Utang Pemerintah Pusat per
tanggal 31 Desember 2016 adalah sebesar Rp3.467 Triliun. Bagi para pengkritik,
jumlah itu sudah terlampau besar dan amat berbahaya. Pemerintah terutama
memberi penjelasan tentang masih amannya dengan perbandingan antara jumlah
utang dengan Pendapatan Nasional (PDB). Rasio ini umum diterima dalam wacana
dunia, angka pun tersedia untuk kebanyakan negara, sehingga bisa dibandingkan.
Penalaran yang mendasarinya, utang pemerintah adalah utang negara atau seluruh
komponen negara, maka pendapatan mereka adalah semacam “jaminan” kemampuan
menanggung atau membayarnya. Dilihat rasio ini, Indonesia terbilang aman
meskipun telah terjadi peningkatan dalam beberapa tahun ini. PDB tahun 2016
diperkirakan sebesar Rp12.627 Triliun, maka utang sebesar Rp3.467 Triliun tadi “hanya”
sebesar 27,5% nya saja. Rasio jumlah utang berbanding PDB sebelumnya adalah:
23,0% (2012), 24,9% (2013), 24,7% (2014), dan 27,4% (2015). Lihat gambar yang disalin
dari publikasi Kemenkeu terbaru.
Pemerintah juga biasa mengatakan
bahwa rasio itu termasuk yang rendah jika dibandingkan dengan banyak negara
lain. Secara lebih khusus dikatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (2006 –
2016), Indonesia justeru berprestasi besar mengurangi rasio tadi. Mengungguli
kebanyakan negara lain, yang bahkan ada yang meningkat rasionya. (Gambar
disalin dari publikasi Kemenkeu)
Dalam rangka kehati-hatian,
Pemerintah mustinya lebih waspada dan tidak menjadikan rasio itu sebagai ukuran
batas aman. Sebagai contoh, Pemerintah dapat melihat perbandingan arus
pembayaran beban utang dengan pendapatan. Oleh karena yang harus membayar adalah
Pemerintah, maka yang dipakai adalah data Pendapatan dalam realisasi APBN. Data
Pendapatan yang dipakai adalah yang tidak memasukkan perolehan hibah, yaitu Penerimaan
Dalam Negeri. Sedangkan beban utang diperhitungkan dari Pembayaran Bunga Utang dan Pembayaran Pokok Utang. Jika
rasio ini yang dipakai maka perkembangan dalam beberapa tahun terakhir cukup
mengkhawatirkan, yaitu: 20,63% (2012), 19,09% (2013), 23,97% (2014), 25,56%
(2015), dan 32,69% (2016).
Pada tahun 2016 beban utang (pembayaran
pokok dan bunga) memang tampak lebih berat. Realisasinya tetap melampaui target
APBN 2016 yang direvisi oleh APBNP 2016. Mencapai Rp 505,38 Triliun atau
105,22% dari yang ditargetkan APBNP 2016. (Gambar disalin dari publikasi
Kemenkeu)
Apa artinya rasio sebesar 32,69%
pada tahun 2016? Artinya, hampir sepertiga peneriman Pemerintah yang berasal
dari penerimaan perpajakan dan Penerimaan Bukan Pajak dipakai untuk keperluan membayar
beban utang. Untuk membayar bunga utang dan untuk membayar cicilan atau
pelunasan pokok utang. Meskipun dalam APBN 2017 diusahakan akan diperbaiki
menjadi sekitar 27,69% lagi, kelihatannya dalam realisasi nanti akan tetap di atas
30%. Beban utang sudah jelas, sesuai jatuh tempo dan semacamnya, akan
terealisasi di kisaran target rencana, sebagaimana biasanya. Sedangkan
pendapatan, selalu di bawah target.
Pemerintah sebenarnya juga mulai
menyadari bahwa masalah utang ini perlu diwaspadai. Beberapa indikator ditampilkan
secara rutin belakangan ini. Diantaranya membuat beberapa rasio pembayaran
bunga utang. Secara umum tampak beban yang makin berat. (Gambar disalin dari
publikasi Kemenkeu)
Jadi bagi para pengusul agar Pemerintah
berhenti utang, maka kita akan kesulitan membiayai belanja pemerintah.
Pemerintah mungkin tidak mampu memberi layanan publik sebesar yang kita rasakan
sekarang, apalagi memperbaikinya.
Begitulah kondisinya, utang makin
menjerat Pemerintah, dan selanjutnya beban utang mencekik rakyat!