Rabu, 25 Januari 2017

BEBAN UTANG PEMERINTAH YANG MAKIN BERAT

Utang Pemerintah Pusat per tanggal 31 Desember 2016 adalah sebesar Rp3.467 Triliun. Bagi para pengkritik, jumlah itu sudah terlampau besar dan amat berbahaya. Pemerintah terutama memberi penjelasan tentang masih amannya dengan perbandingan antara jumlah utang dengan Pendapatan Nasional (PDB). Rasio ini umum diterima dalam wacana dunia, angka pun tersedia untuk kebanyakan negara, sehingga bisa dibandingkan. Penalaran yang mendasarinya, utang pemerintah adalah utang negara atau seluruh komponen negara, maka pendapatan mereka adalah semacam “jaminan” kemampuan menanggung atau membayarnya. Dilihat rasio ini, Indonesia terbilang aman meskipun telah terjadi peningkatan dalam beberapa tahun ini. PDB tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp12.627 Triliun, maka utang sebesar Rp3.467 Triliun tadi “hanya” sebesar 27,5% nya saja. Rasio jumlah utang berbanding PDB sebelumnya adalah: 23,0% (2012), 24,9% (2013), 24,7% (2014), dan 27,4% (2015). Lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu terbaru.



Pemerintah juga biasa mengatakan bahwa rasio itu termasuk yang rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Secara lebih khusus dikatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (2006 – 2016), Indonesia justeru berprestasi besar mengurangi rasio tadi. Mengungguli kebanyakan negara lain, yang bahkan ada yang meningkat rasionya. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Dalam rangka kehati-hatian, Pemerintah mustinya lebih waspada dan tidak menjadikan rasio itu sebagai ukuran batas aman. Sebagai contoh, Pemerintah dapat melihat perbandingan arus pembayaran beban utang dengan pendapatan. Oleh karena yang harus membayar adalah Pemerintah, maka yang dipakai adalah data Pendapatan dalam realisasi APBN. Data Pendapatan yang dipakai adalah yang tidak memasukkan perolehan hibah, yaitu Penerimaan Dalam Negeri. Sedangkan beban utang diperhitungkan dari Pembayaran  Bunga Utang dan Pembayaran Pokok Utang. Jika rasio ini yang dipakai maka perkembangan dalam beberapa tahun terakhir cukup mengkhawatirkan, yaitu: 20,63% (2012), 19,09% (2013), 23,97% (2014), 25,56% (2015), dan 32,69% (2016).


Pada tahun 2016 beban utang (pembayaran pokok dan bunga) memang tampak lebih berat. Realisasinya tetap melampaui target APBN 2016 yang direvisi oleh APBNP 2016. Mencapai Rp 505,38 Triliun atau 105,22% dari yang ditargetkan APBNP 2016. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Apa artinya rasio sebesar 32,69% pada tahun 2016? Artinya, hampir sepertiga peneriman Pemerintah yang berasal dari penerimaan perpajakan dan Penerimaan Bukan Pajak dipakai untuk keperluan membayar beban utang. Untuk membayar bunga utang dan untuk membayar cicilan atau pelunasan pokok utang. Meskipun dalam APBN 2017 diusahakan akan diperbaiki menjadi sekitar 27,69% lagi, kelihatannya dalam realisasi nanti akan tetap di atas 30%. Beban utang sudah jelas, sesuai jatuh tempo dan semacamnya, akan terealisasi di kisaran target rencana, sebagaimana biasanya. Sedangkan pendapatan, selalu di bawah target.

Pemerintah sebenarnya juga mulai menyadari bahwa masalah utang ini perlu diwaspadai. Beberapa indikator ditampilkan secara rutin belakangan ini. Diantaranya membuat beberapa rasio pembayaran bunga utang. Secara umum tampak beban yang makin berat. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Jadi bagi para pengusul agar Pemerintah berhenti utang, maka kita akan kesulitan membiayai belanja pemerintah. Pemerintah mungkin tidak mampu memberi layanan publik sebesar yang kita rasakan sekarang, apalagi memperbaikinya.


Begitulah kondisinya, utang makin menjerat Pemerintah, dan selanjutnya beban utang mencekik rakyat!