Beban Utang Pemerintah
yang Makin Berat
Sri Mulyani mengatakan utang pemerintah terhadap produk
domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen yang masih sangat rendah bila dibandingkan
dengan standar internasional. Selain itu, defisit anggaran yang mencapai 1,7
persen juga disebutnya masih aman. (22 Januari 2019). Penjelasan tentang utang
dan defisit APBN yang aman serta terkendali serupa ini berulang kali
disampaikan kepada publik oleh para pejabat negara.
Kondisi keuangan pemerintah jelas merupakan hal fundamental dalam
perekonomian nasional, antara lain karena memiliki porsi yang cukup besar dalam hal
produksi, konsumsi, dan investasi. Perlu diperiksa lebih teliti kebenaran klaim pemerintah tentang keberhasilan
mengendalikan defisit APBN tersebut. Bagaimana kenaikan posisi
utang pemerintah selama 5-10 tahun terakhir, dan apakah memang betul-betul aman jika
diproyeksikan hingga beberapa tahun ke depan. Perlu difahami bahwa posisi utang itu sendiri bukan
masalah utamanya, melainkan beban pembayarannya. Perlu dicermati
mengenai seberapa besar peningkatan beban pembayaran bunga utang dan cicilan utang ataupun pelunasan selama ini dan ke depannya. Apakah realisasi telah sesuai dengan perencanaan utang pemerintah
dalam jangka menengah, sepertu RPJMN atau Keputusan Menteri Keuangan? Selain
utang pemerintah, perlu dianalisis mengenai utang sektor publik, yang mencakup utang
BUMN. Secara keseluruhan dapat digambarkan aspek fundamental dari keuangan
pemerintah, yaitu seberapa kuat jaminan akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal
dalam jangka menengah dan panjang.
Realisasi APBN selama era reformasi selalu mengalami defisit, atau jumlah nilai
belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Sejak tahun 2011, Belanja cenderung
naik lebih cepat dibanding Pendapatan, sehingga defisit pun makin besar. Pada
tahun 2018, defisit memang berhasil sedikit ditekan menjadi lebih kecil
dibanding tahun sebelumnya. Namun, APBN 2019 merencanakan defisit yang nilainya
kembali lebih besar.
Dalam
analisis, yang lebih banyak dipakai bukan nilai nominal dari defisit, melainkan rasio atau persentasenya atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dianggap mewakili besaran
pendapatan nasional. Defisit secara nominal mungkin saja naik pada suatu tahun
dibanding tahun sebelumnya, namun tercatat turun jika dilihat dari
rasionya atas PDB. Meskipun tak setajam kenaikan defisit dalam nominal dan
mengalami fluktuasi, kecenderungan rasio itu tetap meningkat. Jika target APBN
2019 terpenuhi, maka rata-rata defisit era Jokowi-Jusuf Kalla (2015-2019)
sebesar 2,23% dari PDB. Sedangkan pada era Era SBY-Boediono (2010-2014) sebesar
1,58%, dan era SBY-Jusuf Kalla (2005 – 2009) sebesar 0,80%.
Dengan
demikian, klaim defisit dapat dikendalikan dan aman memang tidak salah jika
memakai patokan yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu 3% dari PDB. Akan
tetapi jika dilihat dari kecenderungannya yang meningkat dan hampir selalu di atas 2% selama era Presiden Jokowi, maka
keuangan pemerintah tak bisa disebut sehat, dan berpotensi menyulitkan kesinambungan
fiskal.
Defisit
APBN saat ini seluruhnya ditutupi dengan utang. Di masa awal reformasi,
sebagian defisit sempat ditutupi dengan penjualan aset negara. Oleh karena
hanya dibiayai oleh utang, maka posisi utang pun terus bertambah besar. Selain
untuk menutupi defisit anggaran, utang juga diperlukan untuk membiayai
pengeluaran lainnya yang tidak termasuk dalam belanja. Contoh pengeluaran
dimaksud antara lain adalah: investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU,
pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Dalam APBN
saat ini dikenal istilah pembiayaan utang, yang pada prinsipnya adalah rencana
tambahan utang karena defisit dan karena kebutuhan pengeluaran pembiayaan tadi.
Sebagai contoh, APBN 2019 merencanakan defisit sebesar Rp 296 trilyun,
sedangkan pembiayaan utangnya sebesar Rp359,28 trilyun. Pembiayaan utang
merupakan rencana tambahan utang neto pada tahun bersangkutan. Disebut tambahan
utang neto karena telah memperhitungkan pelunasan dan cicilan utang lama.
Perubahan
posisi utang atau sisa utang (outstanding)
pada akhir tahun dalam realisasi tidak sama dengan nilai pembiayaan utang, karena ada
faktor lain yang juga besar, yaitu perubahan kurs rupiah. Sekitar sepertiga
dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing, yang sebagian besarnya dalam
dolar Amerika. Jika terjadi pelemahan kurs rupiah, maka posisi utang yang
dinyatakan dalam rupiah akan bertambah, serta sebaliknya. Sebagai contoh,
posisi utang Pemerintah adalah Rp4.418,30 trilyun per 31 Desember 2018, atau bertambah
Rp479,85 trilyun dibanding posisi Rp3.938,45 per 31 Desember 2017. Pembiayaan
utang tahun 2018 hanya sebesar Rp366,66 trilyun.
Pemerintah
sendiri saat ini masih tetap yakin dan selalu menjelaskan utangnya aman
terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga
pemeringkat internasional. Argumen berulang yang dikemukakan adalah porsi utang atas PDB yang
masih di kisaran 30%, yang jauh dibawah batas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar
60%. Bagaimanapun, kecenderungan kenaikan rasio utang belakangan ini bukan lah petanda
baik. Setelah sempat melampaui 50% di awal era reformasi, rasio
utang telah berhasil diturunkan tiap tahun. Posisi rasio terendah dicapai pada akhir
tahun 2012 sebesar 22,95%.
Rasio naik kembali menjadi 24,90% pada tahun 2013 dan hanya sedikit turun
menjadi 24,74% pada tahun 2014. Sejak tahun 2015, rasio terus meningkat dan
mencapai 29,98% pada akhir tahun 2018. Diprakirakan tahun 2019 akan melampaui
30%.
Salah satu
yang jarang dianalisis adalah perkembangan posisi dan rasio utang dibandingkan
dengan perencanaannya dalam jangka menengah. Hal ini penting karena menunjukkan
seberapa besar faktor yang tidak atau kurang terkontrol oleh Pemerintah, yang
sekaligus memberi satu indikasi tentang fundamental ekonomi. Target utang
berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri satu
diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 –
2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya
rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang
diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman
6-183). Dirinci target rasio tiap tahun pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II
halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1%
(2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset amat jauh, yaitu:
27,43% (2015), 28,33% (2016), 28,98% (2017), dan 29,98% (2018).
Realisasi
tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen
No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017.
Bahkan realisasi tahun 2018 masih meleset dari target yang ditetapkan setahun
sebelumnya pada 27 Nopember 2017, dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang
Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021.
Pemakaian
rasio utang atas PDB sebagai salah satu ukuran tentang aman dan tidaknya utang
pemerintah antara lain adalah memperkirakan kemampuan membayar beban utang kini
dan di masa datang. Peningkatan PDB dinilai akan meningkatkan pendapatan atau
kemampuan membayar utang dari pemerintah. Sebagaimana diketahui, PDB adalah
salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan
pendapatan pemerintah, swasta dan rakyat perseorangan.
Dengan alasan serupa, mustinya
diperiksa pula bagaimana perkembangan rasio antara posisi utang dengan
pendapatan negara. Karena bisa saja laju peningkatan pendapatan negara tidak
secepat laju pertumbuhan PDB. Pendapatan Negara memiliki hubungan langsung dan
seketika dengan beban pembayaran bunga dan pelunasan utang. Kecenderungan
rasionya terus menaik sejak tahun 2014, meski sedikit menurun pada tahun 2018,
seiring dengan pendapatan yang melebihi target. Bagaimanapun rasio tahun 2018
masih sebesar 227,48%, artinya posisi utang sekitar 2,27 kali lipat
dibandingkan dengan pendapatan negara.
Utang
Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya
perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya.
Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar
sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan
yang hilang (opportunity) dari modal
yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest)
untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon)
untuk Surat Berharga Negara.
Ada pula
biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak
jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara
bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses
pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda,
dan lain sebagainya. Sedangkan untuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN),
biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau
pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah
memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Pemerintah juga harus
mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi
SBN.
Dalam
pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan
pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah
memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah
mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang
dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan
perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.
Pembayaran
bunga utang terus meningkat sejak tahun 2011, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi.
Bahkan nilai kenaikannya pun turut meningkat. APBN 2019 merencanakan kenaikan
yang lebih kecil, namun nilai pembayaran bunga utangnya tetap naik, yaitu sebesar
Rp275,89 trilyun.
Sebagaimana
diketahui, pembayaran cicilan atau pelunasan utang tidak dicatat sebagai
belanja, melainkan sebagai pengeluaran pembiayaan. APBN 2019 merencanakannya sebesar
Rp474,68 trilyun. Jika dijumlahkan antara pelunasan dengan bunga, maka total
keduanya sebesar Rp750,57 trilyun. Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar
Rp2.165,1 trilyun. Berarti rasio antara
pelunasan dan bunga utang berbanding pendapatan sebesar 34,67%, atau lebih dari
sepertiganya, serta tertinggi sejak tahun 2004.
Dalam kaitannya
dengan fundamental ekonomi, selain utang pemerintah, perlu pula dianalisis
mengenai utang sektor publik. Utang sektor publik adalah utang pemerintah
ditambah dengan utang Bank Indonesia dan utang BUMN. Utang sektor publik terus
meningkat dan mencapai Rp9.371,94 triliun pada akhir tahun 2018. Jika dilihat rasionya
atas PDB telah mencapai 63,60%. Rasio tertinggi selama era reformasi, dan telah
dua tahun melampaui 60%.
Pemerintah
saat ini berusaha menjelaskan bahwa sebagian besar yang dicatat sebagai utang BUMN
adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank BUMN. DPK itu merupakan simpanan masyarakat
yang terdiri dari tabungan, deposito dan giro. Namun, jika dilihat perkembangan
utang yang dipisah dengan DPK bank BUMN, tampak bahwa pertumbuhan yang pesat
tetap saja utang nonDPK. DPK tahun 2018 hanya naik dari Rp3.207 T menjadi
Rp3.219 T atau sebesar 0,37%. Utang nonDPK naik dari Rp1.623 T menjadi Rp2.394
T atau sebesar 47,5%.
Dari ulasan di atas, kondisi keuangan pemerintah dalam perspektif asesmen fundamental ekonomi adalah tentang seberapa kuat jaminan
akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Meski mungkin masih aman dalam satu dua tahun ke depan, dalam hal ini tampak indikasi pelemahan fundamental ekonomi Indonesia.
Bersambung.