Perkembangan makroekonomi Indonesia
selama satu dekade terakhir terbilang cukup baik, seperti: angka pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi, angka pengangguran yang menurun, dan inflasi yang
terkendali. Dalam hal pembangunan ekonomi yang lebih luas pun tidak buruk, antara
lain: angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin dapat ditekan, disertai terjadi
perbaikan cukup signifikan dalam indeks pembangunan manusia.
Pertumbuhan ekonomi memang
sedikit menurun dan dibawah target dalam tiga tahun terakhir, karena
melambatnya perbaikan ekonomi global, serta meningkatnya turbulensi sektor
keuangan dunia, namun masih termasuk yang tertinggi di dunia. Disertai angka
pengangguran dan inflasi yang terkendali.
Tabel 1 Perkembangan indikator
makroekonomi Indonesia 2010-2016
INDIKATOR
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Pertumbuhan ekonomi
|
4,63
|
6,17
|
6,03
|
5,58
|
5,02
|
4,79
|
5,02
|
Tingkat Pengangguran
|
7,17
|
6,56
|
6,13
|
6,17
|
5,94
|
6,18
|
5,61
|
Inflasi
|
6,96
|
3,79
|
4,30
|
8,38
|
8,36
|
3,35
|
3,02
|
PDB per kapita (Rp juta)
|
28,78
|
32,36
|
35,11
|
38,37
|
41,81
|
45,18
|
47,96
|
Tingkat kemiskinan (%)
|
13,33
|
12,36
|
11,56
|
11,46
|
10,96
|
11,13
|
10,70
|
Penduduk miskin (juta orang)
|
31,02
|
30,01
|
28,71
|
28,60
|
27,73
|
28,51
|
27,76
|
IPM Metode Baru
|
66,59
|
67,09
|
67,70
|
68,31
|
68,90
|
69,55
|
-
|
Sumber: BPS, berbagai publikasi.
Perkembangan PDB per kapita menunjukkan
kenaikan signifikan, dan biasa dianggap mencerminkan perbaikan tingkat
kesejahteraan rakyat pada umumnya. Jumlah penduduk miskin pun telah mengalami
penurunan signifikan, dari 36,15 juta jiwa atau 16,66% dari total penduduk pada
tahun 2004 menjadi 27,76 juta jiwa atau 10,70% pada bulan September 2016. Ukuran
lain tentang kesejahteraan rakyat di Indonesia pada umumnya juga membaik, contohnya
adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dibangun melalui pendekatan tiga
dimensi dasar, yaitu: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang
layak.
Masalah kemiskinan, ketimpangan dan ketenagakerjaan
Para ahli ekonomi mengingatkan bahwa
keberhasilan pembangunan ekonomi tidak sebesar yang digambarkan oleh
angka-angka agregat di atas. Sebagai contoh, dalam hal penurunan angka
kemiskinan sebenarnya mulai melambat, dan jumlah penduduk miskin sebanyak 27,6 juta
jiwa masih terlampau besar bagi suatu negara. Salah satu permasalahan adalah
masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin,
jika ada goncangan ekonomi ataupun adanya pelemahan kemampuan Pemerintah
menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan. Dengan alasan serupa, mereka
yang masih miskin juga dapat dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin
menjauh dari garis kemiskinan.
Hal
itu berkaitan erat dengan masalah
ketenagakerjaan seperti: pekerja tidak
penuh yang tidak menurun secara berarti; pekerja informal masih
lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan
upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi;
lapangan
kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; serta kualitas banyak
pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.
Komposisi
penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama menggambarkan distribusi yang hampir
serupa dalam tiga tahun terakhir, yang sekitar 40% nya adalah dengan status berusaha.
BPS juga membuat kategori atau penyebutan khusus berdasar status pekerjaan,
yang disebut pekerja rentan (vulnerable
employment), yang mencakup: berusaha
sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tak dibayar, pekerja bebas dan
pekerja keluarga. Pekerja rentan dalam beberapa tahun terakhir di kisaran 57%, dengan
mayoritas adalah perempuan. Ciri lain adalah berdasar lapangan pekerjaan, yang mayoritas
bekerja di sektor jasa-jasa dan di sektor pertanian. Sektor manufaktur belum
bisa menampung perpindahan signifikan dari sektor lain sebagaimana harusnya
ciri industrialisasi yang tinggi. Dan apabila dicermati lebih lanjut,
penyumbang terbesar dari sektor jasa-jasa adalah sektor perdagangan dan sektor
jasa kemasyarakatan. Dalam kedua sektor itu, apa yang disebut sektor informal
masih dominan.
Tentu
saja masalah ketenagakerjaan dapat dilihat dari sudut pandang
optimis
atau sebagai potensi
optimalisasi. Jika ditangani secara lebih baik oleh Pemerintah, dunia
pendidikan dan kalangan usaha, maka akan menjadi faktor penting bagi
perkembangan perekonomian di masa mendatang.
Tenaga kerja tetap saja merupakan faktor produksi atau sumber pertumbuhan
ekonomi.
Terkait erat dengan soal pekerja
dan lapangan kerja yang masih menyisakan masalah cukup serius di atas, terjadi
pula peningkatan ketimpangan pendapatan dan giliran selanjutnya ketimpangan
ekonomi. Fenomena meningkatnya ketimpangan ekonomi antar lapisan masyarakat beberapa
tahun menjadi makin serius, sehingga membutuhkan perhatian lebih dari otoritas
ekonomi untuk mengantisipasi. Salah satu ukuran adalah Rasio Gini yang
menunjukkan trend peningkatan selama beberapa tahun terakhir, dari 0.35 (2008)
menjadi 0.402 (2015), meskipun sedikit menurun menjadi 0,397 (2016).
Pertumbuhan ekonomi memang telah memberikan
dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara
nyata menikmati peningkatan pengeluaran. Namun, peningkatan pengeluaran selama satu
dekade terakhir tidak merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40%
kelompok penduduk dengan kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami
pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2% per tahun, sementara rata-rata
Indonesia selama periode tersebut adalah hampir 5% per tahun. Sekitar 20% kelompok
masyarakat terkaya mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi
dibandingkan rata-rata nasional. Ketimpangan dari sisi pendapatan jelas lebih
buruk. Orang miskin membelanjakan hampir seluruh pendapatannya, sedangkan orang
kaya menabung.