Klaim sehat dari Pemerintah juga memakai argumen bahwa keseimbangan
primer turun konsisten sejak 2015. Dan diiyakini akan mendekati nol rupiah pada
akhir tahun 2019.
Keseimbangan primer sebenarnya adalah suatu neraca, semacam neraca
rugi laba dalam akuntansi, atau kondisi arus dana selama setahun. Neraca yang
memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun besaran belanjanya tidak
menyertakan pembayaran bunga utang. Kondisi keseimbangan primer anggaran
pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, biasa dikaitkan dengan
kesinambungan fiskalnya. Diakui luas bahwa kesinambungan fiskal dapat
dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara
dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru. Pandangan lain yang lebih
hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai
surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan
surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite)
atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan
primer juga musti bertambah.
APBN 2019 memang mentargetkan keseimbangan primer yang jauh lebih
baik dibanding beberapa tahun terakhir. Direncanakan
Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.461,11
triliun. Diantara pos belanja, terdapat pembayaran bunga utang adalah Rp275,89
triliun. Dengan demikian, target keseimbangan primer adalah Pendapatan dikurangi
Belanja yang tak memasukkan pembayaran, atau sebesar minus Rp20,12 triliun. Ini
berarti bahwa sebagian bunga utang masih akan dibayar dari utang baru. Untuk
dikatakan sehat, setidaknya keseimbangan primer adalah nol, dan seyogyanya
positif dengan nilai yang cukup besar. Pada tulisan bagian satu, target
pendapatan tampak terlampau tinggi, yang berpotensi defisit tahun 2019 melampaui
target, sehingga defisit keseimbangan primer pun mungkin akan lebih besar dari target.
Perlu diketahui bahwa selama tahun 2000 hingga tahun 2011,
keseimbangan primer bernilai surplus (positif). Sejak tahun 2012 hingga 2018
tercatat selalu minus (negatif).
Salah satu kunci perbaikan keseimbangan adalah pengendalian pembayaran
bunga utang. Bunga utang tercatat terus meningkat signifikan selama beberapa
tahun terakhir. APBN tahun 2019 merencanakan pembayaran bunga utang sebesar
Rp275,89 triliun, mengalami kenaikan 10,4% dari outlook APBN tahun 2018. Target
kenaikan yang lebih rendah dibanding outlook 2018 sebesar 15,16%, dan dibandingkan
rata-rata 2012-2017 sebesar 15,15%. Artinya pula, keseimbangan primer yang
ditargetkan membaik itu mensyaratkan pemenuhan target pembayaran bunga yang
juga butuh upaya keras.
Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian
modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan
yang hilang (opportunity) dari modal
yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest)
untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara. Ada
pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak
jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara
bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses
pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda,
dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk SBN, biaya riil bukan sekadar kupon,
melainkan terkait dengan imbal hasil (yield)
yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan
bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Selain
itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses
penerbitan dan distribusi SBN.
Dalam pencatatan APBN, keseluruhan biaya utang dianggap
merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah
memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah
mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang
dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan
perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.
Dari uraian di atas, dapat saja dikatakan bahwa APBN 2019 sedikit
lebih sehat dibanding APBN 2018 dan APBN 2017. Namun belum dapat dikatakan sehat
berdasar dua variabel yang dipakai sebagai alat penjelasan Pemerintah itu
sendiri. Tulisan bagian satu membahas argumen tentang turunnya defisit, dan
bagian dua membahas tentang keseimbangan primer.