Banyak orang kaya yang tinggal di
Jakarta adalah kasat mata, dan memang diindikasikan oleh data distribusi
pengeluaran BPS, dan juga oleh informasi mengenai sebaran pembayar pajak terbesar.
Sementara itu, orang miskin pun masih amat banyak untuk ukuran domisili di
sebuah wilayah perkotaan, masih 384 ribu per September 2016. Bahkan, kondisi
kemiskinan masih sangat rawan jika data BPS ditelisik lebih lanjut dan lebih detil,
sebagaimana yang sudah disampaikan pada tulisan terdahulu.
Salah satu ukuran ketimpangan
ekonomi yang paling banyak dipakai adalah gini rasio atau koefisien gini dari
BPS. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran
kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya
pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase
kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif
penduduk (dari kelompok termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu
horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada
sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini
didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada
grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna,
sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan
sempurna.
Perkembangan gini rasio mengindikasikan
kecenderungan ketimpangan ekonomi yang makin meningkat di Jakarta. Indeks Gini
yang sempat terus meningkat dan cenderung lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Data terkini, gini rasio Jakarta tahun 2016 (Maret) memang turun menjadi 0,411,
namun itu seiring dengan kecenderungan nasional. Jakarta tetap menempati
peringkat ke 5 tertinggi. Jika gini rasio nasional sudah kembali ke kategori ketimpangan
rendah, maka Jakarta masih bertahan dalam kategori ketimpangan sedang.
Kecenderungan yang serupa
diindikasikan oleh data BPS dalam hal distribusi pendapatan dengan kriteria
Bank Dunia. Penduduk dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu 40 persen terbawah,
40 persen menengah, dan 20 persen teratas. BPS mengolah data dari Modul
Konsumsi Susenas, yang bisa menjadi indikator melihat distribusi pengeluaran
antar kelompok penduduk. Data pengeluaran dianggap proxy atau cukup
mencerminkan data pendapatan. Hasilnya untuk Jakarta juga tergolong ketimpangan
sedang, sementara nasional telah beranjak menjadi ketimpangan rendah. Pengeluaran
40% kelompok terendah hanya sebesar 16,02%. Sedangkan 20% kelompok teratas
justeru menikmati konsumsi sebesar 50,38%.
Ketimpangan adalah fakta
sekaligus rasa. Ketimpangan di Jakarta berpotensi akan lebih terasa karena
fakta itu demikian kasat mata. Mereka hidup di lokasi yang relatif tidak luas
dan daratan, kecuali yang di kepulauan Seribu, sehingga peluang interaksi
menjadi cukup tinggi. Lapisan terbawah dapat melihat gaya hidup lapisan atasan,
semisal urusan transportasi, tempat makan, mall, dan lain-lain.
Melihat kecenderungan pertumbuhan
ekonomi dan dinamika ekonomi yang tengah berlangsung, maka masalah ketimpangan
berpeluang menjadi lebih akut di Jakarta. Dibutuhkan tindakan nyata dan
sebagian bersifat langsung dari Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.