Rabu, 10 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 5)


Beban Utang Pemerintah yang Makin Berat
Sri Mulyani mengatakan utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan standar internasional. Selain itu, defisit anggaran yang mencapai 1,7 persen juga disebutnya masih aman. (22 Januari 2019). Penjelasan tentang utang dan defisit APBN yang aman serta terkendali serupa ini berulang kali disampaikan kepada publik oleh para pejabat negara.

Kondisi keuangan pemerintah jelas merupakan hal fundamental dalam perekonomian nasional, antara lain karena memiliki porsi yang cukup besar dalam hal produksi, konsumsi, dan investasi. Perlu diperiksa lebih teliti kebenaran klaim pemerintah tentang keberhasilan mengendalikan defisit APBN tersebut. Bagaimana kenaikan posisi utang pemerintah selama 5-10 tahun terakhir, dan apakah memang betul-betul aman jika diproyeksikan hingga beberapa tahun ke depan. Perlu difahami bahwa posisi utang itu sendiri bukan masalah utamanya, melainkan beban pembayarannya. Perlu dicermati mengenai seberapa besar peningkatan beban pembayaran bunga utang dan cicilan utang ataupun pelunasan selama ini dan ke depannya. Apakah realisasi telah sesuai dengan perencanaan utang pemerintah dalam jangka menengah, sepertu RPJMN atau Keputusan Menteri Keuangan? Selain utang pemerintah, perlu dianalisis mengenai utang sektor publik, yang mencakup utang BUMN. Secara keseluruhan dapat digambarkan aspek fundamental dari keuangan pemerintah, yaitu seberapa kuat jaminan akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang.

Realisasi APBN selama era reformasi selalu mengalami defisit, atau jumlah nilai belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Sejak tahun 2011, Belanja cenderung naik lebih cepat dibanding Pendapatan, sehingga defisit pun makin besar. Pada tahun 2018, defisit memang berhasil sedikit ditekan menjadi lebih kecil dibanding tahun sebelumnya. Namun, APBN 2019 merencanakan defisit yang nilainya kembali lebih besar.   

Dalam analisis, yang lebih banyak dipakai bukan nilai nominal dari defisit, melainkan rasio atau persentasenya atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dianggap mewakili besaran pendapatan nasional. Defisit secara nominal mungkin saja naik pada suatu tahun dibanding tahun sebelumnya, namun tercatat turun jika dilihat dari rasionya atas PDB. Meskipun tak setajam kenaikan defisit dalam nominal dan mengalami fluktuasi, kecenderungan rasio itu tetap meningkat. Jika target APBN 2019 terpenuhi, maka rata-rata defisit era Jokowi-Jusuf Kalla (2015-2019) sebesar 2,23% dari PDB. Sedangkan pada era Era SBY-Boediono (2010-2014) sebesar 1,58%, dan era SBY-Jusuf Kalla (2005 – 2009) sebesar 0,80%.

Dengan demikian, klaim defisit dapat dikendalikan dan aman memang tidak salah jika memakai patokan yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu 3% dari PDB. Akan tetapi jika dilihat dari kecenderungannya yang meningkat dan hampir selalu di atas 2% selama era Presiden Jokowi, maka keuangan pemerintah tak bisa disebut sehat, dan berpotensi menyulitkan kesinambungan fiskal.


Defisit APBN saat ini seluruhnya ditutupi dengan utang. Di masa awal reformasi, sebagian defisit sempat ditutupi dengan penjualan aset negara. Oleh karena hanya dibiayai oleh utang, maka posisi utang pun terus bertambah besar. Selain untuk menutupi defisit anggaran, utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lainnya yang tidak termasuk dalam belanja. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain adalah: investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Dalam APBN saat ini dikenal istilah pembiayaan utang, yang pada prinsipnya adalah rencana tambahan utang karena defisit dan karena kebutuhan pengeluaran pembiayaan tadi. Sebagai contoh, APBN 2019 merencanakan defisit sebesar Rp 296 trilyun, sedangkan pembiayaan utangnya sebesar Rp359,28 trilyun. Pembiayaan utang merupakan rencana tambahan utang neto pada tahun bersangkutan. Disebut tambahan utang neto karena telah memperhitungkan pelunasan dan cicilan utang lama.

Perubahan posisi utang atau sisa utang (outstanding) pada akhir tahun dalam realisasi tidak sama dengan nilai pembiayaan utang, karena ada faktor lain yang juga besar, yaitu perubahan kurs rupiah. Sekitar sepertiga dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing, yang sebagian besarnya dalam dolar Amerika. Jika terjadi pelemahan kurs rupiah, maka posisi utang yang dinyatakan dalam rupiah akan bertambah, serta sebaliknya. Sebagai contoh, posisi utang Pemerintah adalah Rp4.418,30 trilyun per 31 Desember 2018, atau bertambah Rp479,85 trilyun dibanding posisi Rp3.938,45 per 31 Desember 2017. Pembiayaan utang tahun 2018 hanya sebesar Rp366,66 trilyun.


Pemerintah sendiri saat ini masih tetap yakin dan selalu menjelaskan utangnya aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang yang dikemukakan adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, yang jauh dibawah  batas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar 60%. Bagaimanapun, kecenderungan  kenaikan rasio utang belakangan ini bukan lah petanda baik. Setelah sempat melampaui 50% di awal era reformasi, rasio utang telah berhasil diturunkan tiap tahun. Posisi rasio terendah dicapai pada akhir tahun 2012 sebesar 22,95%. Rasio naik kembali menjadi 24,90% pada tahun 2013 dan hanya sedikit turun menjadi 24,74% pada tahun 2014. Sejak tahun 2015, rasio terus meningkat dan mencapai 29,98% pada akhir tahun 2018. Diprakirakan tahun 2019 akan melampaui 30%.




Salah satu yang jarang dianalisis adalah perkembangan posisi dan rasio utang dibandingkan dengan perencanaannya dalam jangka menengah. Hal ini penting karena menunjukkan seberapa besar faktor yang tidak atau kurang terkontrol oleh Pemerintah, yang sekaligus memberi satu indikasi tentang fundamental ekonomi. Target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap tahun pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset amat jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), 28,98% (2017), dan 29,98% (2018).


Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Bahkan realisasi tahun 2018 masih meleset dari target yang ditetapkan setahun sebelumnya pada 27 Nopember 2017, dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021.

Pemakaian rasio utang atas PDB sebagai salah satu ukuran tentang aman dan tidaknya utang pemerintah antara lain adalah memperkirakan kemampuan membayar beban utang kini dan di masa datang. Peningkatan PDB dinilai akan meningkatkan pendapatan atau kemampuan membayar utang dari pemerintah. Sebagaimana diketahui, PDB adalah salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan pendapatan pemerintah, swasta dan rakyat perseorangan.

Dengan alasan serupa, mustinya diperiksa pula bagaimana perkembangan rasio antara posisi utang dengan pendapatan negara. Karena bisa saja laju peningkatan pendapatan negara tidak secepat laju pertumbuhan PDB. Pendapatan Negara memiliki hubungan langsung dan seketika dengan beban pembayaran bunga dan pelunasan utang. Kecenderungan rasionya terus menaik sejak tahun 2014, meski sedikit menurun pada tahun 2018, seiring dengan pendapatan yang melebihi target. Bagaimanapun rasio tahun 2018 masih sebesar 227,48%, artinya posisi utang sekitar 2,27 kali lipat dibandingkan dengan pendapatan negara.


Utang Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya. Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Ada pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN), biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Pembayaran bunga utang terus meningkat sejak tahun 2011, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi. Bahkan nilai kenaikannya pun turut meningkat. APBN 2019 merencanakan kenaikan yang lebih kecil, namun nilai pembayaran bunga utangnya tetap naik, yaitu sebesar Rp275,89 trilyun.


Sebagaimana diketahui, pembayaran cicilan atau pelunasan utang tidak dicatat sebagai belanja, melainkan sebagai pengeluaran pembiayaan. APBN 2019 merencanakannya sebesar Rp474,68 trilyun. Jika dijumlahkan antara pelunasan dengan bunga, maka total keduanya sebesar Rp750,57 trilyun. Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp2.165,1 trilyun.  Berarti rasio antara pelunasan dan bunga utang berbanding pendapatan sebesar 34,67%, atau lebih dari sepertiganya, serta tertinggi sejak tahun 2004.


Dalam kaitannya dengan fundamental ekonomi, selain utang pemerintah, perlu pula dianalisis mengenai utang sektor publik. Utang sektor publik adalah utang pemerintah ditambah dengan utang Bank Indonesia dan utang BUMN. Utang sektor publik terus meningkat dan mencapai Rp9.371,94 triliun pada akhir tahun 2018. Jika dilihat rasionya atas PDB telah mencapai 63,60%. Rasio tertinggi selama era reformasi, dan telah dua tahun melampaui 60%.



Pemerintah saat ini berusaha menjelaskan bahwa sebagian besar yang dicatat sebagai utang BUMN adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank BUMN. DPK itu merupakan simpanan masyarakat yang terdiri dari tabungan, deposito dan giro. Namun, jika dilihat perkembangan utang yang dipisah dengan DPK bank BUMN, tampak bahwa pertumbuhan yang pesat tetap saja utang nonDPK. DPK tahun 2018 hanya naik dari Rp3.207 T menjadi Rp3.219 T atau sebesar 0,37%. Utang nonDPK naik dari Rp1.623 T menjadi Rp2.394 T atau sebesar 47,5%.

Dari ulasan di atas, kondisi keuangan pemerintah dalam perspektif asesmen fundamental ekonomi adalah tentang seberapa kuat jaminan akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Meski mungkin masih aman dalam satu dua tahun ke depan, dalam hal ini tampak indikasi pelemahan fundamental ekonomi Indonesia.
Bersambung.