yang mengalami defisit
transaksi berjalan selama 7 tahun berturut-turut dalam nilai yang cukup besar,
bisa dipastikan memiliki masalah dan potensi masalah saat ini dan di kemudian
hari.
Bersambung