Senin, 15 Januari 2018

UMKM HANYA DIPOSISIKAN SEBAGAI PENGAMAN EKONOMI INDONESIA

UMKM HANYA DIPOSISIKAN SEBAGAI PENGAMAN EKONOMI INDONESIA

Pemerintah dan Bank Indonesia selalu mengatakan kondisi perekonomian Indonesia kini sangat baik dan akan lebih baik lagi pada tahun depan. Otoritas ekonomi terbiasa mengungkapkan indikator makroekonomi yang sejauh ini memang tidak terlampau buruk, antara lain: pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi dan neraca pembayaran internasional. Sering ditambahkan pula dengan penjelasan tentang angka kemiskinan yang terus turun, dan ketimpangan yang mulai membaik.

Berbagai indikator yang tak buruk dan bahkan cenderung menggembirakan itu sebenarnya masih perlu diwaspadai, mengingat sifat agregat dan rata-ratanya. Musti dicermati indikator disagregasi dan kondisi lain yang terkait, termasuk kondisi sosial dan politik. Perlu diingat pula bahwa pada beberapa bulan menjelang krisis 1997/98 dan kelesuan ekonomi tahun 2009, Pemerintah bersuara serupa saat ini.

Terkait fenomena krisis ekonomi 1997/ 1998, salah satu yang menarik adalah fakta sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang mampu tetap berdiri kokoh. Padahal, analisis atau asesmen otoritas ekonomi sebelumnya tidak menonjolkannya sebagai faktor penting dinamika ekonomi nasional. Beberapa tahun setelah krisis, berbagai data bahkan menyebut peningkatan jumlah, pertumbuhan produksi dan serapannya atas tenaga kerja. Sayangnya, data akurat dan berkelanjutan tentang hal ini kurang tersedia. Yang paling sering dikutip adalah data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2012-2013, yang menyebut jumlah 57,89 juta unit usaha berskala UMKM atau 99,99% dari total usaha.

Diduga pula, perkembangan UMKM pada kurun waktu itu menjadi salah satu faktor yang menahan kehancuran total perbankan, serta mulai mendorong kebangkitannya. Pasca krisis, makin banyak UMKM yang memakai jasa sektor perbankan, hingga mencapai sepertiganya. Di sisi perbankan, kredit yang disalurkan ke UMKM memang hanya di kisaran 20%, namun layanan jasa lainnya yang bersifat nonkredit memang terus meningkat. 

Pengalaman tersebut harusnya menyadarkan banyak pihak, terutama Pemerintah dan Bank Indonesia (OJK) untuk bersama-sama memperkuat dan makin memberi porsi perhatian lebih besar bagi UMKM. Sebagaimana diketahui, UMKM memang masih dan selalu menghadapi berbagai masalah seperti permodalan, manajemen, teknologi, dan pemasaran. Sementara itu tantangan pasar bebas makin nyata dihadapi, sehingga persaingan tak hanya dengan pelaku usaha besar domestik, melainkan dengan asing seperti derasnya arus barang impor yang serupa dengan produksi mereka.

Peran UMKM Dilihat Dari Data Status Pekerjaan Utama 
Data UMKM saat ini memang kurang tersedia. Kementerian koperasi dan MKM tak lagi mempublikasi data terbaru, kecuali data tentang koperasi. Meskipun demikian, data BPS yang berdasar sensus ekonomi 2016 untuk usaha mikro kecil (UMK) nonpertanian masih sejalan dengan data lain sebelumnya. BPS mengatkan bahwa usaha mikro kecil masih menjadi usaha yang paling dominan dalam perekonomian Indonesia dengan persentase mencapai 98,33 persen dengan jumlah usaha sekitar 26,3 juta usaha  dengan serapan tenaga kerja mencapai 53,6 juta orang atau 76,28 persen dari total tenaga kerja di luar usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Sekitar tiga per empatnya merupakan usaha mikro dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang. Sekitar 46,27 persen, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 37,30 persen, berada pada aktivitas Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor.
BPS memberi informasi bahwa usaha  modern  sedang  meningkat pesat  beberapa tahun terakhir, namun proporsi usaha dan tenaga kerja UMK yang bergerak pada bisnis  tersebut  disebutkan masih  relatif  kecil dibandingkan dengan UMK Konvensional. UMK  yang  bergerak pada bisnis berbasis online hanya sekitar 2,14 persen, sedangkan UMK yang menerapkan sistem waralaba hanya sebesar 0,21 persen. Meskipun demikian, UMK Modern memiliki kemampuan daya serap tenaga kerja yang lebih besar. Berdasarkan skala usaha, jumlah usaha dan tenaga kerja aktivitas Ekonomi Kreatif (Ekraf) lebih didominasi oleh usaha mikro kecil dari pada usaha menengah besar, persentasenya mencapai 99,11 persen.


Sementara itu, data BPS tentang status pekerjaan utama bagi pekerja juga dapat menggambarkan pertumbuhan jumlah UMKM, khususnya usaha mikro dan usaha kecil (UMK). Data dimaksud adalah data pekerja yang “Berusaha Sendiri” dan “Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar”. Jumlah keduanya untuk kondisi bulan September pada tahun 2001 sebesar 37,78 juta atau 41,62 persen dari pekerja. Kemudian pada tahun 2012 sebesar 37,99 juta atau 33,76 persen, dan 2017 sebesar 39,87 juta atau 32,95 persen. Secara jumlah mengalami peningkatan, secara persentase terjadi penurunan, namun porsinya masih cukup besar. 

Sebenarnya akan menjadi berita baik jika penurunan prosentase kedua status pekerjaan itu diimbangi oleh kenaikan status pekerja yang “Berusaha Dibantu Buruh Tetap/ Buruh Dibayar”, yang mengindikasikan usaha menengah dan usaha besar. Jika demikian, kita dapat mengatakan bahwa sebagian UMK naik kelas skala usahanya. Sayangnya, status itu secara jumlah memang sempat naik, namun belakangan justeru menurun, yakni: 2,79 juta atau  3,07 persen (2001), 3,96 juta atau 3,52 persen (2012), dan 3,95 juta atau 3,27 persen (2017).

Jika dilihat dari sisi lain, maka fenomena ketenagakerjaan atas dasar status pekerjaan utama dapat mengindikasikan kelesuan ekonomi yang mulai berlangsung. Dan jika mulai atau telah terjadi krisis, maka jumlah kedua status yang yang menggambarkan UMK tadi dipastikan akan bertambah secara jumlah dan persentasi.

Perkembangan Kredit UMKM
Kinerja kredit bagi UMKM sering dikabarkan lebih baik dibanding dengan kredit nonUMKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.

Akan tetapi, fenomena penyaluran kredit selama tujuh tahun terakhir masih menguatkan dugaan tentang perbankan umum yang masih menghadapi kendala dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil dan mikro. Tatkala dukungan dan dorongan Bank Indonesia, OJK serta Pemerintah begitu kuat, laju kredit UMKM justeru tetap melambat. Kendala tersebut antara lain disebabkan hal-hal sebagai berikut: Tidak semua bank umum memiliki jaringan yang menyebar ke pelosok daerah; Pengetahuan tentang karakter, kondisi dan modal usaha kecil dan mikro kurang dimiliki oleh pengelola perbankan; Bank umum menghadapi masalah pengendalian dan keterbatasan tenaga pengawas atau penagih serta biayanya; Permasalahan usaha kecil dan mikro tidak sekedar permodalan tapi juga manajemen, pemasaran dan pengembangan teknologi.

Prioritas yang ingin diberikan otoritas ekonomi kepada kredit UMKM oleh perbankan, sejauh ini belum menunjukkan hasil memuaskan, jika dilihat dari data porsi nilai kredit dan jangkauan yang terlayani. Program dan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang begitu masif dan didukung alokasi dana APBN yang cukup besar juga belum terlampau efektif. Porsi nilai kredit UMKM hanya bertahan di kisaran 19-20 persen. Jumlah rekening kredit UMKM memang meningkat cukup pesat, namun baru sepertiga dari rekening nonUMKM.  Bahkan ada indikasi terjadi cukup banyak perpindahan rekening kredit belaka. Dari yang nonUMKM ke UMKM, dari kredit usaha menengah ke kredit usaha kecil, serta dari kredit usaha kecil ke kredit usaha mikro. Fenomena itu merupakan ekses dari kebijakan KUR dan semacamnya.


UMKM Sebagai Andalan Bukan hanya Pengaman Ekonomi
Sejauh ini UMKM memang lebih berperan sebagai “pengaman” ekonomi Indonesia. Perannya lebih menonjol sebagai penampung tenaga kerja yang kurang terserap sebagai buruh atau pekerja tetap, serta menolong kehidupan ekonomi rakyat banyak di kala resesi. Tak jarang pula menjadi “komoditas politik” dalam berbagai kesempatan. Sedangkan upaya penguatannya, terutama UMK, tampak belum terpadu dan tidak berorientasi pada pengembangannya.

Prioritas pengembangan kredit UMKM yang diharapkan mampu makin mendorong pemberdayaan UMKM, terutama usaha mikro, belum menunjukkan hasil optimal. Berbagai kebijakan yang disusun dan dilaksanakan tampak kurang berdasar kenyataan lapangan, tak memiliki kajian empiris yang memadai. Sedangkan kebijakan dalam hal membantu permodalan tak diimbangi dengan kebijakan riil, seperti: perbaikan regulasi usaha, peningkatan bimbingan teknis, bantuan pemasaran, advokasi terhadap persaingan tak seimbang, dan semacamnya.

Sebagai ilustrasi ketidaksinkronan tadiadalah melemahnya peran Kementerian Koperasi dan UKM dalam hal pembinaan dan pendampingan. Kementerian KUMKM menjadi satu-satunya yang alokasi anggarannya dalam APBN terus menurun, padahal terjadi inflasi, yang berarti berkurangnya kegiatan. Padahal, beberapa kajian sebenarnya menunjukkan bahwa dalam konteks kekinian dan tantangan ke depan, salah satu yang dapat dioptimalkan terkait pemberdayaan UMKM adalah menghubungkannya secara lebih sinergis dengan pengembangan koperasi. Kelembagaan koperasi ditantang untuk direvitalisasi agar mampu mewadahi upaya penguatan UMKM. Koperasi juga dapat sebagai sumber pembiayaan bagi pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Koperasi secara teknis dapat menggantikan atau melengkapi peran perbankan.

Sekali lagi dapat dikatakan bahwa peran UMKM, terutama UMK, baru sebagai pengaman ekonomi di kala lesu atau krisis dan kadang menjadi komoditas politik. Padahal, UMKM berpotensi  menjadi salah satu fundamen ekonomi serta sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Diperlukan kebijakan otoritas ekonomi yang lebih terpadu dalam berbagai aspek, berdasar kajian empiris yang memadai, serta melibatkan para pelaku dan pemangku kepentingan yang lebih faham kondisi. Dan musti menghubungkannya secara erat dengan revitalisasi koperasi di Indonesia. Jangan lupa, koperasi adalah amanat konstitusi, dan salah satu tujuan kemerdekaan adalah memajukan kesejahteraan umum. 

Tulisan untuk sarasehan 100 Ekonom Indonesia 12 Desember 2017 yang diselenggarakan Indef