Jumat, 20 Januari 2017

KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) HARUS DIKAJI ULANG


Keuangan inklusif (financial inclusion) biasa diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program keuangan inklusif yang diklaim berhasil oleh Pemerintahan Presiden SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR memang diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun, serta menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.




Kesuksesan KUR tampak diakui oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang kemudian menggandakan skalanya. Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015, serta APBN 2016 menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%. Suku bunga efektif bagi nasabah menjadi maksimal 9%. Dana subsidi APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun. KUR masih akan berlanjut pada tahun 2017, subsidi siap digelontorkan lagi dengan jumlah yang setara, namun suku bunga efektif diharapkan menjadi maksimal 7%.

KUR baru secara konseptual memang tampak seperti terobosan besar. Diyakini akan makin banyak orang (UMKM) yang bisa mengakses kredit, dan biaya modal menjadi jauh lebih rendah. Akan tetapi, jika data data realisasi dicermati, maka ada indikasi perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah KUR era Presdien SBY dan beberapa juta nasabah era Presiden Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan status nasabah nonKUR menjadi KUR saja.

Sebagai contoh, data nasabah kredit UMKM baru mencapai 11,93 juta rekening hingga Desember 2015, atau bertambah sebanyak 0,95 juta dari Desember 2014. Data tersebut terkonfirmasi dari sumber resmi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup nasabah penerima kredit KUR dan yang nonKUR. Pada kurun bersamaan, komite KUR melaporkan bahwa selama 2015 telah tersalur KUR kepada 1.003.533 debitur. Secara lebih khusus, ketika KUR baru lebih dimasifkan pada tahun 2016, data rekening kredit UMKM (KUR dan non KUR) dari Januari hingga Oktober 2016 memang bertambah cukup signifikan, bertambah bertambah 1,33 juta, dari 11,93 juta menjadi 13.26 juta. Akan tetapi data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) KUR melaporkan pada kurun tersebut nasabah bertambah lebih dari 3 juta. Dan total rekening yang masih outstanding adalah 5,23 juta rekening, karena jangka waktu kredit adalah antara 1 sampai dengan 3 tahun. Terkonfirmasi pula dengan data nilai plafond kredit UMKM versi Statistik Perbankan dengan SIKP KUR, yang menunjukkan indikasi serupa.


Sekitar dua tahun, data BI memperlihatkan bahwa total rekening kredit naik dari 40,51 juta rekening (januari 2015) menjadi 41,44 juta rekening (oktober 2016), suatu kenaikan yang “biasa” dan bahkan sedikit di bawah rata-rata kenaikan sebelumnya. Seiring dengan laju pertumbuhan kredit (nilai) yang memang melambat, akibat kondisi umum perekonomian. Akan tetapi, data jumlah rekening kredit nonUMKM justeru turun dari 29,51 juta (jan 2016) menjadi 28,18 juta (okt 2016). Hal yang amat tidak lazim dalam kurun dua tahun, yang biasanya selalu bertambah. Penjelasan sederhananya, yang penerima kredit nonUMKM sebagiannya pindah menjadi UMKM, karena ada insentif KUR. Tidak hanya itu, dalam kriteria kredit UMKM sendiri, terjadi penurunan dalam kredit Menengah, yang memang secara teknis tidak tercakup KUR. KUR hanya tersalur pada skala mikro dan kecil. Dengan demikian, terindikasi kuat adanya perpindahan nasabah nonKUR menjadi KUR, yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan yang bermaksud memperluas jangkauan layanan.


Perlu diketahui bahwa berdasarkan definisi usaha dalam UU. No.20/2008 tentang UMKM, baki debet kredit UMKM mencapai Rp 835,21 triliun pada september 2016. Kontribusi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan itu adalah 19,68 %. Porsi kredit UMKM mengalami fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 dan 2015, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM. Akibatnya porsi kredit UMKM pun menurun, meski menaik perlahan hingga September tahun 2016. Bisa dikatakan bahwa data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah.

Perlu dicatat bahwa penyalur KUR adalah perbankan yang megajukan dan memenuhi persyaratan. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan sebagai penyalur langsung. LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam dan koperasi syariah (BMT). Akibatnya di lapangan, BPR sudah merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan dilakukan secara berbeda. Namun, jelas akan terdampak jika KUR baru ini makin bersifat masif. Dengan demikian, KUR belakangan ini justeru membuat BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank lain. BPR akan lebih terpuruk, jika tidak segera dilibatkan dalam penyaluran KUR. Sedangkan LKM (koperasi) akan menghadapi masalah serius karena perpindahan nasabah.

Sementara itu, dalam konteks paket kebijakan keuangan inklusif yang lebih luas, yang tampak berjalan cukup masif antara lain adalah edukasi kepada masyarakat luas tentang layanan keuangan, khususnya bank. Program unggulan lainnya adalah apa yang disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. Dalam konteks ini dikenallah istilah agen laku pandai. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank.

LKM yang mandiri dari masyarakat saat ini terancam menjadi korban dari program KUR dan laku pandai, yang tersubsidi oleh APBN. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda sebagi agen sekaligus rentenir. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya, dan telah pula memiliki pula dampak buruk jika diperhitungkan dalam konteks industry keuangan secara keseluruhan.

Analisis atas berbagai data simpanan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta data kredit dari Bank Indonesia mengisyaratkan banyak hal, diantaranya memperkuat fakta peningkatan ketimpangan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa simpanan dengan nilai nominal yang besar leluasa memilih bentuk dan akan mendapat imbal hasil yang secara prosentase lebih besar. Sedangkan dalam hal kredit, mereka yang meminjam dalam nominal kecil akan membayar biaya (bunga) yang lebih tinggi. 


Otoritas ekonomi, moneter dan perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif (termasuk KUR) benar-benar akan memberi kontribusi positif saat ini dan kedepannya. Baik dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi. Yang jelas, ketika agenda tersebut mulai dikenalkan dan dijalankan, tingkat ketimpangan ekonomi antar kelompok masyarakat cenderung sedang melebar. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal peningkatan akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan, melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan. BPS sudah mengingatkan melalui data Susenas bahwa penerima KUR justeru lebih banyak dua kuintil atas atau 40% penduduk yang berpendapatan paling tinggi. Bukan yang berada pada kuintil bawah.


Upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi sebagai subyek, bukan sekadar objek. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud. Sesuai penamaannya, kebijakan keuangan inklusif berarti bukan semata perbankan inklusif.


Dalam hal KUR, wacana dan pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan koperasi. Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih perlu dicari skema dan prosedur teknisnya. Dalam hal Laku Pandai, koperasi masih diposisikan sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian, koperasi yang sudah mandiri dan berkembang tidak akan diuntungkan. Masih perlu dicari kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi.