Minggu, 16 April 2017

TINJAUAN EKONOMI INDONESIA (bagian 1)

Perkembangan makroekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir terbilang cukup baik, seperti: angka pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, angka pengangguran yang menurun, dan inflasi yang terkendali. Dalam hal pembangunan ekonomi yang lebih luas pun tidak buruk, antara lain: angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin dapat ditekan, disertai terjadi perbaikan cukup signifikan dalam indeks pembangunan manusia.

Pertumbuhan ekonomi memang sedikit menurun dan dibawah target dalam tiga tahun terakhir, karena melambatnya perbaikan ekonomi global, serta meningkatnya turbulensi sektor keuangan dunia, namun masih termasuk yang tertinggi di dunia. Disertai angka pengangguran dan inflasi yang terkendali.

Tabel 1  Perkembangan indikator makroekonomi Indonesia 2010-2016
INDIKATOR 
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Pertumbuhan ekonomi
4,63
6,17
6,03
5,58
5,02
4,79
5,02
Tingkat Pengangguran
7,17
6,56
6,13
6,17
5,94
6,18
5,61
Inflasi
6,96
3,79
4,30
8,38
8,36
3,35
3,02
PDB per kapita (Rp juta)
28,78
32,36
35,11
38,37
41,81
45,18
47,96
Tingkat kemiskinan (%)
13,33
12,36
11,56
11,46
10,96
11,13
10,70
Penduduk miskin (juta orang)
31,02
30,01
28,71
28,60
27,73
28,51
27,76
IPM Metode Baru
66,59
67,09
67,70
68,31
68,90
69,55
-
Sumber: BPS, berbagai publikasi.

Perkembangan PDB per kapita menunjukkan kenaikan signifikan, dan biasa dianggap mencerminkan perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat pada umumnya. Jumlah penduduk miskin pun telah mengalami penurunan signifikan, dari 36,15 juta jiwa atau 16,66% dari total penduduk pada tahun 2004 menjadi 27,76 juta jiwa atau 10,70% pada bulan September 2016. Ukuran lain tentang kesejahteraan rakyat di Indonesia pada umumnya juga membaik, contohnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar, yaitu: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.

Masalah kemiskinan, ketimpangan dan ketenagakerjaan
Para ahli ekonomi mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak sebesar yang digambarkan oleh angka-angka agregat di atas. Sebagai contoh, dalam hal penurunan angka kemiskinan sebenarnya mulai melambat, dan jumlah penduduk miskin sebanyak 27,6 juta jiwa masih terlampau besar bagi suatu negara. Salah satu permasalahan adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi ataupun adanya pelemahan kemampuan Pemerintah menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan. Dengan alasan serupa, mereka yang masih miskin juga dapat dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan.

Hal itu berkaitan erat dengan masalah ketenagakerjaan seperti: pekerja tidak penuh yang tidak menurun secara berarti; pekerja informal masih lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi; lapangan kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; serta kualitas banyak pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.

Komposisi penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama menggambarkan distribusi yang hampir serupa dalam tiga tahun terakhir, yang sekitar 40% nya adalah dengan status berusaha. BPS juga membuat kategori atau penyebutan khusus berdasar status pekerjaan, yang disebut pekerja rentan (vulnerable employment), yang mencakup:  berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tak dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Pekerja rentan dalam beberapa tahun terakhir di kisaran 57%, dengan mayoritas adalah perempuan. Ciri lain adalah berdasar lapangan pekerjaan, yang mayoritas bekerja di sektor jasa-jasa dan di sektor pertanian. Sektor manufaktur belum bisa menampung perpindahan signifikan dari sektor lain sebagaimana harusnya ciri industrialisasi yang tinggi. Dan apabila dicermati lebih lanjut, penyumbang terbesar dari sektor jasa-jasa adalah sektor perdagangan dan sektor jasa kemasyarakatan. Dalam kedua sektor itu, apa yang disebut sektor informal masih dominan.

Tentu saja masalah ketenagakerjaan dapat dilihat dari sudut pandang optimis atau sebagai potensi optimalisasi. Jika ditangani secara lebih baik oleh Pemerintah, dunia pendidikan dan kalangan usaha, maka akan menjadi faktor penting bagi perkembangan perekonomian di masa mendatang. Tenaga kerja tetap saja merupakan faktor produksi atau sumber pertumbuhan ekonomi.  

Terkait erat dengan soal pekerja dan lapangan kerja yang masih menyisakan masalah cukup serius di atas, terjadi pula peningkatan ketimpangan pendapatan dan giliran selanjutnya ketimpangan ekonomi. Fenomena meningkatnya ketimpangan ekonomi antar lapisan masyarakat beberapa tahun menjadi makin serius, sehingga membutuhkan perhatian lebih dari otoritas ekonomi untuk mengantisipasi. Salah satu ukuran adalah Rasio Gini yang menunjukkan trend peningkatan selama beberapa tahun terakhir, dari 0.35 (2008) menjadi 0.402 (2015), meskipun sedikit menurun menjadi 0,397 (2016).


Pertumbuhan ekonomi memang telah memberikan dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara nyata menikmati peningkatan pengeluaran. Namun, peningkatan pengeluaran selama satu dekade terakhir tidak merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40% kelompok penduduk dengan kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2% per tahun, sementara rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah hampir 5% per tahun. Sekitar 20% kelompok masyarakat terkaya mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Ketimpangan dari sisi pendapatan jelas lebih buruk. Orang miskin membelanjakan hampir seluruh pendapatannya, sedangkan orang kaya menabung.