Minggu, 16 April 2017

LAKU PANDAI DAN KUR: Tinjauan Umum

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan DPK dan kredit pada tahun 2017 akan lebih baik daripada tahun 2016. Hal itu sejalan dengan menurunnya suku bunga, kecukupan likuiditas dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Menurut prakiraan BI, kredit akan tumbuh di kisaran 10 – 12%, dan Dana Pihak Ketiga akan tumbuh di kisaran 9 – 11%. Perkiraan ini memberikan sinyal akan kembali meningkatnya fungsi intermediasi perbankan, setelah sedikit merosot pada tiga tahun terakhir. Beberapa indikator perbankan lainnya pun diyakini akan menunjukkan perbaikan, seperti rasio kredit bermasalah (NPL) yang tetap terjaga setelah sempat memburuk, serta rasio Kecukupan modal (CAR) yang akan tetap tinggi.  
Meski akan membaik, perbankan tampaknya akan tetap masih menghadapi tantangan berupa potensi ekses likuiditas. Pada saat yang bersamaan, industri perbankan cenderung lebih berhati-hati dan ketat dalam penyaluran kredit, atau dengan kata lain perekonomian justeru menghadapi kesulitan likuiditas. Dalam kondisi perbankan demikian, jika tiba-tiba yang terjadi adalah arus balik berupa derasnya aliran masuk modal asing, maka seketika juga dapat menyebabkan peningkatan ekses likuiditas kembali dalam waktu singkat.
Sementara itu, prioritas kepada pengembangan kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah banyak diakui oleh para ahli keuangan dan perbankan sebagai salah satu pilihan langkah strategis dalam memperkuat struktur kredit yang diberikan dan berpotensi stabil. Prioritas itu juga telah menjadi komitmen Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan kepada publik, prioritas sudah didukung oleh rencana bisnis bank-bank besar. Salah satu argumen utama adalah kinerja kredit bagi UMKM yang sering lebih baik dibanding dengan kredit non MKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan tetap bisa tumbuh pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.
Di sisi lain, para ahli ekonomi sering mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi antara lain ditandai dengan terciptanya suatu sistem keuangan yang stabil dan memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Institusi keuangan berperan melalui fungsi intermediasinya, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Dianggap pula berperan membantu pemerataan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Asumsinya adalah seluruh atau sebagian besar penduduk dewasa memilik akses layanan jasa keuangan yang memadai. Dalam kerangka tersebut dikenal wacana keuangan inklusif (financial inclusion).

Keuangan inklusif sudah mengedepan dalam banyak dokumen kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK). Diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program unggulannya kini adalah apa yang secara resmi disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.

Bank penyelenggara harus memenuhi persyaratan yang mencakup sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan teruji, yang antara lain tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time). Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi, cakupan perjanjian kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara Bank Penyelenggara dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank. Laku Pandai diluncurkan OJK secara resmi pada 26 Maret 2015, yang terus didukung oleh makin banyak bank umum.

Program keuangan inklusif terdahulu yang dianggap berhasil oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diakui juga oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai program andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR diharapkan akan bisa memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan cara mempermudah akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi-JK merupakan perbaikan signifikan atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan kredit, digandakan dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah lebih banyak subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan. Pada tahun 2015, bunga KUR telah diturunkan dari 22% menjadi 12%, dan mulai tahun 2016 menjadi 9%. Realiasasi penyaluran KUR meningkat, pada tahun 2007-2014 sekitar Rp175 triliun, pada tahun 2015 mencapai Rp 22,5 triliun, dan berlipat menjadi sekitar Rp 95 triliun pada tahun 2016. Dilaporkan pula terjadi peningkatan jangkauan atau jumlah orang (UMKM) yang memperolehnya.

Bagaimanapun, setiap kebijakan dan program perlu dicermati secara lebih seksama bagaimana konsep detil dan realisasinya, apalagi jika menyangkut banyak pemangku kepentingan. Kajian dan evaluasi harus dilakukan secara rutin, dan memungkinkan untuk penijauan ulang. Apakah realisasi sesuai target, apakah manfaat yang diharapkan bisa diwujudkan, dan apakah ada dampak (negatif) yang tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, dua tahun berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account, serta beberapa fitur transfer dan pembayaran.

Sedangkan tentang KUR, Kajian Perhimpunan BMT Indonesia (beranggotakan 526 Koperasi /BMT) Januari-Februari 2017 antara lain menemukan: 1) sebagian besar penerima KUR adalah mereka yang sebelumnya telah memperoleh pinjaman dari perbankan; 2) sebagian besar penerima KUR yang baru adalah mereka yang sebelumnya telah dilayani oleh koperasi; 3) sebagian besar para penerima KUR adalah dari lapisan pendapatan quintil 3, 4 dan 5 (60% lapisan teratas); 4) secara sectoral, sebagian besar (66,29%) tersalurkan pada perdagangan besar dan eceran, masih relatif sedikit untuk pertanian dan kehutanan (17,36%), dan lebih sedikit lagi untuk industri pengolahan (4,10%); 5) bunga efektif yang secara riil dibayar oleh peminjam masih di atas 9% (ada cash collateral, pembukaan rekening baru, asuransi tambahan, dll) dan masih mensyaratkan jaminan. 

Kajian memaparkan pula tentang KUR yang diharapkan tersalur melalui koperasi. Selama ini penyaluran melalui perbankan, dan ditambahkan dengan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya disebut-sebut dalam konsep chanelling, yang hampir tidak ada realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan pinjam (termasuk yang syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan peminjaman dan “tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi layanan koperasi.  Belakangan, koperasi disebut akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman pengambil kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga prosedur operasi. Kajian PBMT Indonesia awal tahun 2017 ini menyampaikan satu gagasan bagaimana KUR disalurkan melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS/BMT).

Salah satu argumen yang dikemukakan dalam kajian PBMT Indonesia adalah data porsi dan pertumbuhan kredit UMKM yang tidak membaik secara berarti. Porsi kredit UMKM justeru sedikit menurun pada tahun 2015 dan 2016, menjadi kembali di bawah 20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 hingga 2016, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM.
Gambar 1 Perkembangan porsi kredit UMKM, 2012 - 2016

                                Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dilihat dari perkembangan rekening kredit UMKM pun tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Jumlah rekening kredit mikro memang meningkat cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada kredit kecil dan menengah. Perlu diselidiki indikasi perpindahan status nasabah, bahkan dari yang dulunya nonUMKM, sejak adanya program KUR.

Gambar 1 Perkembangan jumlah rekening kredit UMKM, 2012 - 2016

Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sementara itu, keberadaan agen Laku Pandai secara masif berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan yang potensial menjadi agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama. Relasi sosial akan menjadi semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas masyarakat akan terganggu. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda sebagi agen sekaligus rentenir.

Dengan demikian, biaya ekonomi dan sosial terdampaknya LKM (Koperasi) perlu dipertimbangkan dengan baik untuk kelanjutan program Laku Pandai dan KUR. Ada indikasi bahwa LKM yang mandiri dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan akan terus tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya, dan jika mendadak dieskalasi akan mungkin memiliki pula dampak buruk.

Otoritas ekonomi, moneter dan perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif akan memberi kontribusi positif dalam kondisi strukturan ekonomi yang demikian. Baik dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal peningkatan akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan, melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan. Upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi.


Dalam hal KUR, wacana dan pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan koperasi. Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih perlu dicari skema dan prosedur teknisnya. Selama ini penyaluran melalui perbankan dan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya disebut-sebut dalam konsep chanelling, yang hampir tidak ada realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan pinjam (termasuk yang syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan peminjaman dan “tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi layanan koperasi.  Belakangan, koperasi disebut akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman pengambil kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga prosedur operasi. Sedangkan dalam hal Laku Pandai, koperasi masih diposisikan sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian, koperasi yang sudah mandiri dan berkembang mungkin merasa kurang diuntungkan. Masih perlu dicari kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi.