UMKM HANYA DIPOSISIKAN SEBAGAI PENGAMAN EKONOMI INDONESIA
Pemerintah dan Bank Indonesia
selalu mengatakan kondisi perekonomian Indonesia kini sangat baik dan akan
lebih baik lagi pada tahun depan. Otoritas ekonomi terbiasa mengungkapkan
indikator makroekonomi yang sejauh ini memang tidak terlampau buruk, antara
lain: pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi dan neraca pembayaran
internasional. Sering ditambahkan pula dengan penjelasan tentang angka
kemiskinan yang terus turun, dan ketimpangan yang mulai membaik.
Berbagai indikator yang tak buruk
dan bahkan cenderung menggembirakan itu sebenarnya masih perlu diwaspadai,
mengingat sifat agregat dan rata-ratanya. Musti dicermati indikator disagregasi
dan kondisi lain yang terkait, termasuk kondisi sosial dan politik. Perlu diingat
pula bahwa pada beberapa bulan menjelang krisis 1997/98 dan kelesuan ekonomi
tahun 2009, Pemerintah bersuara serupa saat ini.
Terkait fenomena krisis ekonomi
1997/ 1998, salah satu yang menarik adalah fakta sektor UMKM (Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah) yang mampu tetap berdiri kokoh. Padahal, analisis atau
asesmen otoritas ekonomi sebelumnya tidak menonjolkannya sebagai faktor penting
dinamika ekonomi nasional. Beberapa tahun setelah krisis, berbagai data bahkan
menyebut peningkatan jumlah, pertumbuhan produksi dan serapannya atas tenaga
kerja. Sayangnya, data akurat dan berkelanjutan tentang hal ini kurang tersedia.
Yang paling sering dikutip adalah data Kementerian Koperasi dan UKM tahun
2012-2013, yang menyebut jumlah 57,89 juta unit usaha berskala UMKM atau 99,99%
dari total usaha.
Diduga pula, perkembangan UMKM
pada kurun waktu itu menjadi salah satu faktor yang menahan kehancuran total
perbankan, serta mulai mendorong kebangkitannya. Pasca krisis, makin banyak
UMKM yang memakai jasa sektor perbankan, hingga mencapai sepertiganya. Di sisi
perbankan, kredit yang disalurkan ke UMKM memang hanya di kisaran 20%, namun
layanan jasa lainnya yang bersifat nonkredit memang terus meningkat.
Pengalaman tersebut harusnya menyadarkan
banyak pihak, terutama Pemerintah dan Bank Indonesia (OJK) untuk bersama-sama
memperkuat dan makin memberi porsi perhatian lebih besar bagi UMKM. Sebagaimana
diketahui, UMKM memang masih dan selalu menghadapi berbagai masalah seperti
permodalan, manajemen, teknologi, dan pemasaran. Sementara itu tantangan pasar
bebas makin nyata dihadapi, sehingga persaingan tak hanya dengan pelaku usaha
besar domestik, melainkan dengan asing seperti derasnya arus barang impor yang
serupa dengan produksi mereka.
Peran UMKM Dilihat Dari
Data Status Pekerjaan Utama
Data UMKM saat ini memang kurang
tersedia. Kementerian koperasi dan MKM tak lagi mempublikasi data terbaru,
kecuali data tentang koperasi. Meskipun demikian, data BPS yang berdasar sensus
ekonomi 2016 untuk usaha mikro kecil (UMK) nonpertanian masih sejalan dengan
data lain sebelumnya. BPS mengatkan bahwa usaha mikro kecil masih menjadi usaha
yang paling dominan dalam perekonomian Indonesia dengan persentase mencapai
98,33 persen dengan jumlah usaha sekitar 26,3 juta usaha dengan serapan tenaga kerja mencapai 53,6
juta orang atau 76,28 persen dari total tenaga kerja di luar usaha Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan. Sekitar tiga per empatnya merupakan usaha mikro dengan
jumlah tenaga kerja 1-4 orang. Sekitar 46,27 persen, dengan penyerapan tenaga
kerja sekitar 37,30 persen, berada pada aktivitas Perdagangan Besar dan Eceran,
Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor.
BPS memberi informasi bahwa usaha modern
sedang meningkat pesat beberapa tahun terakhir, namun proporsi usaha
dan tenaga kerja UMK yang bergerak pada bisnis
tersebut disebutkan masih relatif
kecil dibandingkan dengan UMK Konvensional. UMK yang
bergerak pada bisnis berbasis online hanya sekitar 2,14 persen,
sedangkan UMK yang menerapkan sistem waralaba hanya sebesar 0,21 persen.
Meskipun demikian, UMK Modern memiliki kemampuan daya serap tenaga kerja yang
lebih besar. Berdasarkan skala usaha, jumlah usaha dan tenaga kerja aktivitas Ekonomi
Kreatif (Ekraf) lebih didominasi oleh usaha mikro kecil dari pada usaha
menengah besar, persentasenya mencapai 99,11 persen.
Sementara itu, data BPS tentang
status pekerjaan utama bagi pekerja juga dapat menggambarkan pertumbuhan jumlah
UMKM, khususnya usaha mikro dan usaha kecil (UMK). Data dimaksud adalah data
pekerja yang “Berusaha Sendiri” dan “Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak
Dibayar”. Jumlah keduanya untuk kondisi bulan September pada tahun 2001 sebesar
37,78 juta atau 41,62 persen dari pekerja. Kemudian pada tahun 2012 sebesar 37,99
juta atau 33,76 persen, dan 2017 sebesar 39,87 juta atau 32,95 persen. Secara
jumlah mengalami peningkatan, secara persentase terjadi penurunan, namun
porsinya masih cukup besar.
Sebenarnya akan menjadi berita
baik jika penurunan prosentase kedua status pekerjaan itu diimbangi oleh
kenaikan status pekerja yang “Berusaha Dibantu Buruh Tetap/ Buruh Dibayar”,
yang mengindikasikan usaha menengah dan usaha besar. Jika demikian, kita dapat
mengatakan bahwa sebagian UMK naik kelas skala usahanya. Sayangnya, status itu
secara jumlah memang sempat naik, namun belakangan justeru menurun, yakni: 2,79
juta atau 3,07 persen (2001), 3,96 juta
atau 3,52 persen (2012), dan 3,95 juta atau 3,27 persen (2017).
Jika dilihat dari sisi lain, maka
fenomena ketenagakerjaan atas dasar status pekerjaan utama dapat
mengindikasikan kelesuan ekonomi yang mulai berlangsung. Dan jika mulai atau
telah terjadi krisis, maka jumlah kedua status yang yang menggambarkan UMK tadi
dipastikan akan bertambah secara jumlah dan persentasi.
Perkembangan Kredit UMKM
Kinerja kredit bagi UMKM sering
dikabarkan lebih baik dibanding dengan kredit nonUMKM, terutama pada kondisi
perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih
khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit
lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut
meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit
korporasi.
Akan tetapi, fenomena penyaluran
kredit selama tujuh tahun terakhir masih menguatkan dugaan tentang perbankan
umum yang masih menghadapi kendala dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil
dan mikro. Tatkala dukungan dan dorongan Bank Indonesia, OJK serta Pemerintah
begitu kuat, laju kredit UMKM justeru tetap melambat. Kendala tersebut antara
lain disebabkan hal-hal sebagai berikut: Tidak semua bank umum memiliki
jaringan yang menyebar ke pelosok daerah; Pengetahuan tentang karakter, kondisi
dan modal usaha kecil dan mikro kurang dimiliki oleh pengelola perbankan; Bank
umum menghadapi masalah pengendalian dan keterbatasan tenaga pengawas atau penagih
serta biayanya; Permasalahan usaha kecil dan mikro tidak sekedar permodalan
tapi juga manajemen, pemasaran dan pengembangan teknologi.
Prioritas yang ingin diberikan
otoritas ekonomi kepada kredit UMKM oleh perbankan, sejauh ini belum
menunjukkan hasil memuaskan, jika dilihat dari data porsi nilai kredit dan jangkauan
yang terlayani. Program dan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang begitu
masif dan didukung alokasi dana APBN yang cukup besar juga belum terlampau
efektif. Porsi nilai kredit UMKM hanya bertahan di kisaran 19-20 persen. Jumlah
rekening kredit UMKM memang meningkat cukup pesat, namun baru sepertiga dari
rekening nonUMKM. Bahkan ada indikasi
terjadi cukup banyak perpindahan rekening kredit belaka. Dari yang nonUMKM ke
UMKM, dari kredit usaha menengah ke kredit usaha kecil, serta dari kredit usaha
kecil ke kredit usaha mikro. Fenomena itu merupakan ekses dari kebijakan KUR
dan semacamnya.
UMKM Sebagai Andalan Bukan hanya Pengaman Ekonomi
Sejauh ini UMKM memang lebih
berperan sebagai “pengaman” ekonomi Indonesia. Perannya lebih menonjol sebagai
penampung tenaga kerja yang kurang terserap sebagai buruh atau pekerja tetap,
serta menolong kehidupan ekonomi rakyat banyak di kala resesi. Tak jarang pula
menjadi “komoditas politik” dalam berbagai kesempatan. Sedangkan upaya
penguatannya, terutama UMK, tampak belum terpadu dan tidak berorientasi pada
pengembangannya.
Prioritas pengembangan kredit
UMKM yang diharapkan mampu makin mendorong pemberdayaan UMKM, terutama usaha
mikro, belum menunjukkan hasil optimal. Berbagai kebijakan yang disusun dan
dilaksanakan tampak kurang berdasar kenyataan lapangan, tak memiliki kajian
empiris yang memadai. Sedangkan kebijakan dalam hal membantu permodalan tak
diimbangi dengan kebijakan riil, seperti: perbaikan regulasi usaha, peningkatan
bimbingan teknis, bantuan pemasaran, advokasi terhadap persaingan tak seimbang,
dan semacamnya.
Sebagai ilustrasi
ketidaksinkronan tadiadalah melemahnya peran Kementerian Koperasi dan UKM dalam
hal pembinaan dan pendampingan. Kementerian KUMKM menjadi satu-satunya yang
alokasi anggarannya dalam APBN terus menurun, padahal terjadi inflasi, yang
berarti berkurangnya kegiatan. Padahal, beberapa kajian sebenarnya menunjukkan
bahwa dalam konteks kekinian dan tantangan ke depan, salah satu yang dapat
dioptimalkan terkait pemberdayaan UMKM adalah menghubungkannya secara lebih
sinergis dengan pengembangan koperasi. Kelembagaan koperasi ditantang untuk
direvitalisasi agar mampu mewadahi upaya penguatan UMKM. Koperasi juga dapat
sebagai sumber pembiayaan bagi pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). Koperasi secara teknis dapat menggantikan atau melengkapi peran
perbankan.
Sekali lagi dapat dikatakan bahwa
peran UMKM, terutama UMK, baru sebagai pengaman ekonomi di kala lesu atau
krisis dan kadang menjadi komoditas politik. Padahal, UMKM berpotensi menjadi salah satu fundamen ekonomi serta
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Diperlukan kebijakan otoritas ekonomi yang
lebih terpadu dalam berbagai aspek, berdasar kajian empiris yang memadai, serta
melibatkan para pelaku dan pemangku kepentingan yang lebih faham kondisi. Dan
musti menghubungkannya secara erat dengan revitalisasi koperasi di Indonesia.
Jangan lupa, koperasi adalah amanat konstitusi, dan salah satu tujuan
kemerdekaan adalah memajukan kesejahteraan umum.
Tulisan untuk sarasehan 100 Ekonom Indonesia 12 Desember 2017 yang diselenggarakan Indef