Sabtu, 14 Januari 2017

KEMISKINAN MASIH SANGAT RAWAN DI JAKARTA


Ada 385,84 ribu orang penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2016, menurut publikasi BPS tanggal 3 Januari 2017.  Jumlah itu adalah sekitar 3,75% dari jumlah penduduk Jakarta yang sekitar 10,29 juta orang. Prosentasi itu dikenal pula dengan istilah tingkat kemiskinan.

Bagaimana kondisi itu dibandingkan dengan tahun sebelumnya? BPS mempublikasikan data kemiskinan dua kali setahun, data untuk kondisi bulan Maret dan kondisi bulan September, dan BPS biasa merekomendasikan analisis antar bulan yang sama, karena lebih mencerminkan perkembangan kondisi sesungguhnya. Jumlah penduduk miskin meningkat dari kondisi September 2015 yang hanya 368,67 orang menjadi 385,84 ribu orang . Tingkat kemiskinan pun meningkat dari semula 3,61% menjadi 3,75%. Kondisi 2016 tampak lebih baikk dibanding 2015 jika dilihat data kondisi bulan Maret, 384,30 ribu orang (3,75%) dibandingkan dengan 398,92 ribu orang (3,93%).


Bagaimana jika dibandingkan dengan sebelumnya? Tingkat kemiskinan di Jakarta berfluktuasi namun dengan perubahan yang tidak besar tiap tahunnya, cenderung hanya di kisaran 3,2% sampai dengan 4,6% dalam 13 tahun terakhir. Dan di kisaran 3,6% sampai dengan 4,0% dalam 5 tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat dari jumlahnya, penduduk miskin tidak mengalami penurunan yang berarti selama 13 tahun, dan bahkan sempat meningkat dalam 5 tahun terakhir. Untuk ilustrasi kondisi bulan Maret, 294 ribu (2003), 323 ribu (2009), 363 ribu (2012) dan 384 ribu (2016).


Jika dibandingkan dengan data kemiskinan nasional pada September 2016 sebesar 10,70%, maka angka kemiskinan Jakarta jauh lebih baik. Akan tetapi dalam hal kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin, Jakarta lebih buruk. Pada tingkat nasional, kecenderungan penurunan terus berlangsung, meski dengan laju yang amat rendah belakangan ini.

BPS menghitung jumlah pemduduk miskin dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan (GK). GK juga ditetapkan tiap 6 bulan, berdasar data SUSENAS. GK ditetapkan atas dasar pengeluaran perkapita perbulan, dari data sampel terkait yang secara umum mencakup orang miskin dan hampir miskin dari data sebelumnya. GK berubah terutama karena kenaikan harga, dan untuk jangka menengah terkait perubahan pola konsumsi.

Garis Kemiskinan DKI Jakarta pada September 2016 adalah Rp 520.690 per kapita per bulan. Mereka yang pada waktu itu pengeluarannya dibawah sampai dengan GK tersebut disebut penduduk miskin. GK Jakarta termasuk yang tertinggi, antara lain mencerminkan harga barang dan jasa. GK nasional wilayah perkotaan per September 2016 adalah sebesar Rp 361.990.



Sekalipun GK DKI Jakarta termasuk yang tinggi, namun jika dibayangkan dalam kenyataan hidup sehari-hari, maka batas pengeluaran tersebut bisa dikatakan masih rendah. Maksudnya, untuk disebut tidak miskin, pengeluaran pada kondisi September 2016 hanya Rp520.690 per orang per bulan atau sekitar Rp17.350 per hari. Itu adalah pengeluaran untuk makan, pakaian, pendidikan, transportasi, sewa rumah, dan seluruh pengeluaran lainnya. Jika satu keluarga ada 4 jiwa maka sekitar Rp69.400. BPS menyebutkan pula bahwa GK Kemiskinan DKI terdiri dari 64,33% untuk pengeluaran bahan makanan, dan secara lebih khusus untuk beras sebesar 22,31%. Mereka yang hidup di Jakarta dapat membayangkan bahwa batas kemiskinan itu amat rendah. Artinya jika orang disebut miskin menurut data BPS artinya memang benar-benar miskin dan hidup dengan pilihan yang amat terbatas.

BPS sebenarnya memiliki set data yang lebih detil, namun tidak disertakan dalam publikasi umum tentang kemiskinan. Sesekali dipublikasikan sebagai bagian data dan analisis dalam buku tentang kemiskinan atau tentang kesejahteraan. Ada senjang waktu pula dari berita statistik resmi tentang kemiskinan. Misalnya tentang data distribusi penduduk berdasar ukuran GK tadi, tiap 20% nya, seperti: 0,8GK, GK, 1,2GK dst hingga 4,2GK. Ada penyebutan pula dalam analisisnya, penduduk sangat miskin (SM) bagi yang kurang dari 0,8GK, disebut miskin (M) jika lebih dari sama dengan 0,8GK hingga GK, disebut hampir miskin (HM) jika sama dengan GK hingga 1,2GK, serta disebut rentan miskin lainnya (RML) jika 1,2GK sampai dengan 1,6GK. Klasifikasi ini dipakai untuk rekomendasi kebijakan menjaga mereka yang terdata tidak miskin namun terlalu dekat dengan garis, agar tak jatuh ke bawah pada periode berikutnya. Ditambah fakta nasional bahwa porsi yang berada di bawah dan sekitaran garis kemiskinan, empat kategori tadi, masih mencapai 98,54 juta orang atau sekitar 38,21%.



Jika ukuran 1,6 kali garis kemiskinan (GK) kita terapkan untuk DKI Jakarta, maka per September 2016 adalah Rp 833.000 per bulan atau Rp 27.800 per hari. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang maka batasnya Rp 3,33 juta. Bisa dibayangkan dengan UMR DKI yang Rp 3,4 juta. Jika ukuran ini yang dipakai, maka jumlahnya sekitar 2,7 juta orang atau lebih dari 26% penduduk.

Apa artinya? Kebanyakan penduduk Jakarta amat rentan dengan goncangan ekonomi. Jika ada kenaikan harga yang tinggi, kelesuan ekonomi yang berakibat banyak PHK atau usaha mereka berkurang keuntungannya, maka tingkat kemiskinan langsung naik. Secara ekstrim, contohnya adalah krisis moneter 1998. Sedangkan goncangan secara mikro atau perseorangan, kita bisa membayangkan penggusuran, bangkrutnya usaha kecil, tutupnya suatu usaha yang menimbulkan PHK, dll.

Tetap perlu diingat bahwa 384 ribu penduduk miskin dalam wilayah satu kota DKI Jakarta terbilang sangat banyak. Karena lingkungan geografis sebagai satu kota dan kemudahan mobilitas maupun interaksi, maka problem sosial lebih mudah berkembang akibat kemiskinan. Siapapun yang terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta harus mengerti bahwa kemiskinan adalah masalah yang masih serius. Data BPS mengindikasikannya, fakta di lapangan mengindikasikan kondisi yang lebih buruk dari data tersebut.