Sabtu, 14 Januari 2017

KETIMPANGAN EKONOMI YANG MENINGKAT DI JAKARTA

Banyak orang kaya yang tinggal di Jakarta adalah kasat mata, dan memang diindikasikan oleh data distribusi pengeluaran BPS, dan juga oleh informasi mengenai sebaran pembayar pajak terbesar. Sementara itu, orang miskin pun masih amat banyak untuk ukuran domisili di sebuah wilayah perkotaan, masih 384 ribu per September 2016. Bahkan, kondisi kemiskinan masih sangat rawan jika data BPS ditelisik lebih lanjut dan lebih detil, sebagaimana yang sudah disampaikan pada tulisan terdahulu.  

Salah satu ukuran ketimpangan ekonomi yang paling banyak dipakai adalah gini rasio atau koefisien gini dari BPS. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari kelompok termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna.


Perkembangan gini rasio mengindikasikan kecenderungan ketimpangan ekonomi yang makin meningkat di Jakarta. Indeks Gini yang sempat terus meningkat dan cenderung lebih tinggi dari rata-rata nasional. Data terkini, gini rasio Jakarta tahun 2016 (Maret) memang turun menjadi 0,411, namun itu seiring dengan kecenderungan nasional. Jakarta tetap menempati peringkat ke 5 tertinggi. Jika gini rasio nasional sudah kembali ke kategori ketimpangan rendah, maka Jakarta masih bertahan dalam kategori ketimpangan sedang.



Kecenderungan yang serupa diindikasikan oleh data BPS dalam hal distribusi pendapatan dengan kriteria Bank Dunia. Penduduk dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas. BPS mengolah data dari Modul Konsumsi Susenas, yang bisa menjadi indikator melihat distribusi pengeluaran antar kelompok penduduk. Data pengeluaran dianggap proxy atau cukup mencerminkan data pendapatan. Hasilnya untuk Jakarta juga tergolong ketimpangan sedang, sementara nasional telah beranjak menjadi ketimpangan rendah. Pengeluaran 40% kelompok terendah hanya sebesar 16,02%. Sedangkan 20% kelompok teratas justeru menikmati konsumsi sebesar 50,38%.






Ketimpangan adalah fakta sekaligus rasa. Ketimpangan di Jakarta berpotensi akan lebih terasa karena fakta itu demikian kasat mata. Mereka hidup di lokasi yang relatif tidak luas dan daratan, kecuali yang di kepulauan Seribu, sehingga peluang interaksi menjadi cukup tinggi. Lapisan terbawah dapat melihat gaya hidup lapisan atasan, semisal urusan transportasi, tempat makan, mall, dan lain-lain.

Melihat kecenderungan pertumbuhan ekonomi dan dinamika ekonomi yang tengah berlangsung, maka masalah ketimpangan berpeluang menjadi lebih akut di Jakarta. Dibutuhkan tindakan nyata dan sebagian bersifat langsung dari Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.