Ketahanan Pangan yang
Rentan dan Produksi Tanaman Perkebunan yang Stagnan
Perekonomian
yang makin berkembang umumnya ditandai porsi sektor pertanian dalam jangka
panjang yang menurun, namun nilai tambahnya tetap meningkat. Sebagaimana
dibahas pada bagian dua, fenomena penurunan porsinya terjadi di Indonesia, karena
laju sektor industri pengolahan dan beberapa sektor lain yang lebih cepat dari sektor
pertanian. Akan tetapi, laju pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian terbilang tidak
pesat, hampir selalu di kisaran 3 persen per tahun. Sementara itu, jumlah
pekerja di sector pertanian cenderung tidak berkurang, sehingga tak terjadi
peningkatan produkitifitas yang berarti.
Salah satu perhatian
utama dalam asesmen fundamental ekonomi adalah kinerja sektor pertanian,
terutama dalam konteks menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat. Ada berbagai
istilah lain yang biasa mengemuka dalam diskusi, seperti: ketahanan pangan, kemandirian
pangan dan kedaulatan pangan. Selain berkenaan dengan kecukupan, wacana itu berhubungan
dengan tingkat ketergantungan pada pihak asing, serta pengaruhnya jika terjadi
keguncangan pada pasar global. Pangan dimaksud mencakup pula hasil peternakan
seperti daging dan susu.
Ketahanan
Pangan menurut undang-undang tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dalam menentukan
kebijakan pangan yang dapat menjamin hak atas pangan bagi rakyat, serta memberikan
hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal.
Bagian terpenting
dari kemandirian pangan adalah kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup bagi
tiap rakyat. Keragaman produksi perlu ditekankan agar tak bias hanya soalan beras
saja. Uraian berikut meninjau sekilas perkembangan produksi dan konsumsi pangan
di Indonesia selama sekitar satu dua dekade terakhir.
Produksi beras
meningkat dari tahun ke tahun, namun diimbangi oleh konsumsi yang besar. Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia. Secara
umum, produksi melebihi konsumsi, sehingga ada surplus beras. Namun surplus
yang tidak terlalu besar disertai masalah distribusi dan ketersediaan antar waktu
(bulanan), maka keran impor tetap dibuka oleh pemerintah. Realisasi impor juga
kadang mendapat tambahan argumen tentang kebutuhan beras berkualitas premium
yang masih belum mencukupi.
Indonesia selalu
impor beras sejak tahun 2000. Pada periode 2000-2018, impor beras mencapai
puncaknya pada tahun 2011, yaitu mencapai 2,75 juta ton. Jumlah impor setelahnya
lebih sedikit, namun kembali meningkat pesat pada tahun 2018 yang mencapai 2,25
juta ton.
Produksi tanaman
pangan yang mengalami peningkatan signifikan dalam dua dekade ini adalah jagung.
Produksinya juga diimbangi oleh konsumsi yang tinggi, antara lain karena
dipakai amat banyak oleh subsektor lain seperti peternakan.
Kecenderungan
penurunan, stagnasi atau peningkatan yang tidak signifikan terjadi pada produksi tanaman pangan penting
lainnya, seperti: ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Produksi
Ubi Kayu selama era 2014-2018 turun dari 23,44 juta ton menjadi 19,34 juta ton.
Produksi Ubi Jalar selama era 2014-2018 turun dari 2,38 juta ton menjadi 1,91
juta ton. Produksi Kedelai selama era 2014-2018 mengalami sedikit kenaikan dari
954.997 ton menjadi 982.598 ton. Pada tahun 1993, produksinya telah mencapai
hampir dua kali lipatnya, yaitu 1,71 juta ton. Produksi Kacang Hijau selama era
2014-2108 turun dari 244.589 ton menjadi 234.718 ton. Jauh dibawah produksi
tahun 1998, 2003 dan 2011.
Produksi
daging secara umum dapat meningkat, namun tidak terlampau pesat. Peningkatan pesat
hanya terjadi pada ayam ras pedaging, yang mencapai 2,14 ton pada tahun 2018.
Produksi daging dari ayam ras petelur stagnan di kisaran 115 ton, dan daging
ayam bukan ras di kisaran 300 ton. Sementara itu, produksi daging sapi dan
daging kambing berfluktuasi, namun tidak tampak peningkatan yang berarti selama
15 tahun terakhir. Sempat mengalami kenaikan produksi daging sapi dari tahun
2007 sampai mengalami puncaknya sebanyak 509 ton tahun 2012. Setelah itu terjadi
stagnasi atau penurunan perlahan dan pada tahun 2018 hanya sebesar 496 ton. Produksi
daging kambing bahkan stagnan di kisaran 64-67 ton tiap tahun, setelah sempat
mencapai 74 ton pada tahun 2009.
Produksi
susu segar sempat mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama periode tahun 2007
hingga tahun 2012, namun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Produksi
cenderung stagnan dalam tiga tahun terakhir di kisaran 900 ton.
Sifat
produksi komoditas pangan yang musiman dan berfluktuasi karena sangat dipengaruhi
oleh iklim masih amat memperngaruhi ketersediaan pangan nasional. Beberapa karakteristik
komoditi pangan juga cenderung mengurangi ketersedian, seperti: mudah rusak,
lahan produksi petani yang terbatas, sarana dan prasarana pendukung pertanian
yang kurang memadai, lemahnya penanganan panen dan pasca panen. Begitu pula
dengan soalan distribusi dan tata niaga yang masih kurang mendukung stok atau
persediaan yang optimal. Akibatnya ada pula gejala substitusi pangan pokok dari
pangan lokal ke bahan pangan impor.
Dalam
konteks fundamental ekonomi, kebijaksanaan pangan nasional harusnya mampu
menjaga kesimbangan antara aspek penawaran dan permintaan. Dalam
hal penawaran, kebijakan yang mendorong peningkatan produksi dan produktifitas menjadi
sangat penting. Soalan menjadi lebih penting jika dikaitkan dengan kecukupan
gizi, terutama yang menjamin kecukupan bagi anak-anak dan generasi muda, serta harga
yang terjangkau bagi lapisan masyarakat terbawah.
Beberapa
informasi produksi tanaman perkebunan, meski tak dikategorikan sebagai pangan,
perlu dilihat pula. Selain merupakan komoditas konsumsi utama dari rakyat, juga
untuk mengukur perkembangan sektor pertanian secara umum, dan potensi
pengembangan ekspor pada khususnya.
Produksi
kopi cenderung stagnan selama 15 tahun terakhir, bahkan produksi tahun 2017
masih lebih rendah dibanding tahun 2002. Produksi kakao sedikit berfluktuasi,
namun produksi tahun 2017 masih lebih rendah dibanding tahun 2003. Padahal kopi
dan coklat adalah komoditas yang permintaan domestik maupun luar negerinya
terbilang amat besar. Produksi teh Indonesia mengalami stagnasi selama dua
dekade, dan bahkan cenderung sedikit menurun. Volume dan nilai ekspornya pun
cenderung mengalami penurunan. Produksi tembakau lebih berfluktuasi, namun
dengan kecenderungan yang juga tidak meningkat. Meskipun sempat mencapai
puncaknya pada tahun 2012, produksi tembakau tahun 2017 lebih rendah dibanding
tahun 1990. Indonesia mengabaikan potensi produksi dan juga ekspor berbagai
komoditas perkebunan yang memiliki sejarah panjang sejak era kolonial.
Sementara
itu, produksi produksi tebu kita berfluktuasi dengan kecenderungan stagnan.
Produksi tahun 2017 setara dengan tahun 1990. Padahal Indonesia adalah produsen
besar sekaligus eksportir gula no 2 di dunia di era kolonial Belanda. Kini Indonesia
menjadi salah satu importir gula yang amat besar.
Dari uraian
di atas, fundamental ekonomi belum bisa dikatakan kuat jika dilihat dari aspek
kecukupan, ketahanan dan kemandirian pangan. Produksi beberapa tanaman perkebunan
yang mustinya mampu surplus besar dan dapat menjadi andalan ekspor pun belum mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Bersambung.