Hampir semua orang di Indonesia
beranggapan bahwa harga kebanyakan barang dan jasa kini lebih tinggi dari
dahulu dan esok akan naik lagi. Ibu-ibu yang biasa berbelanja kebutuhan rumah
tangga sehari-hari sering mengeluhkan, dan media masa rajin mewartakannya. Perhitungan
rencana anggaran rumah tangga, lembaga sosial, perusahaan bisnis dan lembaga
pemerintahan pun biasa mengasumsikan kenaikan harga dalam satuan unit
belanjanya.
Harga barang dan jasa merupakan suatu
soalan terpenting dalam wacana makroekonomi, bersamaan dengan ikhwal
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Kebijakan makroekonomi suatu negara
selalu bertujuan menanganinya agar tercapai tingkat harga yang stabil.
Perhatikan bahwa tujuan utamanya bukan agar tidak terjadi kenaikan, melainkan
suatu stabilitas atau kenaikan yang relatif rendah atau terukur dari waktu ke
waktu. Fokus perhatian makroekonomi adalah soal harga secara umum atau dalam
artian keseluruhan barang, bukan harga barang tertentu. Kenaikan harga secara
umum itu dikenal dengan istilah inflasi. Inflasi adalah persentase tingkat
kenaikan harga secara umum, yang jika besarannya negatif atau harga-harga turun
biasa disebut deflasi.
Ada harga yang berbeda untuk tiap
macam barang dan jasa dalam suatu perekonomian, seperti: harga produsen, harga
grosir dan harga eceran (konsumen akhir). Dalam praktik perhitungannya inflasi
hanya merujuk kepada sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah
tangga, yang melalui survei tertentu dianggap dapat mewakili kecenderungan
seluruh barang. Meskipun kebanyakan harga barang secara historis mengalami
kenaikan, namun ada juga yang harganya tetap dan bahkan ada yang turun.
Rata-rata tertimbang dari perubahan harga bermacam barang dan jasa tersebut,
pada suatu selang waktu (bulanan atau tahunan) disebut inflasi. Oleh karena
sering ada perbedaan pula untuk tiap kota atau wilayah dalam negara kepulauan
yang luas seperti Indonesia, maka informasi tentang inflasi di Indonesia juga
tersedia yang berdasar wilayah (kota).
Metode Penghitungan
Badan Pusat Statisik (BPS)
mengatakan bahwa inflasi dihitung berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK)
dengan menggunakan rumus Laspeyres yang dimodifikasi (Modified Laspeyres).
Rumus tersebut mengacu pada manual Organisasi Buruh Dunia (International Labour
Organisation). Pengelompokan IHK didasarkan pada klasifikasi internasional baku
yang tertuang dalam Classification of Individual Consumption According to
Purpose (COICOP) yang diadaptasi oleh BPS untuk kasus Indonesia menjadi
Klasifikasi Baku Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga.
Bahan dasar penyusunan diagram
timbang (bobot) IHK adalah hasil Survei Biaya Hidup (SBH) atau Cost of Living
Survey. SBH diadakan 5 (lima) tahun sekali, SBH terakhir diadakan tahun 2012,
mencakup 136,080 rumah tangga di Indonesia yang dipantau baik pengeluaran
konsumsinya maupun jenis barang/jasa yang dikonsumsi selama setahun penuh. Berdasarkan
hasil SBH diperoleh paket komoditas yang representatif, dapat dipantau
harganya, dan selalu tersedia di pasaran. Paket komoditas nasional sebanyak 859
barang/jasa, bertambah dari 774 barang/jasa pada paket komoditas tahun 2007.
Hal ini sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Bobot awal setiap
barang/jasa merupakan persentase nilai konsumsi setiap barang/jasa terhadap
total rata-rata nilai konsumsi per rumah tangga per bulan, berdasarkan hasil
SBH.
Sejak Januari 2014, penghitungan
inflasi mulai menggunakan tahun dasar 2012 (sebelumnya menggunakan tahun dasar
2007) berdasarkan hasil SBH 2012. Cakupan kota bertambah dari 66 menjadi 82 kota.
Jumlah barang/jasa yang dicakup bervariasi antarkota, yang terkecil di Kota
Singaraja sebanyak 225 barang/jasa, sedangkan yang terbanyak di Jakarta
sebanyak 462 barang/jasa. Sedangkan pengumpulan data harga menggunakan daftar
pertanyaan dan pencacahannya dibedakan sesuai waktunya: mingguan, 2 (dua)
mingguan dan bulanan. Data harga diperoleh dari responden melalui wawancara dan
scan barcode.
Di setiap kota dipilih beberapa
pasar tradisional, pasar modern, dan outlet untuk mewakili harga-harga dalam
kota tersebut. Data harga masing-masing komoditi diperoleh melalui wawancara
langsung dari 3 atau 4 pedagang eceran, yang didatangi oleh petugas pengumpul
data. Penarikan sampel secara purposive digunakan untuk melakukan pemilihan
kota, pasar, outlet, responden, komoditas dan kualitas dalam penghitungan IHK.
BPS melaporkan bahwa frekuensi
pengumpulan data harga berbeda antara satu komoditas dan komoditas lainnya,
tergantung karakteristik masing-masing komoditas, sebagai berikut:
- Pengumpulan data harga beras dilakukan secara
harian di Jakarta, dan mingguan di kota-kota lainnya.
- Beberapa komoditas yang termasuk ke dalam
kebutuhan pokok, data harga dikumpulkan setiap minggu pada hari Senin dan
Selasa.
- Untuk beberapa komoditas bahan makanan, data
harga dikumpulkan setiap dua minggu sekali, hari Rabu dan Kamis pada minggu
pertama dan ketiga.
- Untuk komoditas bahan makanan lainnya, makanan
yang diproses, minuman, rokok dan tembakau, data harga dikumpulkan bulanan pada
hari Selasa menjelang pertengahan bulan selama tiga hari (Selasa, Rabu, dan
Kamis).
- Data harga untuk barang-barang tahan lama
dikumpulkan secara bulanan pada hari ke-5 sampai hari ke-15.
- Data harga jasa-jasa dikumpulkan bulanan pada
hari ke-1 sampai hari ke-10.
- Data harga sewa rumah dikumpulkan bulanan pada
hari ke-1 sampai hari ke-10.
- Upah baby sitter dan pembantu rumah tangga
diamati bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
- Data yang berhubungan dengan biaya pendidikan
dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
Penyajian Data Inflasi oleh BPS
Dengan demikian, konsep inflasi
seolah membuat hanya ada “satu harga” dalam sebuah perekonomian, sehingga bisa
ditentukan tingkat perubahannya. Konsep tentang inflasi yang dikenal publik di
Indonesia meringkas harga seluruh barang dan jasa menjadi satu satuan yang
disebut Indeks Harga konsumen (IHK). IHK pada tahun dasar adalah 100. BPS
mengubah tahun dasar tiap 5 tahun, terakhir pada tahun 2012. Harga seluruh
barang dan jasa pada tahun 2012, dianggap pula dalam bulan Desember, adalah
100, dalam satuan IHK.
BPS menghitung IHK tiap bulan,
dan menyatakan perubahannya dalam persentase, yang disebut inflasi. Perubahan
IHK dari suatu bulan atas bulan sebelumnya disebut inflasi bulanan. Perubahan
IHK dari suatu bulan terhitung sejak januari tahun yang bersangkutan (berarti dibandingkan
IHK Desember tahun sebelumnya) disebut inflasi tahun kalender. Sedangkan
perubahan IHK dari suatu bulan dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya
disebut inflasi tahun ke tahun (y-o-y). Sebagai contoh, IHK Agustus 2016 adalah
125,13 sedangkan IHK Juli 2016 adalah 125,15, maka pada bulan Agustus 2016 disebut
terjadi deflasi sebesar 0,02%. Karena IHK Desember tahun 2015 sebesar 122,99,
maka inflasi tahun kalender adalah 1,74%. Sedangkan inflasi dari tahun ke tahun
dihitung dari IHK Agustus 2015 sebesar 121,73, maka inflasinya sebesar 2,79%. (lihat tabel dalam gambar dari berita resmi BPS)
Dalam penyajian IHK, BPS mengelompokkan
barang dan jasa ke dalam tujuh kelompok yaitu: bahan makanan; makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau; perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar;
sandang; kesehatan; pendidikan, rekreasi dan olah raga; serta transpor,
komunikasi dan jasa keuangan. Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub
kelompok, dan dalam setiap sub kelompok terdapat beberapa komoditas. Lebih
jauh, komoditas-komoditas tersebut memiliki beberapa kualitas atau spesifikasi.(lihat gambar sebagai contoh tabel dari berita resmi BPS)
Selain menghitung inflasi umum Inflasi
umum (headline inflation), seperti
yang dicontohkan untuk data bulan Agustus 2016 di atas. BPS juga menyajikan bahwa
inflasi umum tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu inflasi inti(core
inflation) , inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices), dan inflasi bergejolak (volatile goods).
BPS mengatakan bahwa inflasi inti
adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan
ekonomi secara umum, seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan
permintaan dan penawaran, yang sifatnya cenderung permanen, persistent, dan
bersifat umum. Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasa inti sebanyak 751,
antara lain: kontrak rumah, upah buruh, mie, susu, mobil, sepeda motor, dan
sebagainya. Meskipun inflasi umum Agustus 2016 adalah minus atau deflasi,
inflasi inti adalah sebesar 0,22%. Inflasi tahun kalender juga lebih tinggi,
yakni mencapai 2,24%. Demikian pula inflasi tahun ke tahun sebesar 3,32%.
Inflasi yang harganya diatur
pemerintah (administered prices inflation)
adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya secara umum diatur oleh pemerintah.
Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasanya sebanyak 23, antara lain: bensin,
tarif listrik, rokok, dan sebagainya. Inflasi jenis ini juga minus atau deflasi
pada bulan Agustus 2016, bahkan untuk inflasi tahun kalender dan inflasi tahun
ke tahun. Cukup masuk akal kan, meski tarif listrik dan harga rokok naik, namun
bensin turun signifikan.
Inflasi bergejolak (volatile goods) adalah inflasi komoditas
yang perkembangan harganya sangat bergejolak. Berdasarkan tahun dasar 2012,
inflasi volatile goods masih didominasi bahan makanan, sehingga sering disebut
juga sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditas sebanyak 85, antara lain: beras, minyak goreng, cabai, daging ayam ras, dan sebagainya. Pada Agustus
2016 juga terjadi deflasi, suatu kondisi yang biasa setelah lebaran. Akan
tetapi dalam hal inflasi tahun kalender dan inflasi tahun ke tahun, besarannya masih
jauh lebih tinggi. Tampaknya mengkonfirmasi “suasana publik” terkait harga komoditas
ini.
Berdasar Undang-Undang, tugas
pengendalian inflasi di Indonesia diserahkan kepada Bank Indonesia. Bank
Indonesia melalui kebijakan moneter (seperti penentuan target suku bunga)
dianggap akan dapat mengendalikan inflasi IHK. Meskipun demikian, sebenarnya
ada banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK di luar kendali kebijakan
moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang berada dalam
kendali otoritas moneter. Untuk itu, sebagaimana juga yang dilakukan oleh
otoritas moneter di banyak negara lain, Bank Indonesia berusaha memilah-milah
komponen inflasi IHK ke dalam kelompok yang dapat dan tidak dapat dikendalikan
melalui kebijakan moneter. Inflasi yang dianggap dapat dikendalikan dengan
kebijakan moneter lazim hanya inflasi inti.