Sabtu, 13 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 7)


Ketahanan Pangan yang Rentan dan Produksi Tanaman Perkebunan yang Stagnan
Perekonomian yang makin berkembang umumnya ditandai porsi sektor pertanian dalam jangka panjang yang menurun, namun nilai tambahnya tetap meningkat. Sebagaimana dibahas pada bagian dua, fenomena penurunan porsinya terjadi di Indonesia, karena laju sektor industri pengolahan dan beberapa sektor lain yang lebih cepat dari sektor pertanian. Akan tetapi, laju pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian terbilang tidak pesat, hampir selalu di kisaran 3 persen per tahun. Sementara itu, jumlah pekerja di sector pertanian cenderung tidak berkurang, sehingga tak terjadi peningkatan produkitifitas yang berarti.

Salah satu perhatian utama dalam asesmen fundamental ekonomi adalah kinerja sektor pertanian, terutama dalam konteks menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat. Ada berbagai istilah lain yang biasa mengemuka dalam diskusi, seperti: ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Selain berkenaan dengan kecukupan, wacana itu berhubungan dengan tingkat ketergantungan pada pihak asing, serta pengaruhnya jika terjadi keguncangan pada pasar global. Pangan dimaksud mencakup pula hasil peternakan seperti daging dan susu.

Ketahanan Pangan menurut undang-undang tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dalam menentukan kebijakan pangan yang dapat menjamin hak atas pangan bagi rakyat, serta  memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Bagian terpenting dari kemandirian pangan adalah kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup bagi tiap rakyat. Keragaman produksi perlu ditekankan agar tak bias hanya soalan beras saja. Uraian berikut meninjau sekilas perkembangan produksi dan konsumsi pangan di Indonesia selama sekitar satu dua dekade terakhir.

Produksi beras meningkat dari tahun ke tahun, namun diimbangi oleh konsumsi yang besar. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia. Secara umum, produksi melebihi konsumsi, sehingga ada surplus beras. Namun surplus yang tidak terlalu besar disertai masalah distribusi dan ketersediaan antar waktu (bulanan), maka keran impor tetap dibuka oleh pemerintah. Realisasi impor juga kadang mendapat tambahan argumen tentang kebutuhan beras berkualitas premium yang masih belum mencukupi.

Indonesia selalu impor beras sejak tahun 2000. Pada periode 2000-2018, impor beras mencapai puncaknya pada tahun 2011, yaitu mencapai 2,75 juta ton. Jumlah impor setelahnya lebih sedikit, namun kembali meningkat pesat pada tahun 2018 yang mencapai 2,25 juta ton.

Produksi tanaman pangan yang mengalami peningkatan signifikan dalam dua dekade ini adalah jagung. Produksinya juga diimbangi oleh konsumsi yang tinggi, antara lain karena dipakai amat banyak oleh subsektor lain seperti peternakan.


Kecenderungan penurunan, stagnasi atau peningkatan yang tidak signifikan terjadi pada produksi tanaman pangan penting lainnya, seperti: ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Produksi Ubi Kayu selama era 2014-2018 turun dari 23,44 juta ton menjadi 19,34 juta ton. Produksi Ubi Jalar selama era 2014-2018 turun dari 2,38 juta ton menjadi 1,91 juta ton. Produksi Kedelai selama era 2014-2018 mengalami sedikit kenaikan dari 954.997 ton menjadi 982.598 ton. Pada tahun 1993, produksinya telah mencapai hampir dua kali lipatnya, yaitu 1,71 juta ton. Produksi Kacang Hijau selama era 2014-2108 turun dari 244.589 ton menjadi 234.718 ton. Jauh dibawah produksi tahun 1998, 2003 dan 2011.


Produksi daging secara umum dapat meningkat, namun tidak terlampau pesat. Peningkatan pesat hanya terjadi pada ayam ras pedaging, yang mencapai 2,14 ton pada tahun 2018. Produksi daging dari ayam ras petelur stagnan di kisaran 115 ton, dan daging ayam bukan ras di kisaran 300 ton. Sementara itu, produksi daging sapi dan daging kambing berfluktuasi, namun tidak tampak peningkatan yang berarti selama 15 tahun terakhir. Sempat mengalami kenaikan produksi daging sapi dari tahun 2007 sampai mengalami puncaknya sebanyak 509 ton tahun 2012. Setelah itu terjadi stagnasi atau penurunan perlahan dan pada tahun 2018 hanya sebesar 496 ton. Produksi daging kambing bahkan stagnan di kisaran 64-67 ton tiap tahun, setelah sempat mencapai 74 ton pada tahun 2009.


Produksi susu segar sempat mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama periode tahun 2007 hingga tahun 2012, namun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Produksi cenderung stagnan dalam tiga tahun terakhir di kisaran 900 ton.


Sifat produksi komoditas pangan yang musiman dan berfluktuasi karena sangat dipengaruhi oleh iklim masih amat memperngaruhi ketersediaan pangan nasional. Beberapa karakteristik komoditi pangan juga cenderung mengurangi ketersedian, seperti: mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas, sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai, lemahnya penanganan panen dan pasca panen. Begitu pula dengan soalan distribusi dan tata niaga yang masih kurang mendukung stok atau persediaan yang optimal. Akibatnya ada pula gejala substitusi pangan pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dalam konteks fundamental ekonomi, kebijaksanaan pangan nasional harusnya mampu menjaga kesimbangan antara aspek penawaran dan permintaan. Dalam hal penawaran, kebijakan yang mendorong peningkatan produksi dan produktifitas menjadi sangat penting. Soalan menjadi lebih penting jika dikaitkan dengan kecukupan gizi, terutama yang menjamin kecukupan bagi anak-anak dan generasi muda, serta harga yang terjangkau bagi lapisan masyarakat terbawah.

Beberapa informasi produksi tanaman perkebunan, meski tak dikategorikan sebagai pangan, perlu dilihat pula. Selain merupakan komoditas konsumsi utama dari rakyat, juga untuk mengukur perkembangan sektor pertanian secara umum, dan potensi pengembangan ekspor pada khususnya.  

Produksi kopi cenderung stagnan selama 15 tahun terakhir, bahkan produksi tahun 2017 masih lebih rendah dibanding tahun 2002. Produksi kakao sedikit berfluktuasi, namun produksi tahun 2017 masih lebih rendah dibanding tahun 2003. Padahal kopi dan coklat adalah komoditas yang permintaan domestik maupun luar negerinya terbilang amat besar. Produksi teh Indonesia mengalami stagnasi selama dua dekade, dan bahkan cenderung sedikit menurun. Volume dan nilai ekspornya pun cenderung mengalami penurunan. Produksi tembakau lebih berfluktuasi, namun dengan kecenderungan yang juga tidak meningkat. Meskipun sempat mencapai puncaknya pada tahun 2012, produksi tembakau tahun 2017 lebih rendah dibanding tahun 1990. Indonesia mengabaikan potensi produksi dan juga ekspor berbagai komoditas perkebunan yang memiliki sejarah panjang sejak era kolonial. 


Sementara itu, produksi produksi tebu kita berfluktuasi dengan kecenderungan stagnan. Produksi tahun 2017 setara dengan tahun 1990. Padahal Indonesia adalah produsen besar sekaligus eksportir gula no 2 di dunia di era kolonial Belanda. Kini Indonesia menjadi salah satu importir gula yang amat besar.



Dari uraian di atas, fundamental ekonomi belum bisa dikatakan kuat jika dilihat dari aspek kecukupan, ketahanan dan kemandirian pangan. Produksi beberapa tanaman perkebunan yang mustinya mampu surplus besar dan dapat menjadi andalan ekspor pun belum mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Bersambung.