Debat pilgub Jakarta beberapa
waktu lalu banyak menyoroti soal kemiskinan dan ketimpangan, yang sudah pula
kutulis dalam dua tulisan sebelumnya. Salah satu paslon penantang
menyampaikan pandangan dari sudut pandang kesejahteraan, karena memang tidak
serupa antara mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan, meski
berhubungan erat. Menurutnya, yang utama musti menjadi orientasi adalah peningkatan
kesejahteraan. Sementara itu, calon Petahana sempat pula menyodorkan peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) sebagai bukti perbaikan kesejahteraan penduduk Jakarta, yang berarti masalah kemiskinan teratasi.
Untuk mengetahui apakah terjadi
perbaikan kesejahteraan, bahkan seberapa besar peningkatannya dari tahun ke
tahun, diperlukan ukuran atau indikator. IPM yang disebut petahana hanya salah
satunya, yang nanti akan kita bahas. BPS DKI Jakarta sendiri mempublikasikan satu
buku tentang indikator Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta setiap tahun, yang
antara lain menganalisis data tentang: pendidikan, kesehatan, pendapatan
masyarakat, pengangguran, kondisi perumahan, dan sebagainya.
IPM menjelaskan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar,
yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan
(knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Dimensi kesehatan
diukur melalui Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH). Dimensi pengetahuan atau
pendidikan diukur dengan Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah
(RLS). Sedangkan standar hidup layak digambarkan melalui pengeluaran per kapita
disesuaikan, yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya
beli.
Pada tahun 2015, angka IPM
Indonesia sebesar 69,55%, tumbuh 0,94 persen atau bertambah 0,65 poin
dibandingkan IPM tahun 2014. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding
pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya: 0,87% (2014), 0,91% (2013), 0,90% (2012),
0,84% (2011).
Menarik pula jika IPM Jakarta kita
telisik lebih jauh dari masing-masing dimensinya. Ketiga dimensi (yang dicerminkan
oleh empat indikator) memang mengalami perbaikan selama lima tahun terakhir.
Akan tetapi dua indikator atau komponen, yaitu Angka Harapan Hidup saat lahir
(AHH) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) DKI Jakarta bukan lah yang tertinggi di
Indonesia. IPM peringkat satu, tetapi AHH berada di peringkat empat, dan HLS
hanya perinkat 11. IPM yang amat tinggi lebih banyak dikontribusi oleh pengeluaran
per kapita, yang memang jauh dibandingkan rata-rata nasional, dan berbagai
propinsi lain. Gambar yang disalin dari publikasi BPS DKI juga menunjukkan laju
perbaikan IPM sudah lebih rendah dibanding rata-rata nasional, meskipun wajar
karena sudah berada dalam posisi yang jauh lebih tinggi.
Catatan lain yang harus diberikan
pada IPM tertinggi DKI Jakarta, yang tadi terindikasi ditopang oleh pengeluaran
per kapita sebagai penggambaran standar
hidup yang layak. Angka demikian bersifat agregat dan rerata, yang memang tak
bisa dihindari sebagai penyederhanaan untuk keperluan statistik, sehingga
memerlukan informasi tambahan untuk menggambarkan kondisi penduduk Jakarta yang
lebih sesuai kenyataan. Dalam dua tulisan terdahulu di blog ini, sudah
dijelaskan tentang masih rawannya soalan kemiskinan dan meningkatnya ketimpangan
ekonomi di Jakarta. Artinya, IPM tinggi tak mencerminkan kedua soalan itu, bahkan
menyamarkannya. Bahwa ada 384 ribu orang miskin, dan jika ditambahkan dengan
yang hampir miskin serta yang rentan miskin (dalam ukuran BPS) akan mencapai hampir
3 juta orang, menjadi tidak terlalu penting. Jika ketiga kelompok ini diberi
angka IPM tersendiri, maka kita bisa membayangkan capaian yang amat rendah.
Setidaknya kita bisa memastikan bahwa IPM tertinggi tidak berarti (hampir) semua
penduduk Jakarta sejahtera.
Lebih banyak lagi catatan yang
harus diberikan jika menganalisis publikasi BPS DKI Jakarta tentang indikator
Kesejahteraan Rakyat dalam kurun beberapa tahun. Terutama dengan hal-hal
seperti: kesehatan, pengangguran, dan kondisi perumahan. Akan menguatkan bahwa masih
amat banyak penduduk Jakarta yang tidak atau belum sejahtera.
BPS dan BPS DKI Jakarta juga sempat
mempublikasikan suatu indeks yang disebut Indeks Kebahagiaan. Indeks
Kebahagiaan. Indeks Kebahagiaan yang dipublikasi adalah untuk kondisi tahun 2013
dan tahun 2014, yang dipublikasikan pada tahun berikutnya. Sayang, hingga kini
BPS belum mengeluarkannya lagi. Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari
angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu pada skala 0–100. Semakin
tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia,
demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin
tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh
tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek
tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan
yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5)
keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8)
kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Indeks Kebahagiaan Provinsi DKI
Jakarta tahun 2014 sebesar 69,21, sedikit lebih tinggi dari Indeks Kebahagiaan
Indonesia yang sebesar 68,28. Perlu dicermati bahwa dalam hal Indeks
kebahagiaan, DKI Jakarta hanya sedikit lebih tinggi dibanding nasional, dan cuma
berada pada peringkat ke 15. IPM peringkat 1, Indeks kebahagiaan peringkat 15. Tampak
pula pada gambar yang disalin dari BPS DKI Jakarta bahwa tingkat kepuasan yang
paling rendah terjadi pada aspek pendidikan (62,72) dan Pendapatan rumah tangga
(65,56).
Jika dibandingkan dengan tingkat
kepuasan, yang merupakan komponen dari indeks kebahagiaan, tampak DKI Jakarta
lebih rendah dalam beberapa hal dibandingkan rata-rata nasional. (gambar di bawah adalah untuk kondisi nasional). Diantaranya
adalah: Kondisi keamanan, Keadaan
lingkungan, dan Hubungan sosial. Kita dapat mengatakan bahwa penduduk Jakarta
masih belum puas atas masalah keamanan dan kenyamanan hidup di lingkungannya.
Siapapun yang terpilih menjadi
gubernur masih akan menemui bahwa sangat banyak penduduk Jakarta yang masih
belum sejahtera, dan jauh dari bahagia. Banyak kebijakan dan program yang bisa
dilakukan untuk memperbaiki itu. Semua penduduk Jakarta berhak menjadi bahagia!