APBN 2017 disahkan oleh sidang DPR
kemaren sore, yang ditandai beberapa perubahan dari RAPBN yang diajukan
Pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi turun dari 5,3% menjadi 5,1%. Sedikit
diluar kebiasaan DPR yang cenderung menaikkan atau setidaknya mempertahankan
usulan Pemerintah. Perlu diingat bahwa asumsi APBNP 2016 adalah 5,2%, sedangkan
realisasi hingga satu semester adalah 5,0%. Realisasi 2016 kemungkinan memang
antara 5,0-5,1%.
Menarik pula jika membandingkan
asumsi ini dengan prakiraan (forecast)
yang telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional yang kisarannya
antara 5,2 – 5,3 %, bahkan Fitch pada bulan Mei lalu sempat optimis pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada tahun 2017 bisa mencapai 5,5%. Catatannya, berbagai
ramalan tersebut memang disampaikan beberapa bulan lalu, dan besar kemungkinan akan
ada update di kisaran yang sama
dengan asumsi APBN 2017.
Bisa ditafsirkan bahwa DPR memang
tidak seoptimis Pemerintah tentang kondisi perekonomian tahun depan, yang
pertumbuhannya akan setara saja dengan tahun ini. Kali ini, Pemerintah
"dipaksa" DPR lebih realistis dalam hal asumsi pertumbuhan ekonomi.Tahun
2017 akhirnya disepakati masih merupakan tahun yang penuh tantangan (risiko) bagi
perekonomian, dan juga bagi pengelolaan fiskal.
Pemerintah mengakui bahwa pemotongan
anggaran di tahun 2016 menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami
penyesuaian termasuk untuk 2017, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun,
konsumsi RT diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi sejalan dengan inflasi yang
relatif terkendali terutama harga barang kebutuhan pokok. Sedangkan PMTB
diperkirakan meningkat namun belum cukup kuat terutama masih relatif lemahnya
permintaan domestik. Ada sedikit perbaikan pada kinerja ekspor yang diyakini
masih tumbuh positif, meski pada kondisi masih lemahnya permintaan negara Mitra
Dagang Utama.
Penurunan asumsi pertumbuhan
ekonomi ternyata tidak membuat target Pendapatan dan proyeksi belanja turun
dari usulan RAPBN. Ada beberapa perubahan perhitungan teknis yang disepakati
oleh DPR dan Pemerintah yang membuat sedikit penurunan asumsi itu terkompensasi
oleh perhitungan lainnya. Anggaran
belanja negara 2017 mencapai Rp 2.080,5 triliun, atau naik Rp 10 triliun dari
usulan semula. Mendekati lagi APBNP 2016 yang sebesar Rp 2.082,9 triliun. Pendapatan
negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun atau lebih besar Rp12,7 triliun dari
rencana semula. Dengan demikian, defisit anggaran menjadi Rp330,2 triliun atau
setara dengan 2,41 persen dari PDB.
Meskipun sedikit turun dari
target APBNP 2016, target pendapatan 2017 masih terbilang tinggi dan bernuansa
optimis. Kemungkinan salah satu alasannya adalah keberhasilan kebijakan amnesti
pajak. Dijelaskan bahwa kebijakan utama optimalisasi penerimaan negara antara
lain adalah: Melanjutkan dukungan insentif fiskal, mendorong iklim investasi
& dunia usaha; Fokus penerimaan terutama pada sektor perdagangan dan WP
pribadi. Ekstensifikasi melalui Geo Tagging; Memperbaiki basis pajak dan
kepatuhan wajib pajak melaui penguatan database pajak, optimalisasi penggunaan
IT dan konfirmasi status wajib pajak; Mengoptimalkan perjanjian pajak
internasional; Cukai dan pajak lainnya untuk mengurangi konsumsi pada produk
tertentu (dan atau untuk mengurangi) dengan eksternalitas negatif; serta Optimalisasi
PNBP dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan peningkatan
kualitas pelayanan publik.
Sedangkan masih besarnya belanja,
meski tetap dilakukan langkah-langkah efisisensi adalah untuk mendukung belanja
yang lebih produktif. Dikatakan bahwa APBN 2017 tetap merupakan kebijakan fiskal
yang ekspansif dengan komitmen pada
reformasi penganggaran serta prinsip kehati-hatian. Kebijakan utama belanja
antara lain adalah: Fokus pada infrastruktur dan belanja sosial; Efisiensi pada
belanja barang; Mempertahankan anggaran kesehatan (5%), pendidikan (20%); Fleksibilitas
dalam merespon kondisi perekonomian Mitigasi bencana alam & risiko fiskal;
serta Percepatan penyerapan anggaran.
Sebagaimana yang sudah aku tulis
terdahulu, Pemerintah kali ini menyadari dan mulai fokus pada soal kesinambungan
fiskal. Antara lain dikatakan: Menjaga defisit dibawah 3% terhadap PDB; Memperbaiki
mekanisme pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan usaha kecil
menengah; Investasi pemerintah yang lebih selektif; Menyempurnakan mekanisme
penjaminan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
Bagaimanapun, APBN 2017 memang
lebih realistis dibanding APBNP 2015, APBN 2016, dan bahkan APBNP 2016. Akan
tetapi risiko fiskal sudah terlanjur membesar. Baik karena “mengendalikan”
belanja yang sudah terlanjur naik pesat, maupun karena beban utang yang makin
besar. Bisa dikatakan bahwa langkah berani dan radikal mengurangi subsidi energi
tidak mencukupi kenaikan belanja dan perubahan alokasinya. Target penerimaan
perpajakan yang terlampau optimis masih belum bisa dipenuhi, meski membaik
dengan kebijakan amnesti pajak. Kelanjutan mengoptimalkan kebijakan amnesti
pajak sebagai langkah awal reformasi perpajakan nampaknya masih membutuhkan
waktu beberapa tahun ke depan. Kenaikan penerimaan perpajakan tahun 2017 kemungkinan
masih wajar (alamiah) karena terkompensasi kondisi perekonomian yang masih
lesu, serta butuh waktunya reformasi dimaksud.
Belanja yang mulai dapat
dikendalikan adalah belanja Kementerian/Lembaga. Transfer Daerah dan Dana Desa
juga sedikit bisa diperbaiki, meski terkendala aturan yang mengikat. Sedangkan
belanja non K/L masih belum dapat ditekan signifikan, khususnya belanja bunga.
Sedangkan dalam hal belanja subsidi, perhitungan dampak ekonomi dan politiknya
masih rumit. Jika dikurangi lagi masih dapat diperdebatkan apakah tidak akan
memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Patut
diperhitungkan bahwa dampak pengurangan subsidi energi masih tetap terasa,
sehingga cukup berisiko jika dikurangi lagi berbagai subsidi lainnya, ditengah
perekonomian yang masih belum pulih.
Sekali lagi, kesinambungan fiskal
masih penuh risiko. Butuh kerja keras Pemerintah yang musti didukung oleh
otoritas ekonomi yang lain (BI dan OJK). Optimisme dunia usaha dan konsumen (rakyat)
perlu tetap dipelihara, termasuk dengan menjaga stabilitas sosial dan politik.