Rabu, 18 Januari 2017

IPM TERTINGGI BUKAN BERARTI PENDUDUK JAKARTA PALING SEJAHTERA, APALAGI PALING BAHAGIA

Debat pilgub Jakarta beberapa waktu lalu banyak menyoroti soal kemiskinan dan ketimpangan, yang sudah pula kutulis dalam dua tulisan sebelumnya. Salah satu paslon penantang menyampaikan pandangan dari sudut pandang kesejahteraan, karena memang tidak serupa antara mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan, meski berhubungan erat. Menurutnya, yang utama musti menjadi orientasi adalah peningkatan kesejahteraan. Sementara itu, calon Petahana sempat pula menyodorkan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai bukti perbaikan kesejahteraan penduduk Jakarta,  yang berarti masalah kemiskinan teratasi.

Untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan kesejahteraan, bahkan seberapa besar peningkatannya dari tahun ke tahun, diperlukan ukuran atau indikator. IPM yang disebut petahana hanya salah satunya, yang nanti akan kita bahas. BPS DKI Jakarta sendiri mempublikasikan satu buku tentang indikator Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta setiap tahun, yang antara lain menganalisis data tentang: pendidikan, kesehatan, pendapatan masyarakat, pengangguran, kondisi perumahan, dan sebagainya.

IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Dimensi kesehatan diukur melalui Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH). Dimensi pengetahuan atau pendidikan diukur dengan Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Sedangkan standar hidup layak digambarkan melalui pengeluaran per kapita disesuaikan, yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli.

Pada tahun 2015, angka IPM Indonesia sebesar 69,55%, tumbuh 0,94 persen atau bertambah 0,65 poin dibandingkan IPM tahun 2014. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya: 0,87% (2014), 0,91% (2013), 0,90% (2012), 0,84% (2011).



 Berdasarkan status pencapaiannya, 8 provinsi berada pada kategori pembangunan manusia “tinggi” atau IPM diatas 70 pada tahun 2015. DKI Jakarta memang sudah sekitar sepuluh tahun termasuk kategori ini, baik dalam metode ukuran lama maupun yang baru dari BPS, serta menempati peringkat teratas IPM. Gambar yang disalin dari publikasi BPS DKI Jakarta memperlihatkan perkembangan lima tahun dengan metode perhitungan yang baru. Dan bisa dibandingkan dengan gambar IPM nasional di atas yang disalin dari publikasi BPS. Dengan kata lain, IPM Jakarta yang tertinggi sulit diklaim sebagai prestasi utama gubernur Petahana sekarang.  

Menarik pula jika IPM Jakarta kita telisik lebih jauh dari masing-masing dimensinya. Ketiga dimensi (yang dicerminkan oleh empat indikator) memang mengalami perbaikan selama lima tahun terakhir. Akan tetapi dua indikator atau komponen, yaitu Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) DKI Jakarta bukan lah yang tertinggi di Indonesia. IPM peringkat satu, tetapi AHH berada di peringkat empat, dan HLS hanya perinkat 11. IPM yang amat tinggi lebih banyak dikontribusi oleh pengeluaran per kapita, yang memang jauh dibandingkan rata-rata nasional, dan berbagai propinsi lain. Gambar yang disalin dari publikasi BPS DKI juga menunjukkan laju perbaikan IPM sudah lebih rendah dibanding rata-rata nasional, meskipun wajar karena sudah berada dalam posisi yang jauh lebih tinggi.  


Catatan lain yang harus diberikan pada IPM tertinggi DKI Jakarta, yang tadi terindikasi ditopang oleh pengeluaran per kapita  sebagai penggambaran standar hidup yang layak. Angka demikian bersifat agregat dan rerata, yang memang tak bisa dihindari sebagai penyederhanaan untuk keperluan statistik, sehingga memerlukan informasi tambahan untuk menggambarkan kondisi penduduk Jakarta yang lebih sesuai kenyataan. Dalam dua tulisan terdahulu di blog ini, sudah dijelaskan tentang masih rawannya soalan kemiskinan dan meningkatnya ketimpangan ekonomi di Jakarta. Artinya, IPM tinggi tak mencerminkan kedua soalan itu, bahkan menyamarkannya. Bahwa ada 384 ribu orang miskin, dan jika ditambahkan dengan yang hampir miskin serta yang rentan miskin (dalam ukuran BPS) akan mencapai hampir 3 juta orang, menjadi tidak terlalu penting. Jika ketiga kelompok ini diberi angka IPM tersendiri, maka kita bisa membayangkan capaian yang amat rendah. Setidaknya kita bisa memastikan bahwa IPM tertinggi tidak berarti (hampir) semua penduduk Jakarta sejahtera. 

Lebih banyak lagi catatan yang harus diberikan jika menganalisis publikasi BPS DKI Jakarta tentang indikator Kesejahteraan Rakyat dalam kurun beberapa tahun. Terutama dengan hal-hal seperti: kesehatan, pengangguran, dan kondisi perumahan. Akan menguatkan bahwa masih amat banyak penduduk Jakarta yang tidak atau belum sejahtera.

BPS dan BPS DKI Jakarta juga sempat mempublikasikan suatu indeks yang disebut Indeks Kebahagiaan. Indeks Kebahagiaan. Indeks Kebahagiaan yang dipublikasi adalah untuk kondisi tahun 2013 dan tahun 2014, yang dipublikasikan pada tahun berikutnya. Sayang, hingga kini BPS belum mengeluarkannya lagi. Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu pada skala 0–100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan,   3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9)  keadaan  lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.

Indeks Kebahagiaan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 sebesar 69,21, sedikit lebih tinggi dari Indeks Kebahagiaan Indonesia yang sebesar 68,28. Perlu dicermati bahwa dalam hal Indeks kebahagiaan, DKI Jakarta hanya sedikit lebih tinggi dibanding nasional, dan cuma berada pada peringkat ke 15. IPM peringkat 1, Indeks kebahagiaan peringkat 15. Tampak pula pada gambar yang disalin dari BPS DKI Jakarta bahwa tingkat kepuasan yang paling rendah terjadi pada aspek pendidikan (62,72) dan Pendapatan rumah tangga (65,56).

Jika dibandingkan dengan tingkat kepuasan, yang merupakan komponen dari indeks kebahagiaan, tampak DKI Jakarta lebih rendah dalam beberapa hal dibandingkan rata-rata nasional. (gambar di bawah adalah untuk kondisi nasional). Diantaranya adalah:  Kondisi keamanan, Keadaan lingkungan, dan Hubungan sosial. Kita dapat mengatakan bahwa penduduk Jakarta masih belum puas atas masalah keamanan dan kenyamanan hidup di lingkungannya.


Siapapun yang terpilih menjadi gubernur masih akan menemui bahwa sangat banyak penduduk Jakarta yang masih belum sejahtera, dan jauh dari bahagia. Banyak kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk memperbaiki itu. Semua penduduk Jakarta berhak menjadi bahagia!